4 Sumber Hukum dalam Pandangan Guru Mulia, Abuya Sayyid Muhammad Alwi Almaliki

 



Ahad, 12 Februari 2023

Faktakini.info 

4 SUMBER HUKUM DALAM PANDANGAN GURU MULIA, ABUYA ASSAYYID MUHAMMAD ALWI ALMALIKI

Luthfi Bashori

Guru mulia kami, Abuya Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki, ulama Sunni Makkah, Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah menulis dalam kitabnya, Syari'atullah Alkhalidah tentang sumber hukum bagi umat Islam secara lengkap dan terperinci.

Dalam kajian kitab tersebut secara jelas diterangkan, apa saja yang menjadi panduan sumber hukum bagi umat Islam dunia, penulis sengaja meneliti dengan seksama, ternyata di sana juga tidak disebut semisal hasil perjanjian antar bangsa-bangsa dimasukkan sebagai salah satu sumber hukum, karena memang perjanjian produk manusia yang tanpa membedakan background agama masing-masing itu bukan sumber hukum bagi agama Islam.

Guru mulia, Abuya Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki mengatakan:

مصادر التشريع الإسلامي أربعة :

الأول: الكتاب، والثاني : السنة، والثالث : الإجماع، والرابع : القياس . وسنتكلم عن كل مصدر من هذه المصادر بما تيسر لنا إن شاء الله.

Pondasi-pondasi Syariat Islam ada empat:

1. Al Kitab (Al Qur'an)

2. Sunnah Nabi

3. Ijma'

4. Qiyas.

Kami akan membahas masing-masing dari pondasi ini dengan mudah insya Allah.

أولاً: القرآن

تعريفه :

هو : اللفظ المنزل على النبي ﷺ المنقول إلينا بين دَفَّتَي المصحف ، تواتراً.

واعلم؛ أن القرآن العظيم هو المادة الأولى للفقه كما سبق . وذلك أنه الحجة العظمى بيننا وبين ربنا، وهو الحبل المتين الذي لا نجاة لنا إلا مادمنا متمسكين به، وهو العروة الوثقى التي لا انفصام لها قال الله تعالى :

* Sumber hukum yang pertama: Al-Qur'an

Definisi: Lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dinukil untuk kita, ada di antara dua sisi mushaf secara mutawatir.

Ketahuilah bahwa Al Qur'an yang agung ini merupakan sumber yang pertama untuk hukum fiqih, sebagimana yang telah dijelaskan. Al Qur'an merupakan hujjah atau dalil yang paling agung di antara kita dan Tuhan kita. Al Qur'an adalah tali kokoh yang tidak ada keselamatan bagi kita kecuali kita masih berpegang teguh kepada Al Qur'an. Selain itu Al Qur'an merupakan rantai yang kuat yang tidak akan terputus. 

Allah SWT berfirman:

{ وَٱعۡتَصِمُوا۟ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِیعࣰا وَلَا تَفَرَّقُوا۟} [ال عمران، الآية 103]

"Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS. Ali Imran, ayat 103).

وقال تعالى :

 { لَقَدۡ أَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكُمۡ كِتَـٰبࣰا فِیهِ ذِكۡرُكُمۡۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ } [الأنبياء، الآية 10].

"Sungguh, telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab (Al-Qur`ān) yang di dalamnya terdapat peringatan bagimu. Maka apakah kamu tidak mengerti?" (QS. Al Anbiya', ayat 10)

وقال تعالى :

{وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلنُّورَ ٱلَّذِیۤ أُنزِلَ مَعَهُۥۤ أُو۟لَـٰۤئكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ } [الأعراف، الآية 157]

"Dan mereka mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`ān), mereka itulah orang-orang yang beruntung" (Al A'raf, ayat 157)

وقال ﷺ :

«تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله، وسنة نبيه»

Rasulullah SAW bersabda

"Aku meninggalkan dua perkara kepada kalian yang tidak akan tersesat selagi kalian berpegang teguh dengan dua perkara ini yaitu kitab Allah (Al Qur'an) dan sunnah Nabi-Nya"

* Sumber hukum yang ke dua: Assunnah.

ثانياً: السنة النّبوية

 هي أقواله ﷺ، وأفعاله، وتقريراته 

ومجموع الأحاديث التي تدور عليها أحكام الفقه نحو خمس مئة حديث، وبسطها وتفاصيلها نحو أربعة آلاف حديث كما في «إعلام الموقعين» .

Yang kedua : Sunnah (Hadits) Nabi Muhammad SAW

Definisi: Semua perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau SAW.

Kumpulan hadits-hadits yang mencakup hukum-hukum fiqih mencapai 500 hadits, dengan penguraian dan rinciannya mencapai 4000 hadits, sebagaimana yang telah tertulis di kitab I'lamul Muwaqqi'in.

والسنة في الدرجة الثانية بعد القرآن العظيم، لأن القرآن كلام رب العزة، مُتَعبّد بتلاوته، مُعجز ببلاغته، قطعيّ الثبوت لتواتره.

Sunnah (Hadits) ini menduduki tingkatan yang kedua setelah Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an adalah kalam Allah, bernilai ibadah dengan membacanya, dapat melemahkan musuh (memiliki mukjizat) dengan balaghah (retorika bahasa)-nya, memiliki ketetapan yang qath'iy (pasti) karena kemutawatirannya. 

 ولذلك إذا وُجِدَ قرآن صريح، فهو مقَدم عليها، وهذا مما لا خلاف فيه، لأن الصحابة رضوان الله عنهم ما كانوا يسألون إلا عما لم يجدوه مصرحاً به .

Oleh karena itu, apabila ditemukan ayat Qur'an yang sharih (jelas), maka Al-Qur'an itu diutamakan dari Sunnah, dan ini apabila tidak ada khilaf atau perbedaan di dalam Al-Qur'an, karena para shahabat RA tidaklah menanyakan hukum kepada Nabi SAW kecuali mengenai apa yang mereka tidak menemukan ayat secara sharih (di dalam Al Qur'an).

واعلم: أن السنة معمول بها باتفاق من يُعتَدُّ به من أهل العلم، - ولو خبر آحاد – لقوله تعالى : { وَمَا یَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰۤ } [النجم، الآية 3]. وقوله : (...وَمَاۤ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ...)[الحشر، الآية 7]. وقوله : { لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِی رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةࣱ} [الأحزاب، الآية ٢١].

Ketahuilah bahwasanya Sunnah itu diamalkan oleh kesepakatan di kalangan orang yang ahli ilmu, walaupun Sunnah itu adalah khabar/berita ahad (perorangan). Karena berdasarkan firman Allah SWT yang artinya: "Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut keinginannya " (An Najm, ayat 3), "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah." (Al Hasyr, ayat 7), dan "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu." (Al Ahzab, ayat 21).

 وقد كان ﷺ يُوَجّه رسله إلى الآفاق بتبليغ الشريعة وهم فرادى، وذلك دليل على وجوب العمل بالسنة ـ ولو كانت خبر آحاد ـ وقد عمل بها الصحابة في زمنه عليه الصلاة والسلام حال غيبته. وأقرهم عليها وهي خبر آحاد، ووجه مع عمرو بن حزم صحيفة إلى اليمن وهي مذكورة في (الموطأ). وعملوا بالسنة بعد وفاته في مجتمعاتهم التي تعتبر إجماعاً، وثبت احتجاجهم بها من طرق كثيرة تبلغ القطع، مما لم يبق معه شك، ويَعْلَمُه من يتتبع كتب الصحاح وكتب السير. 

Dan sungguh Nabi SAW mengirimkan utusan-utusannya ke penjuru dunia, untuk menyampaikan syariat Islam sedangkan mereka itu terpencar satu dengan lainnya, hal ini menunjukkan sebuah dalil atas kewajiban mengamalkan Sunnah, walaupun Sunnah itu adalah khabar Ahad (perorangan). 

Para sahabat sungguh telah mengamalkan Sunnah pada zaman Nabi SAW ketika beliau jauh dari mereka. 

Nabi SAW menetapkan terhadap para shahabat untuk menggunakan Sunnah sebagai sumber hukum, walau Sunnah itu sendiri riwayat perorangan. 

Nabi SAW pernah mengirim selembar surat bersama shahabat Amr Bin Hazm ke Yaman dan kisah ini disebutkan di dalam kitab Al Muwatta'. 

Para shahabat itu juga mengamalkan Sunnah setelah Nabi SAW wafat, terutama untuk menyertai pendapat-pendapat mereka yang diungkapkan secara ijma' (kesepakatan).

Termasuk argumentasi mereka dalam berhukum itu juga menggunakan Sunnah sebagai landasan, hingga riwayat penerapan tersebut sangat banyak mencapai derajat qath'iy (pasti), yang tidak ada keraguan sama sekali, dan hal itu diketahui oleh orang yang mengamati kitab-kitab hadits shahih maupun kitab-kitab sirah (sejarah) Nabi SAW.

وقال تعالى: {وَأَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَیِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَیۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ یَتَفَكَّرُونَ } [النحل، الآية ٤٤].

"Dan Kami turunkan Aż-Żikr (Al-Qur`ān) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar mereka memikirkan" (An Nahl, ayat 44).

فالسنة تبين ما أجمل في القرآن، لأن الشريعة كانت تنزل تدريجاً، لأجل الرفق بالأمة الأمية كما سبق. 

Maka Sunnah itu menjelaskan lafadz yang masih umum atau yang masih bersifat universal di dalam Al-Qur'an, karena Syariat itu turun secara bertahap, demi rahmat Allah terhadap umat yang saat itu banyak yang buta huruf (belum mengetahui ajaran Islam).

ومن جملة الرفق؛ أن ينزل الإجمال، ثم يأتي تفصيله. وكل ذلك موجود في السنة مبين فيها. كما أن السنة تشرع ما ليس في القرآن استقلالاً.

Dan termasuk bentuk rahmat Allah, yaitu menurunkan berbagai ayat Al-Quran secara global atau bersifat universal, kemudian datang dengan perincian perinciannya. Adapun mayoritas perincian itu ada pada Sunnah. Bahkan sebagian dari Sunnah itu, isinyq berdiri sendiri yang tidak terdapat dalam Al- Quran.


* Sumber hukum yang ke tiga: Ijma..


ثالثا: الإجماع

وهو اتفاق مجتهدي الأمة بعده عليه الصلاة والسلام في عصر من الأعصار على حكم من الأحكام، لكن الإجماع لا بد أن يستند إلى كتاب أو سنة لا يخرج عنهما.


Definisi: ijma' adalah kesepakatan para ulama mujtahid (ahli ijtihad) setelah wafatnya Rasulullah SAW, pada suatu era dari masa-masa tertentu, untuk menetapkan suatu hukum dari hukum-hukum yang berlaku. Walaupun demikian ijma' itu harus disandarkan kepada Al Qur'an dan Sunnah, serta tidak boleh keluar dari keduanya.


وحُجّية الإجماع مبنيةٌ على أصل، وهو عصمة الأمة الإسلامية من اجتماعها على ضلالة في أمر دينها، دليله قوله تعالى : { وَمَن یُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَیَتَّبِعۡ غَیۡرَ سَبِیلِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَاۤءَتۡ مَصِیرًا } [النساء، الآية 115].


Kehujjahan atau otoritas ijma' itu menerangkan atas keaslian (tujuan hukum dasar), yaitu menjaga keontentikan aqidah umat Islam dari kesesatan atau penyimpangan dalam urusan agama. 


Hal ini berdasarkan dalil firman Allah SWT "Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu, dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali ". (An Nisa', 115).


وقوله : «لا تجتمع أمتي على ضلالة، ويد الله مع الجماعة، ومن شد، شذ إلى النار». رواه الترمذي


Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah berkumpul umatku atas suatu kesesatan, pertolongan Allah bersama kelompok mayoritas, barang siapa yang menyimpang maka dia akan menyimpang ke dalam neraka " (HR. Imam Tirmidzi).


ومذهب الجمهور أن الإجماع حجة في الدين، مُتعبدٌ به، تثبت به الأحكام كما تثبت بالنصوص الشرعية .


Dan madzhab mayoritas ulama berpendapat, bahwasanya Ijma' itu merupakan hujjah atau otoritas di dalam agama Islam, dan dapat digunakan untuk beramal ibadah, sebagaimana ditetapkan lewat hukum-hukum syari'at.


* Sumber hukum ke empat: Qiyas.


القياس


هو إلحاق فرع بأصل لمساواته له في علة حكمه، كإلحاق النبيذ بالخمر في الحرمة، ووجوب حد شاربه لمساواته له في الإسكار. 


Definisi Qiyas: Yaitu pengategorian sebuah cabang (masalah) kepada (hukum) pokok, karena adanya kesamaan illat (penyebab) pada keduanya. Seperti menggolongkan perasan anggur kepada khamar (minuman keras) dalam keharamannya, serta kewajiban hukuman had/sanksi bagi peminumnya, karena keduanya sama-sama dapat memabukkan.


ولا يكفي وجود الجامع بين الأصل والفرع، بل لا بد في اعتباره من دليل يدل عليه، من نص، أو إجماع، أو استنباط.


Tidak cukup adanya jami' (pencakup) antara asal (pokok) dan cabang, tetapi wajib dalam pengungkapannya terdiri dari sebuah dalil yang menunjukkan pembuktiannya, atau terdiri dari nash/teks, atau ijma', atau istinbath (pengambilan suatu hukum).


وقد قاس الصحابة والتابعون ومن بعدهم علماء الأمصار .


Para shahabat dan tabi'in telah melakukan pengqiyasan, begitu pula generasi setelah mereka dari kalangan ulama-ulama ahli fiqih.


وقد جاء العمل به في زمن رسول الله ﷺ ، وأرشد القرآن إليه. قال تعالى: {... فَٱعۡتَبِرُوا۟ یَـٰۤأُو۟لِی ٱلۡأَبۡصَـٰرِ }

[الحشر، الآية ٢]. والاعتبار قياس الشيء بالشيء .


Sungguh pengamalan qiyas telah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, dan Allah SWT memberikan petunjuk kepada beliau SAW lewat Al Qur'an. Allah SWT berfirman: "Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai akal pikiran! " (Al Hasyr, ayat 2). Lafsdz I'tibar (dalam lafadz فاعتبروا) mempunyai arti Qiyas dari suatu perkara dengan perkara lain.


وقال تعالى: { أَفَرَءَیۡتُم مَّا تُمۡنُونَ (58) ءَأَنتُمۡ تَخۡلُقُونَهُۥۤ أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡخَـٰلِقُونَ (59) نَحۡنُ قَدَّرۡنَا بَیۡنَكُمُ ٱلۡمَوۡتَ وَمَا نَحۡنُ بِمَسۡبُوقِینَ (60) عَلَىٰۤ أَن نُّبَدِّلَ أَمۡثَـٰلَكُمۡ وَنُنشِئَكُمۡ فِی مَا لَا تَعۡلَمُونَ (61) وَلَقَدۡ عَلِمۡتُمُ ٱلنَّشۡأَةَ ٱلۡأُولَىٰ فَلَوۡلَا تَذَكَّرُونَ (62) } [الواقعة، الآيات ٥٨-٦٢].


"Maka adakah kamu perhatikan, tentang (benih manusia) yang kamu pancarkan (58). Kamukah yang menciptakannya, ataukah Kami penciptanya? (59) Kami telah menentukan kematian masing-masing kamu dan Kami tidak lemah. (60) Untuk menggantikan kamu dengan orang-orang seperti kamu (di dunia) dan membangkitkan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui. (61) Dan sungguh, kamu telah tahu penciptaan yang pertama, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (62) (Al Waqi'ah, 58-62).


فهذه الآية وقع فيها الاحتجاج على الكفار في إنكارهم البعث بالقياس على النشأة الأولى، وهو قياس في الأصول المعتقدة، التي يطلب فيها القطع، ففي الفقه الذي يُكتَفَى فيه بالظن من باب أولى .


Maka ayat-ayat ini terdapat suatu argumentasi terhadap orang-orang kafir di dalam pengingkaran mereka kepada kebangkitan (manusia), dengan mengqiyaskan atas penciptaan yang pertama, dan argumentasi ini merupakan Qiyas di dalam pokok-pokok aqidah yang diyakini, yang mana dalam aturan dituntut (mencapai) derajat qath'iy (pasti), maka di dalam hukum fiqih yang dianggap cukup dengan adanya dzan (dugaan kuat), termasuk dalam hukum fiqih, min babil aula (tentu lebih utama untuk dapat diterima metode Qiyas).