Habib Hanif: Catatan Atas Jawaban Imaduddin Utsman Untuk Risalah Ilmiah M Hanif Alathas

 



Kamis, 27 April 2023

Faktakini.info

Risalah Ilmiah yang disusun oleh Habib Muhammad Hanif Alatthas dibantah oleh Imaduddin Utsman dalam website resminya, salah satu bantahannya dengan tuduhan bahwa kitab yang dipakai Hanif Alatthas adalah PALSU. 

Benarkah demikian !? 

Berikut Jawaban telak dan ilmiah Habib Muhammad Hanif Alatthas atas Bantahan Imaduddin Utsman. 

Baca dan Sebarkan.

Klik untuk download :

https://t.me/markazsyariahtv/830

https://t.me/markazsyariahtv/830


Ayo Dukung Channel Markaz Syariah TV

Dengan Subscribe, Like & Share link dibawah ini :


Youtube    : http://lnkiy.in/hDJba

YT short    : http://lnkiy.in/pZZZx

Instagram : http://lnkiy.in/fLMpR

Twitter       : http://lnkiy.in/pWzI8

Telegram   : http://lnkiy.in/mxoiu


#revolusiakhlaq #markazsyariahtv #ibhrs #mstv

...

Bingkisan Lebaran 

Untuk Imaduddin Utsman

Oleh : Muhammad Hanif Alathas, Lc, M.Pd.

“ Catatan Atas Jawaban Imaduddin Utsman 

Untuk Risalah Ilmiah M Hanif Alathas ”


الحمد لله معيد الأعياد، و الصلاة و السلام على سيدنا محمد خير العباد، و على آله و صحبه الأمجاد، و التابعين لهم بإحسان في سبيل الرشاد، و بعد : 

ﭧﭐﭨﭐﱡﭐ ﱺ ﱻ ﱼ ﱽ ﱾﱿ ﲀ ﲁ ﲂ ﲃ ﲄ ﲅ ﲆ ﲇ ﲈ ﲉ ﲊ ﲋ ﲌ ﱠ فصلت: ٣٤


Rabu, 28 Ramadhan 1444 H setelah sahur saya menerbitkan Risalah Ilmiah mengupas tuntas syubhat Imaduddin Utsman tentang keabsahan nasab Habaib Baalawi, hanya berselang beberapa belas Jam kemudian, seorang sahabat saya mengirim link yang berisi jawaban Imaduddin Utsman terhadap Risalah Ilmiah yang saya susun yang dimuat dalam web resmi pondok pesantrennya. Luar biasa, di satu sisi saya salut betapa fokus dan cepatnya KH Imaduddin Utsman mengkaji masalah ini, namun di sisi lain, aksi cepat tanggap Imaduddin tersebut justru menyingkap betapa sembrononya ia dalam meneliti dan mengambil kesimpulan. Ada beberapa poin penting yang ingin saya soroti, diantaranya : 

  Dalam tulisannya, Imaduddin mengatakan “ Risalah Hanif ini, belum dapat membantah terputusnya nasab Ba Alawi. Karena di dalamnya hanya mengetengahkan tentang pembicaraan para ulama terhadap nasab Ba Alawi mulai dari abad 9 “ - kemudian ia juga mengatakan - “ Ketika ketersambungan dari 345-996 hijriah ini tidak ada maka semua pujian ulama setelah tahun 996 H tidak berfaidah dalam itsbat nasab Ba Alawi” dan seterusnya. 

Pernyataan Imaduddin di atas menunjukkan bahwa ia tidak betul-betul membaca Risalah Ilmiah saya. Padahal siapapun yang membaca Risalah tersebut maka akan melihat secara jelas dan gamblang bahwa saya mengutip kesaksian-kesaksian Ulama dari kitab-kitab mereka sebelum tahun 996 H tentang keabsahan Nasab Baalwi; Seperti al-Imam al-Janadi ( W : 732 H ), al-Imam al-Yafi’i ( W : 768 H ), al-Imam ar-Rosuli ( W : 778 H ), al-Imam al-Khozroji ( W : 812 H ) al-Imam Husein al-Ahdal (W : 855 H) al-Imam Abdurrahman al-Khothib ( W : 855 H ), an-Nassbah Kazdhim al-Musawi ( W : 880 ) al-Imam As-Syarji az-Zabidi ( W : 893 H ) al-Hafidz as-Sakhowi ( W : 902 H ), al-Imam Bamakhromah ( W : 947 H ) Al-Mutawakkil ‘Alallah Yahya bin Syarafuddin al-Mahdi (W : 965 H) Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ( W : 974 H ), baru kemudian an-Nassabah as-Samarqondi ( W : 996 H ) dalam kitabnya Tuhfatutholib, dan seterusnya.

Artinya, Imaduddin menanggapi dan menghukumi apa yang saya tulis dalam risalah tersebut sebelum mengetahui (Tashawwur) isinya , secara Ilmu manthiq apa yang dilakukan Imaduddin ( Tashdiq sebelum Tashawwur deengan benar ) sudah merupakan cacat logika. Dari sini terlihat jelas bahwa apa yang dilakukan Imaduddin tidak lebih dari sekedar Safsathoh dan pemutar balikkan fakta, bukan dalam rangka mencari kebenaran sebagaimana yang ia dengungkan, akan tetapi mengkaburkan kebenaran dan mencari pembenaran.

Sebetulnya, yang menjadi salah satu fokus utama saya dalam risalah adalah mengungkap adanya kesalahan mendasar dalam metode penelitian Imaduddin dalam hal ini, yaitu Syarat “ harus adanya kitab yang ditulis di zaman Ahmad bin Isa atau mendekatinya dan menganggap kitab-kitab yang datang di masa-masa berikutnya sebagai sumber yang tidak mu’tabar” ! ia membuat syarat yang tidak disyaratkan oleh Ulama al-Ansab itu sendiri dalam memverifikasi nasab-nasab yang sudah jauh turun-temurun. Dan lebih dari itu, ia mengharuskan siapapun untuk tunduk kepada syaratnya, padahal syarat ini bermasalah, dari mana syarat ini didapatkan ?  

Penetapan nasab merupakan domain syariat yang standarnya sudah diuraikan secara paten dan gamblang oleh para Ulama sebagaimana telah saya tuangkan sebagiannya dalam risalah. Lantas, dengan syarat itu Imaduddin ingin mengugurkan semua kesaksian ulama besar dari masa-masa tentang keabsahan nasab saadah Baalwi melalui jalur Abdullah / Ubaidllah bin Ahmad cuma karena tidak se zaman dengan Ahmad bin Isa ? padahal kesaksian para ulama yang telah dimuat panjang lebar dalam Risalah bukanlah pendapat hasil ijtihad mereka, sebab urusan nasab bukan urusan pendapat atau ijtihadi. Penisbatan itu tidak lain merupakan hasil verifikasi yang murni berpijak kepada data-data sebelumnya ? baik melalui sumber tertulis atau sumber yang tidak tertulis, apa karena Imaduddin tidak bisa menjangkau sumber data para Ulama tersebut kemudian Imaduddin mau menganggap itu tidak ada tidak mu’tabar ? kalau memang Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Abdullah/Ubaidillah, kemana saja para Ulama ahli nasab selama beradab-abad tidak ada satupun yang menafikan justru yang banyak malah mengitsbatkan ? apakah selama lebih dari 1000 tahun baru Imaduddin dan sebelumnya seorang wahabi dari timur tengah yang bernama Murod Syukri di pertengahan tahun 1990 an Masehi yang sadar akan hal ini ? Mohon maaf, jika ada yang mengatakan siang hari gelap gulita, maka bukan mataharinya yang bermasalah, namun matanya yang bermasalah.

Lucunya, Imaduddin dalam bukunya membuktian bahwa Sayyiduna Ali Uraidhi merupakan anak dari Ja’far as-Shodiq, dan Ja’far as-Shodiq merupakan anak dari Muhammad al-Bagir dan Muhammad al-Bagir merupakan anak dari Ali Zainal Abdiin berdasarkan sanad hadits yang diriwayatkan al-Imam at-Turmudzi, dari Nashr bin Ali al-Jahdhomi, dari Ali Uraidhi dari saudaranya Musa al-Kadzhim dari ayahnya Ja’far as-Shodiq dari ayahnya Muhammad al-Bagir dari ayahnya Ali Zainal Abidin dari Ayahnya al-Husein dari Ayahnya ٍ Sayyidina Ali bin Abi Tholib dari Rasullah saw. Namun ironisnya di waktu yang sama, ia mengabaikan sanad thoriqoh yang disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tsabatnya dari Sayyiduna Abubakar al-Idrus yang terus bersambung dan disebutkan secara rinci dari ayah-ayahnya sampai ke Rosullah saw. Di sini terlihat sekali inkonsistensi Imaduddin, dengan ini ia juga meruntuhkan kaidah yang ia bangun sendiri.  

Lebih lucunya lagi, Imaduddin bersikeras mengatakan bahwa Ahmad bin Isa tidak terbukti punya anak bernama Abdullah/Ubaidllah dan menitik beratkan argumennya pada keterangan dalam kitab as-Syajarah al-Mubarokah yang dinisbatkan kepada ar-Rozi bahwa anak Ahmad bin Isa ada 3 dan tidak ada nama Abdullah/Ubaidllah disitu. Selain, penisbatan as-Syajaroh al-Mubarokah kepada Ar-Rozi bermasalah, kitab Asy-Syajaroh al-Mubarokah juga tidak pernah menafikan keberadaan anak Ahmad bin Isa yang bernama Abdullah/Ubaidillah. Bahkan sebaliknya , As-Sayyid Mahdi ar-Roja’i sendiri, Ulama syiah ahli nasab asal Qum yang mentahqiq kitab as-Syajaroh al-Mubarokah yang dijadikan rujukan oleh Imaduddin, dalam kitabnya al-Mu’qibun min Aal Abi Tholib menyebutkan sosok Ubaidllah sebagai putra Ahmad bin Isa yang ikut hijrah bersama ayahnya ke Hadhromaut, serta memilki anak Jadid, Bashri dan Alawi, yang mana keteurunan Alawi tersebar di berbagai belahan dunia. Bahkan guru dari Sayyid Mahdi ar-Roja’i yang menemukan manuskrip as-Syajaroh al-Mubarokah, yaitu Ayatullah Mar’asyi yang merupakan Nassabah dari kalangan Syiah, juga mengakui dengan jelas keabsahan nasab Baalawi sebagai Asyrof keturunan Rosullah saw. Artinya penemu naskah as-Syajarah al-Mubarokah dan pentahqiqnya pun tidak pernah memahami isi kitab as-Syajarah al-Mubarokah terkait keturunan Ahmad biin Isa sebagaimana yang difahami Imaduddin.

Karenanya, tidak disebutkannya nama Abdullah/Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa dalam 7 refrensi yang disebutkan Imaduddin tidak mengandung makna apapun terkait nafi atau itsbat, namun yang pasti penyebutan nama Ubaidillah/Abdullah dan kesaksian atas keabsahan nasab Baalwi dalam berbagai refrensi mu’tabar yang telah kami sebutkan dalam risalah merupakan bukti nyata akan eksistensi nasab mereka sebagai as-Syrof, khususnya dalam catatan para nassabah yang otentik dan menarik tiang nasab sampai ke atas dengan catatan yang sudah terverifikasi oleh Nassabah tersebut, sebegaimana diuraikan dalam teori verifikasi nasab menurut perspektif ilmul ansab, bukan syarat baru yang dibuat oleh Imaduddin sendiri.  

Dalam “Risalah” saya mengutip kesaksian Syaikhusyyarof al-‘Ubaidili ( W : 435 H ) tentang hijrahnya al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa bersama putranya Abdullah menuju Hadhromaut, kesaksian tersebut dimuat oleh al-Imam an-Nassabah Murtahdo az-Zabidi dalam karyanya ar-Raduhul Jali Fi Nasabi Bani Alawi. Imaduddin mengatakan “ Hanif menyebutkan bahwa nasab Alwi ( mungkin yang dimaksud Abdullah/Ubaidillah) sebagai anak Ahmad telah disebutkan di abad 5. Alhamdulillah. Apa betul? Menurutnya, nasab itu telah disebut oleh Al-Ubaidili yang wafat 435 H. yang demikian itu disebut dalam kitab Al-Raud Al-Jali, karya Az-Zabidi (W.1205). kalau ini terbukti kita akan taslim akui mereka sebagai keturunan Nabi. Subhanallah. “

 Mirisnya, lagi-lagi secara sembrono Imaduddin menuding bahwa naskah ar-Raudhul Jali yang saya jadikan rujukan ( Cetakan Darul Fath Yordania 1444 H ) adalah PALSU, karena telah ditambah-tambahkan oleh Mu’alliq al-Habib Alwi bin Thohir al-Haddad dan Muhaqqiq Dr. Muhammad Abubakar Badzeib. Sebab, menurut Imaduddin dalam naskah ar-Raudhul Jali yang ia miliki ( cetakan maktabah Daar Kanaan tahun 1431 H ) tidak ada kata-kata

 ( قال شيخ الشرف العبيدلي ) sehingga naskah ar-Raudhul Jali yang saya jadikan rujukan adalah PALSU karena berbeda dengan naskah yang ia miliki yang lebih dulu dicetak. Bahkan setelah itu Imaduddin dengan penuh percaya diri menyindir ulama sekaliber al-Muarrikh al-Habib Alwi bin Thohir al-Haddad tentang moral ilmiah dan kejujuran Ilmiah. Benarkah demikian ?

Justru, bagi saya moral, kejujuran serta logika ilmiah Imaduddin yang perlu dipertanyakan !? bagaimana mungkin ia bisa memvonis naskah ar-Raudhul Jali cetakan daarul Fath yang saya miliki palsu dan ditambah-tambahkan cuma karena berbeda dengan naskah yang ia miliki ( cetakan Daar Kan’aan) ? Kaidah filologi mana yang ia pakai ? 

Jika ingin memastikan kesesuaian cetakan kitab tersebut dengan naskah aslinya maka harus merujuk kepada manuskrip yang dijadikan pegangan dalam penulisan ulang, tahqiq dan pencetakan kitab tersebut.

Naskah ar-Raudhul Jali cetakan Darul Fath 1444 H yang saya jadikan rujukan, dalam Muqoddimah Tahqiqnya Muhaqqiq Dr. Muhammad Abubakar Badzeib menyebutkan bahwa ia bersandar dalam tahqiqnya kepada 2 naskah manuskrip :

 Naskah manuskrip pertama dan utama ( al-Ashl ) : merupakan naskah yang disalin oleh an-Nassabah Hasan Muhammad Qosim (W 1394 H ), pada tahun 1350 H beliau menyalin dari naskah yang ditulis oleh Abdul Mu’thi as-Sayyid al-Wafa’I yang merupakan murid dari muallif al-Murtadho az-Zabidi dan naskah tersebut di-acc oleh muallif (و عليها خط المؤلف). Naskah manuskrip ini terjaga rapi di Maktabah as-Saadah al-Wafa’iyyah di Mesir. Naskah ini dihadiahkan oleh as-Sayyid Abdullah bin Ahmad bin Yahya kepada al-Habib Alwi bin Thohir al-Hadad pada 25 Sya’ban 1352 H.

 Naskah manuskrip kedua : merupakan naskah yang disalin pada tahun 1358 H oleh as-Sayyid Thohir bin Alwi al-Haddad ( W : 1394 H ), yang juga menukil dari naskah yang ditulis oleh Abddul Mu’thi a-Wafai’i yang merupakan murid dari Muallif al-Murtadho az-Zabidi, dan di acc oleh muallif ( و عليها خط المؤلف) naskah tersebut terjaga di Maktabah al-Ahqoff lil Makhthuthoot di Tarim dengan No 2059 tarikh.

Adapaun kitab ar-Raudhul Jali cetakan daarul Kanaan 1431 H yang dijadikan pegangan oleh Imaduddin hanya merujuk kepada naskah manuskrip kedua yang saya sebutkan diatas, sebagaimana disebutkan oleh Arif Ahmad Abdulghoni dalam muqoddimah tahqqinya.   

Sayapun berusaha menghubungi Muhaqqiq Dr Muhammad Abubakar Badziib untuk meminta Salinan dari 2 naskah manuskrip di atas khususnya di halaman terkait pembahasan Imam al-Muhajir dan putra-putranya, beliaupun dengan sukarela mengirimkan gambar salinan tersebut.

Setalah saya teliti dengan seksama, baik naskah manuskrip pertama ( al-Ashl) atau naskah manuskrip kedua ( yang juga dijadikan sandaran oleh Muhaqqiq kitab cetakan daar Kanaan yang dipegang oleh Imaduddin ) keduanya sama-sama mengutip ungkapan dari Syaikhusyyarof al-‘Ubaidili tentang hijrahnya Ahmad bin Isa Bersama putranya yang Bernama Abdulllah ( Ubaidillah ), kedua manuskrip tersebut juga mencantumkan bahwa apa yang telah an-Nassabah az-Zabidi sebutkan dari anak-anak Ahmad bin isa merupakan hal yang disepakati oleh para ahli nasab;

 (هذا ما اتفق عليه النسابون من عقب أحمد بن عيسى النقيب ) sebagaimana yang termaktub dalam kitab ar-Raudhul Jali cetakan dar al-Fath Yordania 1444 H yang di Tahqiq oleh Dr Muhammad bin Abubakar Badzeib yang saya jadikan rujukan dalam Risalah yang saya susun. 

Berikut saya tampilkan foto-foto dari salinan naskah manuskrip pertama dan kedua :

Manuskrip 1 ( Cover )



Manuskrip 1 ( Isi tentang Ahmad bin Isa dan putranya Abdullah )




Manuskrip 1 ( Penutup )

   



















Manuskrip 1 ( Penutup )




Manuskrip 2 ( Cover ) 




Manuskrip 2 (Isi) 



























Manuskrip 2 ( Penutup ) 

























Dari lembaran-lembaran manuskrip diatas, sangat jelas bahwa an-Nassabah al-Imam Murtadho az-Zabidi dalam kitabnya ar-Raudhul Jali memang mengabadikan pernyataan Syaikhusyyarof al-‘Ubaidili (W : 431 H) tentang hijrahnya Ahmad bin Isa bersama putranya Abdullah ke Hadhromut. An-Nassabah az-Zabidi juga mengutip tentang status Abdullah ( Ubaidillah ) sebagai anak Ahmad bin Isa dari Mush’ab az-Zubairi yang hidup satu zaman dengan Abdullah bin Ahmad bin Isa, begitu juga al-Umari (W : 490 H ) dalam kitabnya Musyajjarul Ansab serta diakhiri pembahasan tentang anak-anak Ahmad bin Isa -yang diantaranya bernama Abdullah- dengan perkataan an-Nassabah Az-Zabidi yang mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan kesepakatan para ahli nasab (هذا ما اتفق عليه النسابون) . ini semua tercantum baik di naskah manuskrip pertama dan kedua.

Dari manuskrip pertama dan utama juga jelas, bahwa catatan ( ta’liq ) dari al-Allamah al-Muarrikh Alwi bin Thohir al-Haddad tidak sama sekali bercampur dengan naskah asli ar-Raudhul Jali, beliau memberikan catatan-catatannya dipinggir (Hamisy) kitab, bahkan dalam muqoddimah tahqiqnya Dr. Muhammad Badzeib memastikan dalam penulisannya bahwa setiap catatan, koreksi atau faidah tambahan dari Habib Alwi bin Thohir al-Haddad dan Dr Badzeib sendiri tidak dicampur dengan matan asli kitab ar-Raudhul Jali, akan tetapi jika ditulis ditengah matan diberikan kurung buka dan tutup “[ ]” atau ditulis dalam catatan kaki. 

Sebaliknya, dari foto-foto manuskrip diatas, justru ar-Raudhul Jali yang dicetak oleh Dar Kanaan 1431 H dengan tahqiq oleh Arif Ahmad Abdulghoni dan dijadikan pegangan oleh Imaduddin, justru cetakan inilah yang bermasalah. Sebab jelas-jelas dalam pembahasan tentang Abna Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa beda dengan naskah manuskrip kedua yang ia jadikan objek tahqiq. Bahkan Dr. Badzeib secara khusus dalam muqoddimah tahqiqnya mengulas tentang berbagai masalah amanah ilmiah yang ada dalam ar-Raudhul Jali cetakan Dar Kanaan. Tidak usah jauh- jauh, dari judul saja amanah ilmiahnya dipernyatakan, Arif Ahmad Abdulghoni sebagai muhaqqiq memberikan judul “ ar-Raudhul Jali fi Ansabi Ali Ba’alawi “, padahal dalam naskah manuskrip 2 yang dijadikan objek tahqiq oleh Arif Ahmad secara jelas tercantum dengan judul “ ar-Raudhul Jali fi Nasabi Bani Alawi” dengan kata mufrod “ Nasab “ bukan “Ansab” dengan jama’. Jika dalam penulisan judulnya saja sudah tidak menjaga Amanah ilmiah bagaimana dengan isinya ? berbagai problem amanah ilmiah dalam ar-Raudhul Jali cetakan daar Kanaan ini diulas secara apik dan obyektif oleh Dr. Muhammad Badzib dalam muqoddimah tahqiqnya. 

Tidak sampai disitu, dalam tulisannya yang mengulas dialog Habib Hamid al-Gadri di youtube chanel Majlis Muwasholah, Imaduddin menyajikan infromasi bahwa al-Imam Murtadho az-Zabidi saat menulis kitab ar-Raudhul Jali masih berusia 20 tahun, seolah ia ingin memframing bahwa an-Nassabah az-Zabidi saat menulis kitab tersebut belum dalam usia keilmuan yang matang. Padahal informasi yang ia sampaikan keliru, dalam penutup naskah manuskrip 1 yang saya muat diatas terlihat jelas bahwa an-Nassabah Murtadho az-Zabidi menulis kitab ar-Raudhul Jali di Pertengahan bulan Dzulqo’dah tahun 1196 H, artinya saat itu usia beliau 51 tahun 9 tahun sebelum beliau wafat, sebab beliau dilahirkan tahun 1145 H dan wafat pada tahun 1205 H. Andaipun beliau menulis kitab tersebut pada umur 20 tahun, maka umur tidak jadi tolak ukur dalam kematangan keilmuan seseorang, berapa banyak anak muda yang ilmunya tua, begitu pula sebaliknya.

Dengan demikian, tuduhan Imaduddin bahwa kitab ar-Raudhul Jali cetakan Daar alFath 1444 H yang saya jadikan rujukan adalah PALSU karena sudah ditambah-tambahkan oleh Mu’alliqnya Habib Alwi bin Thohir al-Haddad dan Muhaqqinya Dr Muhammad Badzeib, tidak lain merupakan FITNAH. Segala sindirian Imaduddin tentang amanah dan moral ilmiah seharusnya ia tujukkan kepada dirinya sendiri yang seenaknya memvonis palsu kitab yang tidak sesuai dengan framing yang ia bangun tentang terputusnya nasab Ba’aalwi. 

Berikutnya dalam tulisan bantahannya terhadap risalah ilmiah yang saya tulis, Imaduddin menyinggung soal kutipan dari kitab as-Suluk karya al-Imam al-Jundi/al-Janadi ( W : 732 H ), lagi- lagi dengan sembrono Imaduddin mengatakan “ Sedikit bocoran, setiap kata Ba Alawi dan Ibnu Abi Alwi abad 8-9 H, itu maksudnya bukan Ba Alawi yang kita kenal sekarang, itu Ba Alawi berbeda. Abdullah yang disebut abad delapan dan Sembilan itu bukan yang menurunkan Faqih Al-muqoddam, beda orang dengan Ubaidillah, tidak ada kesamaan keduanya. Dengan bocoran ini, harus dicari dalail yang menyatakan keduanya sama. Bagi penulis, Nasab Ubaidillah bin Ahmad ini baru resmi ditulis dalam kitab nasab pada abad 10, maka perlu ketersambungan riwayat Ubaidillah ini dari abad 10-5 hijriah”.

Untuk mempertahankan framingnya tentang ketidak absahan nasab Baalwi, Imaduddin ingin berusaha berpaling dari fakta bahwa banyak kitab-kitab di abad ke 8 – 9 yang merekam eksistensi Saadah Baalwi sebagai ahlubait sebagaimana telah saya uraikan Panjang lebar dalam risalah. Karenanya Imaduddin menggiring bahwa setiap kata Ba Alawi dan Ibnu Abi Alwi abad 8-9 H, maksudnya bukan Ba Alawi yang kita kenal sekarang, itu Ba Alawi berbeda.Abdullah yang disebut abad delapan dan Sembilan itu bukan yang menurunkan Faqih Al-muqoddam. Benarkah demikian ? 

Dalam kitab as-Suluk, al-Imam al-Jundi ( W : 732 H ) menyebutkan sebagai berikut :

"وقد انقضى ذكر أهل تعز من فقهائها وأحببت أن ألحق بهم الذين وردوها ودرسوا فيها وهم جماعة من الطبقة الأولى منهم أبو الحسن علی بن محمد بن أحمد بن جديد بن علي بن محمد بن جديد بن عبد الله بن أحمد بن عيسى بن محمد بن علي بن جعفر الصادق بن محمد الباقر بن على زين العابدين بن الحسين بن علي بن أبي طالب كرم الله وجهه ، ويعرف بالشريف أبي الجديد عند أهل اليمن أصله من حضرموت من أشراف هنالك يعرفون بآل أبي علوي بيت صلاح وعبادة على طريق التصوف وفيهم فقهاء يأتي ذكر من أتحقق إن شاء الله تعالى مع أهل بلده" 

Dalam keterangan di atas Bahauddin al-Jundi menyebutkan Nasab Abul Hasan Ali yang bersambung kepada Jadid bin Abdullah ( Ubaidillah ) bin Ahmad bin Isa, dst. Tidak hanya itu beliau juga mempertegas bahwa Abul Hasan tersebut berasal dari Hadhromaut yang mana di Hadhromut ada kalangan Asyrof ( Panggilan untuk Dzurriyyah Nabis saw) yang dikenal dengan sebutan Aal Abi Alawi, juga dikenal kesolehannya dan ahli ibadahnya serta banyak ahli Fiqih diantara mereka. Siapa yang dimaksud “Aal Abi Alawi “ ? Aal berati keluarga, Abi Alawi berarti Ayahnya Alwi, artinya keluarga ayahnya Alwi. Siapakah ayahnya Alwi ? yaitu Abdullah ( Ubaidillah )bin Ahmad bin Isa berarti Ali Abi Alawi adalah keluarga Abdullah/Ubaidllah bin Ahmad bin Isa . Adapun Sayyid Abul Hasan Ali bin Muhamad yang disebutkan oleh al-Jundi diatas, merupakan cucu dari Abdullah bin Ahmad bin Isa melalui jalur putranya yang bernama Jadid, sebab Abdullah bin Ahmad bin Isa memilki 3 putra, yaitu; Bashri, Jadid dan Alwi. Sehingga informasi dari al-Jundi diatas seharusnya sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Ahmad bin Isa memiliki putra yang bernama Abdullah dan banyak keturunannya di Hadhromaut dikenal dengan sebutan Aal Abi ‘Alawi. Hal ini sesuai dengan keterangan dari berbagai kitab lainnya, diantaranya al-Jauhar as-Syaffaf karya sejarawan Tarim al-Imam Abdurrahman bin Muhammad al-Khotib ( W : 855 H ) yang di dalamnya menyebutkan : 

وهذه لوامع مشرقه تتعلق بذكر ال ابي علوي خاصه وذكر نسبتهم وانتقالهم الى حضرموت وذلك مع دخولهم فيما تقدم من فضل اهل البيت المذكور وذلك ان جدهم احمد بن عيسى بن محمد بن علي بن جعفر الصادق بن محمد الباقر بن علي زين العابدين بن الحسين بن علي كرم الله وجهه ورضي الله عنهم اجمعين خرج من البصره خامس خمسه غير الخدم منتقلا باهله وولده وماله حتى قدم حضرموت وكل ما اقام ببلدة منها اشترى عقار فاول ماقام بالحسيسه ثم انتقلوا منها الى قارة جشيب ثم انتقلوا منها الى سمل الى بيت جبير واحتفروا فيها بئرا وهي الان معروفه ببير احمد ثم انتقلوا من بيت جبير الى تريم واستوطنوا بها وبنوا فيها مسجدهم المعروف مسجد آل احمد وهو مسجد بني احمد بن عيسى وكذلك البير المذكوره اولا بالحسيسه المذكوره وقبره في شعبها وكان يرى على الموضع الذي يشار اليه ان قبره الشريف فيه النور العظيم وكان شيخنا الشيخ العارف بالله تعالى عبد الرحمن بن الشيخ محمد بن علي علوي يزوره في ذلك المكان وقيل مات بقارة جشيب وكان له الولد عبيد الله وخلف عبيد الله الشيخ بصري جد الفقيه الامام العالم العامل سالم بن بصري وعصبته وكانوا مشهورون بالعلم والصلاح وانقرضوا قريبا من رأس الست مائه من غير عقب والشيخ جديد جد الامام الزاهد العالم العامل العلامه المحدث علي بن محمد بن احمد بن جديد بن علي بن محمد بن جديد بن عبيد الله بن احمد بن عيسى وكان اجازه اكثر اهل اليمن وكثير من اهل مكه في الحديث اليه ثم انقرضوا هو وبنوا عمه ولم يخلفوا عقيبا قريبا ايضا من راس الست مائه والشيخ علوي بن عبيد الله بن احمد بن عيسى وكان اجازه اكثر اهل العلم من اهل اليمن وخلف علوي هذا محمد الخلف الصالح المعروفين الان بال ابي علوي الذي عمر الله البلاد والعباد ببركتهم وازال البلاء عنا بجاههم"

 Bahkan, jika kita membuka lembaran-lembaran lain dari kitab as-Suluk karya al-Jundi tersebut, beliau menyebutkan beberapa tokoh besar dari saadah Baalawi, sebagaimana berikut : 

“ ومنهم أبو مروان لقبا واسمه علي بن أحمد بن سالم بن محمد بن علي كان فقيها خيرا كبيرا عنه انتشر العلم بحضرموت انتشارا موسعا لصلاح كان وبركة في تدريسه وكان صاحب مصنفات عديدة وهو أول من تصوف من بيت أبا علوي اذ هم أنما يعرفون بالفقه ولما بلغ الفقيه ذلك وإن هذا تصوف هجره وممن تفقه بأبي مروان أبو زكريا خرج مقدشوه فنشر العلم بها وبنواحيها نشرا موسعا ولم أتحقق لأحد منهم تاريخا

ومن بيت أبي علوي قد تقدم لهم بعض ذكر مع ذكر أبي جديد مع واردي تعز وهم بيت صلاح طريق ونسب فيهم جماعة منهم حسن بن محمد بن علي باعلوي كان فقيها يحفظ الوجيز للغزالي غيبا وكان له عم اسمه عبد الرحمن بن علي بن باعلوي ومنهم علي بن باعلوي كان كثير العبادة عظيم القدر لا يكاد يفتر عن الصلاة ثم متى تشهد قال السلام عليك ايها النبي ويكرر ذلك فقيل له فقال لا ازال افعل حتى يرد النبي صلى الله عليه وسلم فكان كثيرا ما يكرر ذلك ولعلي ولد اسمه محمد ابن صلاح وله ابن عم اسمه علي بن باعلوي بعض تفاصيل ابا علوي احمد بن محمد كان فقيها فاضلا توفي سنة 724 تقريبا وعبد الله بن علوي باق الى الآن حسن التعبد وسلوك التصوف ومنهم ابو بكر بن احمد فيه عبادة مرضية “

Jika ungkapan al-Jundi diatas dianggap ada yang kurang jelas, maka al- Imam Husein bin Abdurrahman al-Ahdal (W : 855 H) dalam kitabnya Tuhfatuzzaman fitarikh Saadatil Yaman yang merupakan ringkasan sekaligus penjelasan dan pengembangan dari kitab as-Suluk karya al-Jundi menjelaskan sebagai berikut : 

" ومنهم: أبو مروان علي بن احمد بن سالم كان فقيها كبيرا، انتشر عنه العلم بحضرموت انتشار ا كبير ا لصلاحه وبركة تدريسه وكان صاحب مصنفات و به تفقه محمد بن علي باعلوي وهو اول من تصوف من بيت با علوي، إذ هم إنما يعرفون بالفقه والشرف ولما بلغ الفقيه أبا مروان أنه تصوف، هجره، كذا قال الجندي.  

وممن نفقه يابي مروان أبو زكريا خرج إلى مقدشوة، فنشر العلم بها نشرا موسعا ، ولم يحقق الجندي تواريخهم.

قال ومن بيت أبا علوي من تقدم ذكره في واردي تعز كأبي جديد الحسيني، ومن متأخريهم حسن بن محمد بن علي أبا علوي ومنهم: علي بن علوي كان عابدا كثير الصَّلاة وكان يكرر في تشهده السلام عليك أيها النبي مترشحا لرد السلَّام من النبي صلى الله عليه وآله وسلم، وله ولد اسمه محمد فيه صلاح وله ابن عم ا اسمه محمد بن علي بن أبا علوي تفقه بفضل من بيت باعلوي أيضا ، وله ابن عم اسمه أحمد بن محمد و كان فقيها فاضلا توفى سنة أربع وعشرين وسبعمائة وعبد الله بن علوي، كان حسن التعبد والسلوك في عصر الجندي، وأبو بكر بن أحمد له عبادة مرضية "

Dalam kutipan kitab as-Suluk dan ringkasannya Tuhfatuzzaman di atas, al-Imam al-Jundi menyebutkan beberapa nama dari Saadah Baalwi, diantaranya : 

Sayyidina Muhammad bin Ali Baalwi ( yang dikenal dengan sebutan Fagih al-Mugoddam), dan al-Jundi menyebutnya sebagai orang pertama yang mengikuti tashawwuf dari kalangan Baalawi.

Sayyidina Ali bin Alwi (dikenal dengan Kholi’ Qosam), bahkan Al-Jundi menegaskan kisah Ali bin Alwi yang terkenal ketika membaca tasyahhud mengulang-ngulang salamnya untuk Rosulullah saw agar mendapat jawaban langsung dari Rasulullah saw

Putra soleh Ali bin Alwi yang bernama Muhammad bin Ali bin Alwi ( yang dikenal dengan sebutan Muhammad Sohib Mirbath)

Sayyidina Abdullah bin Alwi ( W : 731 H ) ( yang dikenal dengan Abdullah Baalwi ) yang secara spesifik al-Jundi (W : 732 ) mengatakan bahwa Abdullah bin Alwi hidup satu zaman dengannya.

Bahkan al-Imam al-Husein al-Ahdal (W : 855 H ) dalam Tuhfatuzzaman mengupdate nama tokoh-tokoh Baalwi yang lahir setelah wafatnya al-Jundi, beliau mengatakan : 

“ قلت ومنهم في عصرنا الشيخ عمر بن عبد الرحمن، وبعده أخوه عبد الله وقبلهما أبوهما عبد الرحمن بني ثمانية عشر مسجدا ، وكان من أكابرهم، وكذلك ولده عمر كان فقيه ا فاضلا يروى له كرامات بلغني وفاة عمر في ثاني يوم من ذي القعدة . سنة ثلاث وثلاثين وثماني مائة، أخبرني بذلك صاحبه الفقيه علي بن عبد الرحمن بن محمد بن سعيد الأشعني، من ذرية الأشعث بن قيس”

Dalam kutipan di atas, al-Ahdal ( W : 855 H ) menyebutkan 3 tokoh populer Baalawi yang hidup di Zamannya : 

Sayyidina Umar bin Abdurrahman ( yang dikenal dengan Umar Muhdhor ) yang secara eksplisit tahun wafatnya disebutkan oleh al-Ahdal yaitu W : 833 H, tahun wafat ini persis seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab di internal kalangan Habaib.  

Sayyidina Abdullah bin Abdurrahman ( Adik Sayyidina Umar Muhdhor ) W : 857 H

Dan Ayahnya, yaitu; Sayyidina Abdurrahman ( yang disebut as-Seggaf al-Mugoddam at-Tsani ) W : 819 H 

Berdasarkan kutipan dari kitab as-Suluk, Tuhfatuzzaman dan al-Jauhar as-Syaffaf di atas, maka sangat jelas bahwa:

   Ahmad bin Isa memilki anak bernama Abdullah, dan Abdulllah bin Ahmad bin Isa memilki anak bernama Bahsri, Jadid dan Alwi yang mana keturnan dari 3 orang ini disebut (آل أبي علوي ) Aal Abi Alawi ( Keluaga ayahnya Alawi yaitu Abdullah, dan keturunan Alwi secara spesisifk juga disebut (باعلوي) Baalawi, yang berarti (بني علوي) keturunan Alawi. 

Dan dengan Perincian nama-nama para tokoh keturunan Alawi bin Abdullah ( Ubaidillah ) bin Ahmad bin Isa yang disebutkan dalam as-Suluk dan Tuhfatuzzaman, maka tidak ada alasan lagi untuk mengatakan bahwa yang dimaksud Baalwi dalam kitab-kitab abad ke 8-9 bukanlah Baalawi yang kita kenal saat ini sepeti klaim Imaduddin.

 Penyebutan nama-nama para tokoh Baalwi keturunan Alwi bin Abdullah (Ubaidillah) bin Ahmad bin Isa diatas juga menunjukkan Bahwa Abdullah dan Ubaidllah adalah satu sosok yang sama, Ubaidllah hanyalah nama lain dari Abdullah, sebab nama-nama para tokoh keturunan Abdullah yang disebutkan secara rinci dalam as-Suluk dan Tuhfatuzzaman adalah nama-nama keturunan Ubaidllah yang sama yang populer dan terkenal disebutkan secara rinci dalma kitab-kitab Internal Habaib seperti al-Barqoh al-Masyiqoh, dll. Bahkan dalam al-Jauharussyaffaf yang dikarang oleh Syekh Abdurrahman al-Khothib ( W : 855 H ) sudah menyebutkan secara spesifik nama Ubaidllah sebagai anak Ahmad bin Isa. 

Sebagai penutup, saya ingin mengutip keterangan dari seorang ulama asal Banten bernama KH Imaduddin Ustman pimpinan ponpes Nadhotululum, dalam kitabnya al-Fikroh an-Nahdiyah secara jelas beliau menyatakan bahwa termasuk Bani Hasyim adalah Saadah Baalawi yang dinisbatkan kepada as-Sayyid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa dan seterusnya sampai dengan Rosulullah saw. Berikut redaksi beliau :



 











Semoga tulisan in bermanfaat dan mendapatkan ridho Allah swt, Hadaniyallah wa iyyakum ila Shirothihil Mustaqim, Wallahu A’lam Bishhowab.

                                                Palembang, 6 Syawwal 1444 H/ 27 April 2023 M.

.............

Bingkisan Lebaran 

Untuk Imaduddin Utsman

Oleh : Muhammad Hanif Alathas, Lc, M.Pd.

“ Catatan Atas Jawaban Imaduddin Utsman 

Untuk Risalah Ilmiah M Hanif Alathas ”

الحمد هلل معيد األعياد، و الصالة و السالم عىل سيدنا محمد خري العباد، و عىل آله و صحبه

ي سبيل الرشاد، و بعد :

ن

لهم بإحسان ف

األمجاد، و التابعرين

ٹٱٹٱُّٱثىثي فى في قيقى كاكلكمكى كيلملىليما

مم نرنز نمَّ فصلت: ٣٤

Rabu, 28 Ramadhan 1444 H setelah sahur saya menerbitkan Risalah Ilmiah 

mengupas tuntas syubhat Imaduddin Utsman tentang keabsahan nasab Habaib 

Baalawi, hanya berselang beberapa belas Jam kemudian, seorang sahabat saya 

mengirim link yang berisi jawaban Imaduddin Utsman terhadap Risalah Ilmiah yang 

saya susun yang dimuat dalam web resmi pondok pesantrennya. Luar biasa, di satu 

sisi saya salut betapa fokus dan cepatnya KH Imaduddin Utsman mengkaji masalah 

ini, namun di sisi lain, aksi cepat tanggap Imaduddin tersebut justru menyingkap 

betapa sembrononya ia dalam meneliti dan mengambil kesimpulan. Ada beberapa 

poin penting yang ingin saya soroti, diantaranya : 

1. Dalam tulisannya, Imaduddin mengatakan “ Risalah Hanif ini, belum 

dapat membantah terputusnya nasab Ba Alawi. Karena di dalamnya hanya 

mengetengahkan tentang pembicaraan para ulama terhadap nasab Ba 

Alawi mulai dari abad 9 “ - kemudian ia juga mengatakan - “ Ketika 

ketersambungan dari 345-996 hijriah ini tidak ada maka semua pujian 

ulama setelah tahun 996 H tidak berfaidah dalam itsbat nasab Ba Alawi” 

dan seterusnya. 

Pernyataan Imaduddin di atas menunjukkan bahwa ia tidak betul-betul 

membaca Risalah Ilmiah saya. Padahal siapapun yang membaca Risalah

tersebut maka akan melihat secara jelas dan gamblang bahwa saya 

mengutip kesaksian-kesaksian Ulama dari kitab-kitab mereka sebelum 

tahun 996 H tentang keabsahan Nasab Baalwi; Seperti al-Imam al-Janadi 

( W : 732 H ), al-Imam al-Yafi’i ( W : 768 H ), al-Imam ar-Rosuli ( W : 778 H 

), al-Imam al-Khozroji ( W : 812 H ) al-Imam Husein al-Ahdal (W : 855 H) 

al-Imam Abdurrahman al-Khothib ( W : 855 H ), an-Nassbah Kazdhim alMusawi ( W : 880 ) al-Imam As-Syarji az-Zabidi ( W : 893 H ) al-Hafidz asSakhowi ( W : 902 H ), al-Imam Bamakhromah ( W : 947 H ) Al-Mutawakkil 

‘Alallah Yahya bin Syarafuddin al-Mahdi (W : 965 H) Syaikhul Islam Ibnu 

Hajar al-Haitami ( W : 974 H ), baru kemudian an-Nassabah asSamarqondi ( W : 996 H ) dalam kitabnya Tuhfatutholib, dan seterusnya.

Artinya, Imaduddin menanggapi dan menghukumi apa yang saya tulis 

dalam risalah tersebut sebelum mengetahui (Tashawwur) isinya , secara 

Ilmu manthiq apa yang dilakukan Imaduddin ( Tashdiq sebelum 

Tashawwur deengan benar ) sudah merupakan cacat logika. Dari sini 

terlihat jelas bahwa apa yang dilakukan Imaduddin tidak lebih dari 

sekedar Safsathoh1 dan pemutar balikkan fakta, bukan dalam rangka 

mencari kebenaran sebagaimana yang ia dengungkan, akan tetapi 

mengkaburkan kebenaran dan mencari pembenaran.

2. Sebetulnya, yang menjadi salah satu fokus utama saya dalam risalah

adalah mengungkap adanya kesalahan mendasar dalam metode 

penelitian Imaduddin dalam hal ini, yaitu Syarat “ harus adanya kitab 

yang ditulis di zaman Ahmad bin Isa atau mendekatinya dan

menganggap kitab-kitab yang datang di masa-masa berikutnya sebagai 

sumber yang tidak mu’tabar” ! ia membuat syarat yang tidak disyaratkan 

oleh Ulama al-Ansab itu sendiri dalam memverifikasi nasab-nasab yang 

sudah jauh turun-temurun. Dan lebih dari itu, ia mengharuskan siapapun 

untuk tunduk kepada syaratnya, padahal syarat ini bermasalah, dari mana 

syarat ini didapatkan ?

Penetapan nasab merupakan domain syariat yang standarnya sudah

diuraikan secara paten dan gamblang oleh para Ulama sebagaimana telah

saya tuangkan sebagiannya dalam risalah. Lantas, dengan syarat itu 

Imaduddin ingin mengugurkan semua kesaksian ulama besar dari masa1 :ص للدمنهوري، السلم رشح

ي

ن

. ينظر : إيضاح المبهم ف 113.

masa tentang keabsahan nasab saadah Baalwi melalui jalur Abdullah / 

Ubaidllah bin Ahmad cuma karena tidak se zaman dengan Ahmad bin Isa

? padahal kesaksian para ulama yang telah dimuat panjang lebar dalam

Risalah bukanlah pendapat hasil ijtihad mereka, sebab urusan nasab 

bukan urusan pendapat atau ijtihadi. Penisbatan itu tidak lain merupakan 

hasil verifikasi yang murni berpijak kepada data-data sebelumnya ? baik 

melalui sumber tertulis atau sumber yang tidak tertulis, apa karena 

Imaduddin tidak bisa menjangkau sumber data para Ulama tersebut 

kemudian Imaduddin mau menganggap itu tidak ada tidak mu’tabar ? 

kalau memang Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama 

Abdullah/Ubaidillah, kemana saja para Ulama ahli nasab selama beradababad tidak ada satupun yang menafikan justru yang banyak malah 

mengitsbatkan ? apakah selama lebih dari 1000 tahun baru Imaduddin 

dan sebelumnya seorang wahabi dari timur tengah yang bernama Murod 

Syukri di pertengahan tahun 1990 an Masehi yang sadar akan hal ini ?

Mohon maaf, jika ada yang mengatakan siang hari gelap gulita, maka 

bukan mataharinya yang bermasalah, namun matanya yang bermasalah.

Lucunya, Imaduddin dalam bukunya2 membuktian bahwa Sayyiduna 

Ali Uraidhi merupakan anak dari Ja’far as-Shodiq, dan Ja’far as-Shodiq 

merupakan anak dari Muhammad al-Bagir dan Muhammad al-Bagir 

merupakan anak dari Ali Zainal Abdiin berdasarkan sanad hadits yang 

diriwayatkan al-Imam at-Turmudzi, dari Nashr bin Ali al-Jahdhomi, dari Ali 

Uraidhi dari saudaranya Musa al-Kadzhim dari ayahnya Ja’far as-Shodiq

dari ayahnya Muhammad al-Bagir dari ayahnya Ali Zainal Abidin dari 

Ayahnya al-Husein dari Ayahnyaٍ Sayyidina Ali bin Abi Tholib dari Rasullah 

saw. Namun ironisnya di waktu yang sama, ia mengabaikan sanad 

thoriqoh yang disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam 

Tsabatnya3 dari Sayyiduna Abubakar al-Idrus yang terus bersambung dan 

disebutkan secara rinci dari ayah-ayahnya sampai ke Rosullah saw. Disini 

terlihat sekali inkonsistensi Imaduddin, dengan ini ia juga meruntuhkan 

kaidah yang ia bangun sendiri. 

Lebih lucunya lagi, Imaduddin bersikeras mengatakan bahwa Ahmad 

bin Isa tidak terbukti punya anak bernama Abdullah/Ubaidllah dan 

2

. Lihat : Menakar kesahihan nasab habib di Indonesia Hal 5 .

3

يم . .

ثبت اإلمام شيخ االسالم ابن حجر الهيت ص : ۲۱۳-۲۱۲

menitik beratkan argumennya pada keterangan dalam kitab as-Syajarah 

al-Mubarokah yang dinisbatkan kepada ar-Rozi bahwa anak Ahmad bin

Isa ada 3 dan tidak ada nama Abdullah/Ubaidllah disitu. Selain,

penisbatan as-Syajaroh al-Mubarokah kepada Ar-Rozi bermasalah, kitab 

Asy-Syajaroh al-Mubarokah juga tidak pernah menafikan keberadaan 

anak Ahmad bin Isa yang bernama Abdullah/Ubaidillah. Bahkan 

sebaliknya , As-Sayyid Mahdi ar-Roja’i sendiri, Ulama syiah ahli nasab asal

Qum yang mentahqiq kitab as-Syajaroh al-Mubarokah yang dijadikan

rujukan oleh Imaduddin, dalam kitabnya al-Mu’qibun min Aal Abi Tholib 

menyebutkan sosok Ubaidllah sebagai putra Ahmad bin Isa yang ikut 

hijrah bersama ayahnya ke Hadhromaut, serta memilki anak Jadid, Bashri 

dan Alawi, yang mana keteurunan Alawi tersebar di berbagai belahan 

dunia4

. Bahkan guru dari Sayyid Mahdi ar-Roja’i yang menemukan 

manuskrip as-Syajaroh al-Mubarokah, yaitu Ayatullah Mar’asyi yang 

merupakan Nassabah dari kalangan Syiah, juga mengakui dengan jelas 

keabsahan nasab Baalawi sebagai Asyrof keturunan Rosullah saw5

Artinya penemu naskah as-Syajarah al-Mubarokah dan pentahqiqnya pun 

tidak pernah memahami isi kitab as-Syajarah al-Mubarokah terkait 

keturunan Ahmad biin Isa sebagaimana yang difahami Imaduddin.

Karenanya, tidak disebutkannya nama Abdullah/Ubaidillah sebagai 

anak Ahmad bin Isa dalam 7 refrensi yang disebutkan Imaduddin tidak 

mengandung makna apapun terkait nafi atau itsbat, namun yang pasti 

penyebutan nama Ubaidillah/Abdullah dan kesaksian atas keabsahan 

nasab Baalwi dalam berbagai refrensi mu’tabar yang telah kami sebutkan 

dalam risalah merupakan bukti nyata akan eksistensi nasab mereka 

sebagai as-Syrof, khususnya dalam catatan para nassabah yang otentik 

dan menarik tiang nasab sampai ke atas dengan catatan yang sudah 

terverifikasi oleh Nassabah tersebut6

, sebegaimana diuraikan dalam teori 

verifikasi nasab menurut perspektif ilmul ansab, bukan syarat baru yang 

dibuat oleh Imaduddin sendiri. 

3. Dalam “Risalah” saya mengutip kesaksian Syaikhusyyarof al-‘Ubaidili ( W : 

435 H ) tentang hijrahnya al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa bersama 

 يب . المعقبون طالب ج 4

يىل بن أ

من آل ع 2 ص 432.

رشح 5

. إحقاق الحق ج 1 ص 18.

بن حيدر الهاش يم . ينظر : 6

ي علم األنساب للسيد الحسرين

ن

رسائل ف ص 101 - 105

putranya Abdullah menuju Hadhromaut, kesaksian tersebut dimuat oleh 

al-Imam an-Nassabah Murtahdo az-Zabidi dalam karyanya ar-Raduhul Jali 

Fi Nasabi Bani Alawi. Imaduddin mengatakan “ Hanif menyebutkan bahwa 

nasab Alwi ( mungkin yang dimaksud Abdullah/Ubaidillah) sebagai anak 

Ahmad telah disebutkan di abad 5. Alhamdulillah. Apa betul? 

Menurutnya, nasab itu telah disebut oleh Al-Ubaidili yang wafat 435 H. 

yang demikian itu disebut dalam kitab Al-Raud Al-Jali, karya Az-Zabidi 

(W.1205). kalau ini terbukti kita akan taslim akui mereka sebagai 

keturunan Nabi. Subhanallah. “

Mirisnya, lagi-lagi secara sembrono Imaduddin menuding bahwa 

naskah ar-Raudhul Jali yang saya jadikan rujukan ( Cetakan Darul Fath 

Yordania 1444 H ) adalah PALSU, karena telah ditambah-tambahkan oleh 

Mu’alliq al-Habib Alwi bin Thohir al-Haddad dan Muhaqqiq Dr. 

Muhammad Abubakar Badzeib. Sebab, menurut Imaduddin dalam naskah 

ar-Raudhul Jali yang ia miliki ( cetakan maktabah Daar Kanaan tahun 1431 

H ) tidak ada kata-kata

يل )

رشف العبيد

ال شيخ قال ( sehingga naskah ar-Raudhul Jali yang saya 

jadikan rujukan adalah PALSU karena berbeda dengan naskah yang ia 

miliki yang lebih dulu dicetak. Bahkan setelah itu Imaduddin dengan 

penuh percaya diri menyindir ulama sekaliber al-Muarrikh al-Habib Alwi 

bin Thohir al-Haddad tentang moral ilmiah dan kejujuran Ilmiah. Benarkah 

demikian ?

Justru, bagi saya moral, kejujuran serta logika ilmiah Imaduddin yang 

perlu dipertanyakan !? bagaimana mungkin ia bisa memvonis naskah arRaudhul Jali cetakan daarul Fath yang saya miliki palsu dan ditambahtambahkan cuma karena berbeda dengan naskah yang ia miliki ( cetakan

Daar Kan’aan) ? Kaidah filologi mana yang ia pakai ? 

Jika ingin memastikan kesesuaian cetakan kitab tersebut dengan 

naskah aslinya maka harus merujuk kepada manuskrip yang dijadikan 

pegangan dalam penulisan ulang, tahqiq dan pencetakan kitab tersebut.

Naskah ar-Raudhul Jali cetakan Darul Fath 1444 H yang saya jadikan 

rujukan, dalam Muqoddimah Tahqiqnya Muhaqqiq Dr. Muhammad 

Abubakar Badzeib menyebutkan bahwa ia bersandar dalam tahqiqnya 

kepada 2 naskah manuskrip7

:

a. Naskah manuskrip pertama dan utama ( al-Ashl ) : merupakan 

naskah yang disalin oleh an-Nassabah Hasan Muhammad Qosim 

(W 1394 H ), pada tahun 1350 H beliau menyalin dari naskah yang 

ditulis oleh Abdul Mu’thi as-Sayyid al-Wafa’I yang merupakan 

murid dari muallif al-Murtadho az-Zabidi dan naskah tersebut diacc oleh muallif (المؤلف خط عليها و .(Naskah manuskrip ini terjaga 

rapi di Maktabah as-Saadah al-Wafa’iyyah di Mesir. Naskah ini 

dihadiahkan oleh as-Sayyid Abdullah bin Ahmad bin Yahya kepada 

al-Habib Alwi bin Thohir al-Hadad pada 25 Sya’ban 1352 H.

b. Naskah manuskrip kedua : merupakan naskah yang disalin pada 

tahun 1358 H oleh as-Sayyid Thohir bin Alwi al-Haddad ( W : 1394 

H ), yang juga menukil dari naskah yang ditulis oleh Abddul Mu’thi 

a-Wafai’i yang merupakan murid dari Muallif al-Murtadho azZabidi, dan di acc oleh muallif ( المؤلف خط عليها و (naskah tersebut 

terjaga di Maktabah al-Ahqoff lil Makhthuthoot di Tarim dengan No 

2059 tarikh.

Adapaun kitab ar-Raudhul Jali cetakan daarul Kanaan 1431 H yang 

dijadikan pegangan oleh Imaduddin hanya merujuk kepada naskah 

manuskrip kedua yang saya sebutkan diatas, sebagaimana disebutkan 

oleh Arif Ahmad Abdulghoni dalam muqoddimah tahqqinya8

Sayapun berusaha menghubungi Muhaqqiq Dr Muhammad 

Abubakar Badziib untuk meminta Salinan dari 2 naskah manuskrip di 

atas khususnya di halaman terkait pembahasan Imam al-Muhajir dan 

putra-putranya, beliaupun dengan sukarela mengirimkan gambar 

salinan tersebut.

Setalah saya teliti dengan seksama, baik naskah manuskrip 

pertama ( al-Ashl) atau naskah manuskrip kedua ( yang juga dijadikan 

sandaran oleh Muhaqqiq kitab cetakan daar Kanaan yang dipegang 

oleh Imaduddin ) keduanya sama-sama mengutip ungkapan dari 

7 ب

. ينظر مقدمة تحقيق الروض الج يىل : ص 60 – 62 .للدكتور باذي

. ينظر : ص : 8

مقدمة تحقيق الروض الج يىل 11 لعارف أحمد عبدالغ نن ي

Syaikhusyyarof al-‘Ubaidili tentang hijrahnya Ahmad bin Isa Bersama 

putranya yang Bernama Abdulllah ( Ubaidillah ), kedua manuskrip 

tersebut juga mencantumkan bahwa apa yang telah an-Nassabah azZabidi sebutkan dari anak-anak Ahmad bin isa merupakan hal yang 

disepakati oleh para ahli nasab;

 sebagaimana) هذا ما اتفق عليه النسابون من عقب أحمد بن عيىس النقيب )

yang termaktub dalam kitab ar-Raudhul Jali cetakan dar al-Fath 

Yordania 1444 H yang di Tahqiq oleh Dr Muhammad bin Abubakar 

Badzeib yang saya jadikan rujukan dalam Risalah yang saya susun.

Berikut saya tampilkan foto-foto dari salinan naskah manuskrip 

pertama dan kedua :

a. Manuskrip 1 ( Cover )

b. Manuskrip 1 ( Isi tentang Ahmad bin Isa dan putranya Abdullah )

c. Manuskrip 1 ( Penutup )

 

d. Manuskrip 1 ( Penutup )

e. Manuskrip 2 ( Cover ) 

f. Manuskrip 2 (Isi) 

g. Manuskrip 2 ( Penutup ) 

Dari lembaran-lembaran manuskrip diatas, sangat jelas bahwa an-Nassabah 

al-Imam Murtadho az-Zabidi dalam kitabnya ar-Raudhul Jali memang 

mengabadikan pernyataan Syaikhusyyarof al-‘Ubaidili (W : 431 H) tentang hijrahnya 

Ahmad bin Isa bersama putranya Abdullah ke Hadhromut. An-Nassabah az-Zabidi 

juga mengutip tentang status Abdullah ( Ubaidillah ) sebagai anak Ahmad bin Isa 

dari Mush’ab az-Zubairi yang hidup satu zaman dengan Abdullah bin Ahmad bin Isa, 

begitu juga al-Umari (W : 490 H ) dalam kitabnya Musyajjarul Ansab serta diakhiri 

pembahasan tentang anak-anak Ahmad bin Isa -yang diantaranya bernama 

Abdullah- dengan perkataan an-Nassabah Az-Zabidi yang mengungkapkan bahwa 

hal tersebut merupakan kesepakatan para ahli nasab (النسابون عليه اتفق ما هذا . (ini 

semua tercantum baik di naskah manuskrip pertama dan kedua.

Dari manuskrip pertama dan utama juga jelas, bahwa catatan ( ta’liq ) dari alAllamah al-Muarrikh Alwi bin Thohir al-Haddad tidak sama sekali bercampur 

dengan naskah asli ar-Raudhul Jali, beliau memberikan catatan-catatannya dipinggir 

(Hamisy) kitab, bahkan dalam muqoddimah tahqiqnya Dr. Muhammad Badzeib 

memastikan dalam penulisannya bahwa setiap catatan, koreksi atau faidah 

tambahan dari Habib Alwi bin Thohir al-Haddad dan Dr Badzeib sendiri tidak 

dicampur dengan matan asli kitab ar-Raudhul Jali, akan tetapi jika ditulis ditengah 

matan diberikan kurung buka dan tutup “[ ]” atau ditulis dalam catatan kaki9

Sebaliknya, dari foto-foto manuskrip diatas, justru ar-Raudhul Jali yang 

dicetak oleh Dar Kanaan 1431 H dengan tahqiq oleh Arif Ahmad Abdulghoni dan 

dijadikan pegangan oleh Imaduddin, justru cetakan inilah yang bermasalah. Sebab 

jelas-jelas dalam pembahasan tentang Abna Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa beda 

dengan naskah manuskrip kedua yang ia jadikan objek tahqiq. Bahkan Dr. Badzeib 

secara khusus dalam muqoddimah tahqiqnya mengulas tentang berbagai masalah 

amanah ilmiah yang ada dalam ar-Raudhul Jali cetakan Dar Kanaan. Tidak usah 

jauh- jauh, dari judul saja amanah ilmiahnya dipernyatakan, Arif Ahmad Abdulghoni 

sebagai muhaqqiq memberikan judul “ ar-Raudhul Jali fi Ansabi Ali Ba’alawi “, 

padahal dalam naskah manuskrip 2 yang dijadikan objek tahqiq oleh Arif Ahmad 

secara jelas tercantum dengan judul “ ar-Raudhul Jali fi Nasabi Bani Alawi” dengan 

kata mufrod “ Nasab “ bukan “Ansab” dengan jama’. Jika dalam penulisan judulnya 

saja sudah tidak menjaga Amanah ilmiah bagaimana dengan isinya ? berbagai 

ينظر مقدمة تحقيق الروض الج يىل 71 . . للدكتور باذيب : ص 9

problem amanah ilmiah dalam ar-Raudhul Jali cetakan daar Kanaan ini diulas secara 

apik dan obyektif oleh Dr. Muhammad Badzib dalam muqoddimah tahqiqnya10

Tidak sampai disitu, dalam tulisannya yang mengulas dialog Habib Hamid alGadri di youtube chanel Majlis Muwasholah, Imaduddin menyajikan infromasi 

bahwa al-Imam Murtadho az-Zabidi saat menulis kitab ar-Raudhul Jali masih 

berusia 20 tahun, seolah ia ingin memframing bahwa an-Nassabah az-Zabidi saat 

menulis kitab tersebut belum dalam usia keilmuan yang matang. Padahal informasi 

yang ia sampaikan keliru, dalam penutup naskah manuskrip 1 yang saya muat diatas 

terlihat jelas bahwa an-Nassabah Murtadho az-Zabidi menulis kitab ar-Raudhul Jali 

di Pertengahan bulan Dzulqo’dah tahun 1196 H, artinya saat itu usia beliau 51 tahun

9 tahun sebelum beliau wafat, sebab beliau dilahirkan tahun 1145 H dan wafat pada 

tahun 1205 H. Andaipun beliau menulis kitab tersebut pada umur 20 tahun, maka 

umur tidak jadi tolak ukur dalam kematangan keilmuan seseorang, berapa banyak 

anak muda yang ilmunya tua, begitu pula sebaliknya.

Dengan demikian, tuduhan Imaduddin bahwa kitab ar-Raudhul Jali cetakan 

Daar alFath 1444 H yang saya jadikan rujukan adalah PALSU karena sudah ditambahtambahkan oleh Mu’alliqnya Habib Alwi bin Thohir al-Haddad dan Muhaqqinya Dr 

Muhammad Badzeib, tidak lain merupakan FITNAH. Segala sindirian Imaduddin 

tentang amanah dan moral ilmiah seharusnya ia tujukkan kepada dirinya sendiri 

yang seenaknya memvonis palsu kitab yang tidak sesuai dengan framing yang ia 

bangun tentang terputusnya nasab Ba’aalwi. 

4. Berikutnya dalam tulisan bantahannya terhadap risalah ilmiah yang saya 

tulis, Imaduddin menyinggung soal kutipan dari kitab as-Suluk11 karya alImam al-Jundi/al-Janadi ( W : 732 H ), lagi- lagi dengan sembrono 

Imaduddin mengatakan “ Sedikit bocoran, setiap kata Ba Alawi dan Ibnu 

Abi Alwi abad 8-9 H, itu maksudnya bukan Ba Alawi yang kita kenal 

sekarang, itu Ba Alawi berbeda. Abdullah yang disebut abad delapan dan 

Sembilan itu bukan yang menurunkan Faqih Al-muqoddam, beda orang 

dengan Ubaidillah, tidak ada kesamaan keduanya. Dengan bocoran ini, 

harus dicari dalail yang menyatakan keduanya sama. Bagi penulis, Nasab 

. ينظر المرجع السابق : 68 10 ص

11. Ia menyebut nama Kang Zaini yang menyebut kitab as-Suluk ini, saya tidak faham siapa yang 

dimaksud kang Zaini, yang jelas kutipan dari kitab as-Suluk ini juga sudah saya muat dalam 

Risalah Ilmiah, hanya saja lagi-lagi Imaduddin menjawab tanpa membaca.

Ubaidillah bin Ahmad ini baru resmi ditulis dalam kitab nasab pada abad 

10, maka perlu ketersambungan riwayat Ubaidillah ini dari abad 10-5 

hijriah”.

Untuk mempertahankan framingnya tentang ketidak absahan nasab 

Baalwi, Imaduddin ingin berusaha berpaling dari fakta bahwa banyak 

kitab-kitab di abad ke 8 – 9 yang merekam eksistensi Saadah Baalwi 

sebagai ahlubait sebagaimana telah saya uraikan Panjang lebar dalam 

risalah. Karenanya Imaduddin menggiring bahwa setiap kata Ba Alawi 

dan Ibnu Abi Alwi abad 8-9 H, maksudnya bukan Ba Alawi yang kita kenal 

sekarang, itu Ba Alawi berbeda.Abdullah yang disebut abad delapan dan 

Sembilan itu bukan yang menurunkan Faqih Al-muqoddam. Benarkah

demikian ? 

Dalam kitab as-Suluk, al-Imam al-Jundi ( W : 732 H ) menyebutkan 

sebagai berikut :

نض " ذكر أهل تعز من فقهائها

وقد انق وأحببت أن ألحق بهم الذين وردوها ودرسوا فيها وهم 

يىل بن محمد بن

جماعة من الطبقة األول منهم أبو الحسن عىل بن محمد بن أحمد بن جديد بن ع

يىل جديد بن بن جعفر الصادق

عبد هللا بن أحمد بن عيىس بن محمد بن ع بن محمد الباقر بن عىل 

 يب ط

يىل بن أ

بن ع

 يب زين العابدين بن الحسري الجديد عند أهل ن

رشيف أ

البكرم هللا وجهه ، ويعرف بال

 يب اليمن علوي بيت صالح وعبادة عىل طريق

رشاف هنالك يعرفون بآل أ

أصله من ح نضموت من أ

التصوف وفيهم فقهاء ذكر من أتحقق إن شاء هللا تعال مع أهل بلده

ي

يأب 

12

"

Dalam keterangan di atas Bahauddin al-Jundi menyebutkan Nasab 

Abul Hasan Ali yang bersambung kepada Jadid bin Abdullah ( Ubaidillah ) 

bin Ahmad bin Isa, dst. Tidak hanya itu beliau juga mempertegas bahwa 

Abul Hasan tersebut berasal dari Hadhromaut yang mana di Hadhromut 

ada kalangan Asyrof ( Panggilan untuk Dzurriyyah Nabis saw) yang 

dikenal dengan sebutan Aal Abi Alawi, juga dikenal kesolehannya dan 

ahli ibadahnya serta banyak ahli Fiqih diantara mereka. Siapa yang 

dimaksud “Aal Abi Alawi “ ? Aal berati keluarga, Abi Alawi berarti Ayahnya 

Alwi, artinya keluarga ayahnya Alwi. Siapakah ayahnya Alwi ? yaitu 

Abdullah ( Ubaidillah )bin Ahmad bin Isa berarti Ali Abi Alawi adalah 

keluarga Abdullah/Ubaidllah bin Ahmad bin Isa . Adapun Sayyid Abul 

Hasan Ali bin Muhamad yang disebutkan oleh al-Jundi diatas, merupakan 

ي طبقات العلماء والملوك ) 12

ن

. السلوك ف 2 /136)

cucu dari Abdullah bin Ahmad bin Isa melalui jalur putranya yang 

bernama Jadid, sebab Abdullah bin Ahmad bin Isa memilki 3 putra, yaitu; 

Bashri, Jadid dan Alwi. Sehingga informasi dari al-Jundi diatas seharusnya 

sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Ahmad bin Isa 

memiliki putra yang bernama Abdullah dan banyak keturunannya di 

Hadhromaut dikenal dengan sebutan Aal Abi ‘Alawi. Hal ini sesuai dengan 

keterangan dari berbagai kitab lainnya, diantaranya al-Jauhar as-Syaffaf 

karya sejarawan Tarim al-Imam Abdurrahman bin Muhammad al-Khotib 

( W : 855 H ) yang di dalamnya menyebutkan : 

 يب علوي خاصه وذكر نسبتهم وانتقالهم اىل ح رضموت وذلك مع

رشقه تتعلق بذكر ال ا

وهذه لوامع م

يل بن جعفر

دخولهم فيما تقدم من فضل اهل البيت المذكور وذلك ان جدهم احمد بن عيىس بن محمد بن ع

رضي هللا عنهم اجمع ير

يل كرم هللا وجهه ور

بن ع

يل زين العابدين بن الحس ير

الصادق بن محمد الباقر بن ع

خرج من البضه خامس خمسه غ ي الخدم منتقال باهله وولده وماله حىت قدم ح رضموت وكل ما اقام ببلدة

ى عقار فاول ماقام بالحسيسه ثم انتقلوامنها اىل قارة جشيب ثم انتقلوامنها اىل سمل اىل بيت جب ي

منها اشي ى

يه االن معروفه بب ي احمد ثم انتقلوا من بيت جب ي اىل تريم واستوطنوا بها وبنوا فيها

ا و

واحتفروا فيها بي ر

احمد بن عيىس وكذلك الب ي المذكوره اوال بالحسيسه

رت ي

مسجدهم المعروف مسجد آل احمد وهو مسجد ب

رشيف فيه النور العظيم وكان شيخنا 

ي شعبها وكان يرى عل الموضع الذي يشار اليه ان ق يه ال

ر

المذكوره وق يه ف

ي ذلك المكان وقيل مات بقارة

ر

يل علوي يزوره ف

الشيخ العارف باهلل تعاىل عبد الرحمن بن الشيخ محمد بن ع

جشيب و كان له الولد عبيد هللا وخلف عبيد هللا الشيخ بضي جد الفقيه االمام العالم العامل سالم بن بضي

وعصبته وكانوا مشهورون بالعلم والصالح وانقرضوا قريبا من رأس الست مائه من غ ي عقب والشيخ جديد 

يل بن محمد بن احمد بن

يل جد االمام الزاهد العالم العامل العالمه المحدث ع جديد بن محمد بن جديد

بن ع

بن عبيد هللا بن احمد بن عيىس الحديث اليه ثم انقرضوا هو

ي

ر

اهل اليمن وكث يمن اهل مكه ف

وكان اجازه اكي ر

وبنوا عمه ولم يخلفوا عقيبا قريبا ايضا من راس الست مائه والشيخ علوي بن عبيد هللا بن احمد بن عيىس 

اهل العلم من اهل اليمن

 يب وكان اجازه اكي علوي ر

االن بال ا

وخلف علوي هذامحمد الخلف الصالح المعروف ير

الذي عمرهللا البالد والعباد ب يكتهم وازال البالء عنا بجاههم

13

"

Bahkan, jika kita membuka lembaran-lembaran lain dari kitab as-Suluk karya 

al-Jundi tersebut, beliau menyebutkan beberapa tokoh besar dari saadah Baalawi, 

sebagaimana berikut : 

يىل ”

يىل بن أحمد بن سالم بن محمد بن ع

رش ومنهم أبو مروان لقبا واسمه ع العلم

كان فقيها خرياكبريا عنه انت

تدريسه وكان صاحب مصنفات عديدة وهو أول من تصوف

ي

ن

بح نضموت انتشاراموسعا لصالحكان وبركة ف

. الجوهر الشفاف للشيخ عبدالرحمن الخطيب، مخطوط بمكتبة األحقا يم. 13 ف

للمخطوطات بي 

 يب اذ هم أنما يعرفون بالفقه ولما بلغ الفقيه ذلك وإن هذا تصوف هجره 14 من بيت أبا علوي 

وممن تفقه بأ

رشالعل

رش مروان أبو زكريا خرج مقدشوه فن اموسعا ولم أتحقق ألحد منهم تاريخا

م بها وبنواحيها ن

 يب جديد مع واردي تعز وهم بيت صالح طريق ونسب

 يب علوي قد تقدم لهم بعض ذكر مع ذكر أ

ومن بيت أ

يل غيبا وكان له عم اسمه

للغزا

يىل باعلويكان فقيها يحفظ الوجرين

فيهم جماعة منهم حسن بن محمد بن ع

يىل بن

عبد الرحمن بن ع باعلوي عن الصالة

يىل بن باعلويكانكثريالعبادة عظيم القدر ال يكاد يفي 

ومنهم ع

 ن ي صىل هللا

 ن ي ويكرر ذلك فقيل له فقال ال ازال افعل ح ن يرد الن

 ن تشهد قال السالم عليك ايها الن

ثم م

يىل عليه وسلم فكان كثريا ما يكرر ذلك ولع بن باعلوي يىل ولد اسمه محمد ابن صالح وله ابن عم اسمه ع

ي سنة

ن

بعض تفاصيل ابا علوي احمد بن محمدكان فقيها فاضال توف 724 تقريبا وعبد هللا بن علوي باق ال 

15 اآلن حسن التعبد وسلوك التصوف ومنهم ابو بكر بن احمد فيه عبادة مرضية

Jika ungkapan al-Jundi diatas dianggap ada yang kurang jelas, maka al- Imam 

Husein bin Abdurrahman al-Ahdal (W : 855 H) dalam kitabnya Tuhfatuzzaman fitarikh 

Saadatil Yaman16 yang merupakan ringkasan sekaligus penjelasan dan pengembangan 

dari kitab as-Suluk karya al-Jundi menjelaskan sebagai berikut : 

يىل " ومنهم

رشعنه العلم بح نض : أبو مروان ع موت انتشار ا

بن احمد بن سالم كان فقيهاكبريا، انت

يىل كبري ا لصالحه وبركة تدريسه وكان صاحب مصنفات و به ت باعلوي وهو اول من

فقه محمد بن ع

رش تصوف من بيت با علوي، ف ولما بلغ الفقيه أبامروان أنه تصوف، هجره،

إذ هم إنما يعرفون بالفقه وال

كذا قال الجندي.

رشا

رش العلم بها ن

 يب مروان أبو زكريا خرج إل مقدشوة، فن

وممن نفقه يا موسعا ، ولم يحقق الجندي 

تواريخهم.

ي واردي تعزك

ن

قال ومن بيت أبا علوي من تقدم ذكره ف أ ، ومن متأخريهم

نن ي

 يب جديد الحسي

حسن بن محمد 

يىل أبا علوي ومنهم:

بن ع

 ن ي

تشهده السالم عليك أيها الن

ي

ن

الة وكان يكرر ف

يىل بن علويكان عابدا كثري الصَّ

ع

 ن ي صىل هللا عليه وآله وسلم، وله ولد اسمه محمد فيه صالح

م من الن

َّ

شحا لرد السَّل

 

مي وله ابن عم ا اسمه 

يىل بن

محمد بن ع أبا علوي تفقه بفضل من بيت باعلوي أيضا ، وله ابن عم اسمه أحمد بن محمد و كان فقيها 

سنة أربع وعرشين وسبعمائة

ن

فاضال توف وعبد هللا بن علوي، عضالجندي،

ي

ن

كان حسن التعبد والسلوك ف

17 وأبو بكر بن أحمد له عبادة مرضية 

"

 يب مروان فرياجع 14

المذكور وشيخه أ

مطبوعة السلوك خلط برين

ي

ن

. قال محقق تحفة الزمن مختضالسلوك : هنا وقع ف

ي

ن

األصل المخطوط ) ينظر : تحفة الزمن ف تاري خ سادات اليمن ج 2 ص 428)

ي طبقات العلماء والملو 15 ك

ن

. السلوك ف (463/ 2(

16. Al-Imam As-Sakhowi menyebutkan bahwa kitab Tuhfatuzzaman ini merupakan kitab yang 

beliau jadikan rujukan, begitupula dijadikan rujukan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolani ( lihat 

: Muqoddimah Tahqiq Tuhfatuzzaman Hal 10 jilid 1)

تاري خ س 17

ي

ن

. تحفة الزمن ف ادات اليمن بن عبدالرحمن األهدل

ن

لإلمام الحسري )ج2 ص 428) 

Dalam kutipan kitab as-Suluk dan ringkasannya Tuhfatuzzaman di atas, al-Imam alJundi menyebutkan beberapa nama dari Saadah Baalwi, diantaranya : 

a. Sayyidina Muhammad bin Ali Baalwi ( yang dikenal dengan sebutan Fagih alMugoddam), dan al-Jundi menyebutnya sebagai orang pertama yang mengikuti 

tashawwuf dari kalangan Baalawi.

b. Sayyidina Ali bin Alwi (dikenal dengan Kholi’ Qosam), bahkan Al-Jundi 

menegaskan kisah Ali bin Alwi yang terkenal ketika membaca tasyahhud 

mengulang-ngulang salamnya untuk Rosulullah saw agar mendapat jawaban 

langsung dari Rasulullah saw18

c. Putra soleh Ali bin Alwi yang bernama Muhammad bin Ali bin Alwi ( yang 

dikenal dengan sebutan Muhammad Sohib Mirbath)

d. Sayyidina Abdullah bin Alwi ( W : 731 H ) ( yang dikenal dengan Abdullah Baalwi 

) yang secara spesifik al-Jundi (W : 732 ) mengatakan bahwa Abdullah bin Alwi 

hidup satu zaman dengannya.

Bahkan al-Imam al-Husein al-Ahdal (W : 855 H ) dalam Tuhfatuzzaman 

mengupdate nama tokoh-tokoh Baalwi yang lahir setelah wafatnya al-Jundi, beliau 

mengatakan : 

 ”قلت ومنهم عضنا الشيخ عمر بن عبد الرحمن، وبعده أخوه عبد هللا

ي

ن

ف وقبلهما أبوهما عبد الرحمن 

ثمانية عرش مسجدا ، وكان من أكابرهم، وكذلك ولده عمركان فقيه ا فاضال يروى له كرامات

نن ي

ب

ي مائة

وثماب ن

يوم من ذي القعدة . سنة ثالث وثالثرين

ي

ثاب ن

ي

ن

بلغ بذلك صاحبه نن ي وفاة عمر ف

ي

، أخ يب ن

،

الفقيه ع من ذرية األشعث بن قيس يىل بن عبد الرحمن بن محمد بن سعيد األشع نن ي

19

Dalam kutipan di atas, al-Ahdal ( W : 855 H ) menyebutkan 3 tokoh populer 

Baalawi yang hidup di Zamannya : 

a. Sayyidina Umar bin Abdurrahman ( yang dikenal dengan Umar Muhdhor 

) yang secara eksplisit tahun wafatnya disebutkan oleh al-Ahdal yaitu W 

: 833 H, tahun wafat ini persis seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab 

di internal kalangan Habaib. 

. ينظر : الجوهر الشفا 31 ( مخطوط ( 18 ف ص

تاري خ سادات اليمن ج 19

ي

ن

. تحفة الزمن ف 2 ص 428 

b. Sayyidina Abdullah bin Abdurrahman ( Adik Sayyidina Umar Muhdhor )

W : 857 H

c. Dan Ayahnya, yaitu; Sayyidina Abdurrahman ( yang disebut as-Seggaf alMugoddam at-Tsani ) W : 819 H 

Berdasarkan kutipan dari kitab as-Suluk, Tuhfatuzzaman dan al-Jauhar as-Syaffaf di 

atas, maka sangat jelas bahwa:

a. Ahmad bin Isa memilki anak bernama Abdullah, dan Abdulllah bin Ahmad 

bin Isa memilki anak bernama Bahsri, Jadid dan Alwi yang mana keturnan 

dari 3 orang ini disebut ( علوي يب 

أ آل (Aal Abi Alawi ( Keluaga ayahnya Alawi 

yaitu Abdullah, dan keturunan Alwi secara spesisifk juga disebut ( باعلوي (

نن ي علوي) berarti yang, Baalawi

ب (keturunan Alawi. 

b. Dan dengan Perincian nama-nama para tokoh keturunan Alawi bin Abdullah 

( Ubaidillah ) bin Ahmad bin Isa yang disebutkan dalam as-Suluk dan 

Tuhfatuzzaman, maka tidak ada alasan lagi untuk mengatakan bahwa yang 

dimaksud Baalwi dalam kitab-kitab abad ke 8-9 bukanlah Baalawi yang kita 

kenal saat ini sepeti klaim Imaduddin.

c. Penyebutan nama-nama para tokoh Baalwi keturunan Alwi bin Abdullah 

(Ubaidillah) bin Ahmad bin Isa diatas juga menunjukkan Bahwa Abdullah dan 

Ubaidllah adalah satu sosok yang sama, Ubaidllah hanyalah nama lain dari 

Abdullah, sebab nama-nama para tokoh keturunan Abdullah yang 

disebutkan secara rinci dalam as-Suluk dan Tuhfatuzzaman adalah namanama keturunan Ubaidllah yang sama yang populer dan terkenal disebutkan 

secara rinci dalma kitab-kitab Internal Habaib seperti al-Barqoh al-Masyiqoh, 

dll. Bahkan dalam al-Jauharussyaffaf yang dikarang oleh Syekh Abdurrahman 

al-Khothib ( W : 855 H ) sudah menyebutkan secara spesifik nama Ubaidllah 

sebagai anak Ahmad bin Isa. 

5. Sebagai penutup, saya ingin mengutip keterangan dari seorang ulama

asal Banten bernama KH Imaduddin Ustman pimpinan ponpes 

Nadhotululum, dalam kitabnya al-Fikroh an-Nahdiyah20 secara jelas

beliau menyatakan bahwa termasuk Bani Hasyim adalah Saadah Baalawi

. الفكر ة النهضية لعمادالدين ص 20

نن ي

البنت 166.

yang dinisbatkan kepada as-Sayyid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa 

dan seterusnya sampai dengan Rosulullah saw. Berikut redaksi beliau :

Semoga tulisan in bermanfaat dan mendapatkan ridho Allah swt, Hadaniyallah wa 

iyyakum ila Shirothihil Mustaqim, Wallahu A’lam Bishhowab.

 Palembang, 6 Syawwal 1444 H/ 27 April 2023 M









...........