Surat Terbuka untuk Jokowi, Perihal Penolakan Rencana Privatisasi Pertamina Geothermal Energy (PGE)

 



Senin, 20 Februari 2023

Faktakini.info 

*SURAT TERBUKA UNTUK PRESIDEN JOKOWI*

Jakarta, 20 Februari 2023

Kepada Yth. 

Presiden RI/Ketua Dewan Energi Nasional, Bapak Joko Widodo


Dari: Marwan Batubara, IRESS

*Perihal: Penolakan Rencana Privatisasi Pertamina Geothermal Energy (PGE)*

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.

Dengan hormat,


Surat ini kami sampaikan untuk menyikapi rencana Pemerintah RI memprivatisasi atau menjual saham anak usaha Pertamina, yakni Pertamina Geothermal Energy (PGE). Saat ini proses privatisasi yang dipimpin Menteri BUMN Ercik Thohir melalui penawaran saham perdana (initial public offering, IPO) telah memasuki tahap akhir. Diperkirakan saham PGE akan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) akhir bulan ini. 


Higga akhir 2022 PGE mengoperasikan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di 13 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan kapasitas terpasang sekitar 727 MW. Menteri Eick Thohir tampaknya sudah menetapkan kebijakan bahwa porsi saham PGE yang akan dijual adalah 25%. Dikatakan privatisasi PGE antara lain bertujuan untuk menambah modal, memperoleh dana murah, meningkatkan transparanasi dan akuntabilitas, serta berbagai alasan lain. 


Kami memahami tujuan dan manfaat privatisasi sebuah BUMN. Namun, tidak semua BUMN, termasuk subholdingnya layak dan dibenarkan jika diprivatisasi, khususnya BUMN yang mengelola SDA dan menyangkut hajat hidup rakyat. Sesuai konstitusi dan berbagai kepentingan strategis nasional, PGE sebagai pengelola SDA panas bumi dan produsen daya listrik untuk rakyat, sangat tidak layak dan tidak benar jika diprivatisasi. Karena itu, melalui *SURAT TERBUKA* ini kami dengan tegas menolak rencana IPO PGE dengan pertimbangan sbb:


1. Melanggar Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;


2. Melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/2012 dan No.85/2013 yang mengamanatkan agar penguasaan SDA oleh negara harus dikelola BUMN, sehingga mendatangkan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat;


3. Melanggar Pasal 3 huruf (a) dan Pasal 4 ayat (1) UU Panas Bumi No.21/2014 yang mengatur agar eksploitasi SDA panas bumi diselenggarakan guna menunjang ketahanan dan kemandirian energi serta kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;


4. Melanggar Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 yang mengatur bahwa BUMN pengelola SDA dan mendapat penugasan khusus (privilege) dari pemerintah tidak boleh diprivatisasi. Karena Pertamina merupakan BUMN yang tidak boleh diprivatisasi, maka secara otomatis seluruh anak-anak usaha/subholding Pertamina, terutama yang mengelola SDA dan menyangkut hajat hidup orang banyak juga tidak boleh diprivatisasi; 


5. Melanggar UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, karena SDA panas bumi dan pemilik manfaatnya melalui BUMN/PGE adalah Pemerintah Republik Indonesia. Kementrian BUMN telah merekayasa pemilikan Kekayaan Negara tersebut melalui manipulasi pembentukan anak/cucu BUMN, sehingga Aset Negara dengan mudah dimiliki swasta;


6. Merugikan keuangan negara/APBN dan BUMN karena dilakukannya proses unbundling, yaitu memisah-misahkan rantai bisnis Pertamina menjadi sejumlah anak-anak usaha atau sub-holding. Subholding yang merugi akan menjadi beban negara atau rakyat. Sedangkan subholding yang paling menguntungkan (creme dela creme), melalui privatisasi, akan dijual kepada swasta dan asing, termasuk perusahaan oligarkis. Akhirnya para oligarki dan asinglah yang menikmati manfaat terbesar dari SDA milik rakyat, terutama SDA yang diperoleh oleh BUMN/PGE karena privilege/hak istimewa dari negara;


7. Meningkatnya beban hidup rakyat akibat naiknya tarif energi sebagai dampak negatif sistem unbundling pelayanan public utilities yang berdasar konsep ekonomi kapitalis liberal. Teori ekonomi/bisnis telah mengkonfirmasi kerugian proses unbundling bisnis energi terhadap rakyat di seluruh dunia, namun sekaligus menguntungkan para kapitalis;


8. Karena turunnya pendapatan, kemampuan BUMN/Pertamina akan berkurang untuk melakukan cross-subsidy, menjalankan tugas perintisan, melayani masyarakat tidak mampu serta wilayah terpencil, tertinggal dan terluar. Hal ini jelas akan meningkatkan kesenjangan pendapatan kaya miskin (GINI ratio) dan kesejahteraan antar wilayah;


9. Menyediakan jalan bagi para pemilik modal, investor asing, para pengusaha oligarkis dan negara kapitalis menghisap sumber-sumber kekayaan negara dan ekonomi rakyat. Bukannya menangkal, Pemerintah Indonesia malah aktif mendukung agenda penghisapan potensi penerimaan APBN dan pemiskinan rakyat dimana sejumlah oknum pejabat yang tergabung oligarki kekuasaan ikut pula berburu saham IPO dan menikmati rente dalam proses privatisasi;


10. Pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir bahwa IPO subholding BUMN bertujuan mencari dana murah adalah manipulasi informasi. Erick telah membohongi rakyat. Faktanya Pertamina telah memperoleh kredit bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2021 total obligasi Pertamina sekitar US$ 14 miliar dengan tingkat bunga (kupon) 1,4% - 6,5% (weighted average: sekitar 4,60%). Nilai kupon tersebut lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014);


11. Karena saham negara di Pertamina/PGE masih 100%, jaminan pemerintah terhadap Pertamina otomatis melekat. Bahkan BUMN sering memperoleh hibah atau pijaman bunga 0%, hal yang tidak akan diperoleh BUMN yang sudah go public. Sehingga tanpa IPO, PGE justru dapat mengakses dana lebih murah, termasuk untuk menambah modal. Hal ini bertolak belakang dengan kampanye sejumlah Anggota DPR. Para wakil rakyat ini malah mendukung IPO PGE yang akan merugikan Negara/BUMN akibat kehilangan sebagian saham dan keuntungan, dibanding mencari dana lebih murah tanpa kehilangan saham 1% pun;


12. Sebagian besar penyebab masalah kinerja/GCG BUMN justru berasal dari pemerintah, seperti penempatan tim sukses, mengangkat teman sesama anggota oligarki menjadi pengurus BUMN (seperti terduga koruptor, Ahok), menunggak beban subsidi, menjadikan BUMN sebagai sapi perah, dll. Prinsipnya, masalah GCG terutama ada pada para subjek pelaku, yakni para penguasa, termasuk Kementrian BUMN. Jika ingin membenahi GCG melalui sistem, maka jadikanlah BUMN sebagai non-listed public company (NLPC).


Terlepas dari potensi kerugian rakyat akibat pontensi kenaikan harga energi, uraian di atas juga menjelaskan adanya potensi kerugian negara dan kerugian BUMN akibat privatisasi/IPO PGE. Kebijakan IPO PGE ini jelas sarat dugaan moral hazard. Untuk itu, kami menuntut agar DPR (secara kelembagaan bukan secara individual) dan KPK untuk segera mencegah terjadinya pirvatisasi PGE. Jangan biarkan oligarki menjarah aset negara dan menambah beban hidup rakyat!


Akhirnya, kami menuntut agar Pemerintah Indonesia terutama Presiden Jokowi untuk segera membatalkan rencana privatisasi PGE dan juga anak-anak usaha BUMN lain, seperti Pertamina Hulu Energy (PHE), Pertamina International Shipping (PIS), Indonesia Power, dan seluruh afiliasi Pertamina/PLN grup lain melalui proses IPO maupun modus penjualan saham lainnya.


Atas perhatian dan perkenan Bapak Presiden kami ucapkan terima kasih.


Salam Hormat,

Marwan Batubara, IRESS


Wassaalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.


*Tembusan:*

1. Menteri ESDM, Bapak Arifin Tasrif

2. Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani

3. Pimpinan KPK

Foto: Marwan Batubara