Perppu Cipta Kerja 2022: Simbol Mental Menerabas dan Kekuasaan Otoriter Serta Melecehkan MK?

 



Senin, 2 Januari 2023

Perppu Cipta Kerja 2022: Simbol Mental Menerabas dan Kekuasaan Otoriter Serta Melecehkan MK?

Pierre Suteki

Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai Negara Hukum. Berarti penggunaan kekuasaan negara oleh Pemerintah harus berdasarkan hukum "yang baik" (good norm) bukan berdasarkan kekuasaan yang cenderung menerapkan prinsip SSK (Suka-Suka Kami) atau hanya berdasar hukum yang "tidak baik" (bad law) yakni hukum yang dibuat untuk legitimasi kekuasaan. Jika memang tidak ada kegentingan yang memaksa karena adanya kekosongan hukum, maka tidak diperbolehkan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu). Ingatlah, Perppu yang serampangan itu sebenarnya sebagai pertanda bahwa pemerintahan sedang dijalankan secara otoriter dan adanya mental menerabas dari Pemerintah. Apalagi Perppu dikeluarkan untuk menganulir Putusan MK yang "agung" penjaga konstitusi, maka tindakan itu dapat dikatakan sebagai upaya pembuatan hukum (law making) yang “ugal-ugalan” kalau tidak boleh disebut “bar-bar”.


Banyak pejabat yang berteriak “salus populi suprema lex esto” namun teriakan itu akan tenggelam dan nyaris tak terdengar ketika tertimpa slogan “negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum”. Seharusnya negara c.q. Pemerintah itu berwatak benevolen, pemurah kepada rakyatnya tanpa kecuali. Terkait dengan penerbitan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, mestinya Pemerintah benar-benar memperhatikan suara rakyatnya yang menuntut adanya perbaikan UU melalui perintah MK bukan sebaliknya berusaha tetap nekad memberlakukannya dengan alasan kemendesakan soal investasi melalui tindakan menerabas (short cut) dalam pembuatan hukum melalui penerbitan Perppu Cipta Kerja No. 2 Tahun 2022.


Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut, penerbitan Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini sudah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 138/PUU-VII /2009. "Kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kondisi global terkait dengan krisis ekonomi dan resesi global, serta perlunya peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi," kata Menko Airlangga dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (30/12/2022). Perpu Nomor 2 tahun 2022 ini Airlangga menegaskan UU Omnibus Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK maka telah menjadi konstitusional dengan adanya Perppu yang menggantikannya.


Alasan terbitnya Perpu yang disampaikan oleh Airlangga kemudian dikuatkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya ada tiga faktor yang jadi pertimbangan mengapa pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 atau Perpu Cipta Kerja. Salah satunya adalah adanya alasan mendesak untuk adanya sebuah ketentuan hukum dalam bentuk Perpu sebab kalau dibuat dalam bentuk Undang Undang akan memakan waktu lama. Artinya saat ini ada keadaan yaitu kebutuhan mendesak terbitnya Perpu Cipta Kerja untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat sesuai Putusan MK No 138/PUU-VII/2009, yang saat itu di tandatanganinya selaku Ketua MK. 


Alasan ini menurut saya menunjukkan adanya mental menerabas Pemerintah yang maunya serba cepat tanpa memperhatikan prinsip negara hukum yang baik khususnya due process of law. Memang hukum yang baik dibuat agar Pemerintah menjamin demokratisasi dan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM. Alasan yang tidak genting  dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja ini terkesan dipaksakan seperti diterbitkannya Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017. Saat itu Pemerintah juga beralasan adanya kegentingan yang memaksa untuk "memberangus" ormas HTI padahal waktu itu pun sudah ada UU Ormas demokratis yakni UU No. 17 Tahun 2013. Pemerintah pun beralasan jika menggunakan prosedur UU Ormas, maka proses pemberangusan ormas itu terlalu lama. Oleh karena itu dirasa genting untuk dikeluarkan Perppu untuk menerabas proses demokratis yang ditetapkan dalam UU Ormas, step by step. Hal ini bukan saja menunjukkan mental menerabas, sekaligus watak kekuasaan Pemerintah yang antidemokrasi alias otoriter.


Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja alias Perppu Cipta Kerja juga dapat dinilai sebagai tindakan pelecehan atau Contempt of the Constitutional Court. Presiden telah melakukan pelecehan atas putusan dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi karena Presiden terkesan mengabaikan bahkan tidak patuh pada Putusan MK. MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil pada 25 November 2021. Melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama 2 tahun. Perintahnya "memperbaiki" bukan "memberlakukannya" dengan membuat Perppu. Sementara juga ada perintah MK agar Pemerintah selama 2 tahun tersebut tidak boleh mengeluarkan kebijakan strategis. Namun, mengapa justru menerbitkan Perppu untuk menmberlakukan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. 


Sebuah produk hukum yang dinyatakan tidak konstitusional maka pembuat undang-undang harus melaksanakan putusan MK tersebut. Bukan dengan menggugurkannya melalui Perppu. Ini benar-benar tindakan bukan hanya melecehkan Putusan MK, melainkan juga tindakan yang melawan konstitusi, makar terhadap konstitusi. Namun, tindakan Presiden ini bukanlah hal yang baru di negeri ini. Ingat, berdasarkan penelitian dosen FH Trisakti 2019, ada sekitar 22,01 % Putusan MK tidak dipatuhi. Jadi jangan heran Presiden mengeluarkan Perppu 2/2022 yang terkesan mengabaikan serta menganulir Putusan MK Inkonstitusional-nya UU Ciptaker. 


Apakah tindakan Presiden ini berbahaya? Betul, tindakan menerabas, otoriter dan pelecahan terhadap MK itu mengancam prinsip Indonesia sebagai negara hukum "yang baik" dan menjerumuskan Indonesia menjadi negara kekuasaan dengan memposisikan Pemerintah sebagai "extractive institution" sebagaimana dikatakan oleh Acemoglu dan Robinson dalam bukunya "Why Nation Fail" sekaligus menjadi pendorong matinya demokrasi seperti yang disinyalir oleh Ziblatt-Levitsky. Jika tindakan Pemerintah ini berbahaya, layakkah didiamkan? Layakkah dibiarkan? Atau perlukah mengajukan Judicial Review atas Perppu Cipta Kerja No. 2 Tahun 2022 ke MK? Yakinkah akan menang? Bukankah nasibnya juga akan sama dengan JR atas Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 yang dinyatakan ditolak oleh MK lantaran keburu menjadi UU Ormas No. 16 Tahun 2017? Apalagi DPR juga diyakini akan menyetujui Perppu ini dalam sidangnya dalam 3 bulan ke depan. Jadi, kepada siapa lagi kita berharap agar negeri ini selamat dari Pemerintah yang bermental menerabas, otoriter dan melecehkan lembaga yudikatif? Lalu, bagaimana nasib pembentukan dan penegakan hukum di tahun 2023 dengan karakter kekuasaan di penghujung 2022 seperti itu? Apa pun outlook-nya, saya ucapkan: "Selamat Tahun Baru, 2023 M!"


Tabik...!!!

Semarang, Senin: 2 Januari 2023