Hb Ahmad Ghozali Assegaf: Bantahan terbadap Imamuddin Utsman yang Meragukan Keshahihan Nasab Habaib di Indonesia
Senin, 10 April 2023
Faktakini.info
BANTAHAN TERHADAP KH IMADUDDIN UTSMAN YANG MERAGUKAN KESHAHIHAN NASAB HABAIB DI INDONESIA
Ahmad Ghozali Assegaf *)
Baru-baru ini terdapat tulisan yang cukup viral khususnya di kalangan habaib yang meragukan nasab mereka di zaman ini, bahkan nasab kakek buyut mereka ratusan tahun lalu. Tulisan ini disusun oleh KH Imaduddin Utsman, Ketua Komisi Fatwa MUI Banten dan pengasuh PP Nahdlatul Ulum Kresek Banten, yang katanya didirikan melalui penelitian ilmiah. Masalah ini bertambah viral dengan penjelasan secara visual oleh Syafiq Hasyim melalui channel Cokro TV. Ia meminta pihak manapun untuk bereaksi secara positif dengan menjawab tulisan itu dengan tulisan ilmiah serupa, bukan dengan cemoohan dan sejenisnya.
Pendapat Imaduddin ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Habib Taufik Assegaf, Ketua Robithah Alawiyah, hanya serpihan kecil yang tidak perlu ditanggapi secara serius. Namun, sebagai generasi muda Alawiyin saya merasa terlecut oleh ucapan Syafiq Hasyim untuk menjawab melalui penelitian ilmiah juga. Paling tidak penelitian sederhana ini bisa menenangkan sebagian habaib dan kaum muslimin mengenai teori yang dibangun oleh Saudara Imaduddin.
Dalam penelitian ini, saya hanya fokus untuk menjawab klaim terputusnya nasab habaib saja.
Saya tidak membahas masalah lain yang sebenarnya juga hanya serpihan, seperti masalah kedatangan habaib dimulai sekitar tahun 1880 dan tidak berasimilasinya para habaib dengan budaya lokal.
Metodologi riset nasab yang lemah
Imaduddin berpendapat bahwa penelitian nasab harus didasarkan pada sumber primer yaitu kitab nasab yang ditulis pada zaman tokoh yang dibahas itu hidup. Pernyataan ini bisa dikatakan sebagai pijakan utama penelitian nasab habaib yang ia lakukan.
Pendapat Imaduddin ini adalah benar jika obyek penelitian sejarahnya adalah sebuah peristiwa, seperti bencana alam, perang, kelahiran tokoh, dan lain sebagainya. Namun, jika obyek kajian sejarahnya adalah nasab –yang merupakan berita (informasi) bukan peristiwa-- maka tidak selalu benar bahkan bisa ngawur. Jika ini diterapkan maka bahkan nasab Nabi Muhammad SAW yang telah diakui secara ijmak (konsensus ulama) akan tertolak. Karena tidak ada seorang pun yang menyusun kitab nasab Nabi SAW di zamannya atau bahkan di beberapa generasi setelahnya.
Dalam ilmu fikih para ulama telah menjelaskan bagaimana cara menetapkan sebuah nasab.
Yaitu dengan bukti (al-bayyinah), pengakuan (al-iqrâr), keputusan hakim (hukmul qâdhî) dan berita yang tersebar luas (al-istifâdhah). Tiga cara pertama bisa dilakukan jika pelaku peristiwa kelahiran masih hidup. Adapun cara yang keempat dipakai dalam penetapan nasab yang tidak melibatkan pelaku. Cara terakhir inilah yang umumnya dijadikan sumber penulisan kitab-kitab nasab yang kadang baru disusun jauh setelah tokoh yang dibahas meninggal. Informasi tentang nasab tidak mesti tercatat pada lembaran, tapi bisa juga terhapal dalam ingatan orang-orang. Apalagi pembahasan nasab habaib yang notabene berlatar belakang bangsa Arab yang mereka dikenal sangat teliti dan mendetail dalam mencatat dan menghapal nasab mereka.
Dengan demikian, beberapa kitab nasab yang disebutkan oleh Imaduddin sebagai sumber penetapan nasab para habaib, yaitu Nubdzah Lathîfah, Ittisalu Nasabil Alawiyyîn wal Asyrâf dan Syamsudz Dzahîrah, tidak kehilangan keilmiahan informasi yang disampaikan. Karena mereka menggunakan sumber berita-berita populer tentang nasab kaum alawiyin. Terlebih lagi, semua pokok keturunan al-Habib Ahmad bin Isa al-Muhajir (bapak Kaum Alawiyin), berkumpul menjadi satu di sebuah tempat, yaitu Hadramaut (Yaman), sehingga informasi tentang galur nasab mereka sangat mudah diketahui oleh para ahli nasab (an-nassâbah) bahkan oleh orang awam sekalipun. Oleh karena itu, klaim Imaduddin tentang keterputusan riwayat (inqitha’ur riwâyah) tidak terjadi, bahkan yang ada justeru mutawatirnya berita nasab mereka karena diketahui dari masa ke masa secara luas.
Anehnya, Imaduddin menggunakan kitab hadits sebagai sumber itsbat nasab ketika menyebutkan beberapa tokoh Alawiyin generasi awal yang ingin ia tetapkan nasabnya. Padahal, ia sendiri sejak awal telah menyatakan penetapan nasab harus didasarkan pada kitab nasab primer.
Mungkin yang ia maksudkan adalah itsbat wujud tokoh bukan itsbat nasabnya. Jika demikian maka masih tersisa obyek penelitiannya yang belum diselesaikan yaitu nasab dari tokoh-tokoh yang ia kaji.
Seharusnya ia dapat mencari nasab tokoh yang dimaksud dari kitab nasab yang ada, misalnya kitab Nasab Quraisy yang disusun oleh az-Zubairi (236 H), yang penulisannya lebih tua dari kitab Sunan Tirmdizi (279 H) yang ia pakai sebagai sumber penelitiannya.
Selain itu, ia mengutip beberapa sumber yang dianggap sebagai sumber tertua untuk mengesahkan nasab dengan kitab nasab yang jauh masanya dari tokoh yang diteliti, yaitu Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi dan Ahmad al-Muhajir (345 H). Imaduddin menggunakan kitab Tahdzibul Ansâb karya al-Ubaidili (435 H) dan asy-Syajaratul Mubârakah karya Fahrurrazi (606 H).
Padahal keduanya hidup seabad –bahkan lebih--sebelum ketiga tokoh itu. Penukilan dari kedua kitab ini sama saja membatalkan metodologi yang ia bangun yaitu penggunaan kitab nasab primer yang disusun di masa tokoh yang diteliti. Jika ia berasalan bahwa kitab-kitab ini merupakan kitab sumber sekunder maka seharusnya ia juga membolehkan penggunaan kitab-kitab nasab yang datang belakangan, semisal Syamsudz Dzahirah, sebagai sumber penetapan nasab Alawiyin (baca: habaib).
Bukti keshahihan nasab Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir dan semua keturunannya Imaduddin berpendapat bahwa keterputusan nasab Alawiyin di Indonesia karena sosok Ubaidillah tidak disebutkan oleh ahli sejarah. Ia berargumen bahwa Fahrurrazi dalam asy-Syajaratul Mubarakah hanya menyebutkan 3 (tiga) anak dari Ahmad bin Isa al-Muhajir, yaitu Muhammad, Ali dan Husein.
Argumen ini sangat lemah. Pertama, Fahrurrazi tidak menafikan anak yang keempat, tapi ia hanya menyebutkan 3 (tiga) orang anak saja sesuai pengetahuan yang ia miliki. Kedua, informasi anak yang keempat ternyata telah disebutkan dalam banyak kitab biografi. Bahkan disebutkan dalam kitab yang lebih tua dari Fahrurrazi yaitu Ibnu Thabathaba (478 H) dalam Abnâul Imam. Ketiga, penggunaan satu sumber riset saja apalagi sumber tersebut berbeda dari sumber-sumber lain adalah sebuah kesalahan yang nyata dan fatal.
Berikut ini saya sebutkan sebagian dari sumber-sumber sejarah yang menyebutkan sosok sekaligus nasab dari Ubaidillah --yang bernama asli Abdullah-- yang dianggap fiktif oleh Imaduddin.
1. Ibnu Thabathaba (478 H) dalam kitabnya Abnaul Imâm Fî Mishr was Syâm al-Hasan wal Husein (hlm. 167).
Dalam bab yang menjelaskan Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib disebutkan:
لكن عقب السيد عيسى بن حممد من ا بنه أمحد بن عيسى الشهري ابملهاجر كان كثرياجدا يف حضر موت وبعض بالد املسلمني، له أربعة أوالد: حممد بن أمحد، وعبد هللا بن
أمحد، وعلي بن أمحد، وحسني بن أمحد.
“Tetapi, keturunan Sayyid Isa bin Muhammad dari anaknya yang bernama Ahmad bin Isa yang dikenal dengan sebutan al-Muhajir adalah sangat banyak di Hadramaut dan sejumlah negeri Islam lain. Ia memiliki 4 (empat) orang anak: Muhammad bin Ahmad, Abdullah bin Ahmad, Ali bin Ahmad, dan Husein bin Ahmad.”
Sebatas penelitian ini, informasi Ibnu Thabathaba di atas merupakan catatan sejarah paling tua mengenai ketersambungan nasab Ubaidillah bin Ahmad. Sekaligus menjadi informasi penting tentang penyebaran keturunannya di Hadramaut secara khusus dan negeri-negeri Islam lainnya secara umum
2. Al-Jundi (732 H) dalam kitabnya as-Sulûk fî Thabaqâtil Ulamâ’ wal Mulûk (2/135-136):
و أحببت أن أحلق هبم الذين وردوها ودرسوا فيها، وهم مجاعة من الطبقة األوىل، منهمأبو ا ححلسن علي بن حممد بن أمحد بن جديد بن علي بن حممد بن جديد بن عبد هللا
بن أمحد بن عيسى بن حممد بن علي بن جعفر الصادق بن حممد الباقر بن علي بن
زين العابدين بن احل سني بن علي بن أيب ط الب كرم هللا و جهه، و يعرف ابلشريف أيب
اجلديد عند أهل اليمن، أصله من حضرمو ت، من أش ارف هُنَالك يعرفون آبل أيب علوي،
بيت صالح و عبادة على ط ر يق التصوف، و فيهم فقهاء
“Saya ingin menyertakan bersama mereka orang yang yang telah datang ke Ta’iz dan belajar disana. Mereka adalah kelompok dari tingkatan pertama. Diantaranya adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Ali bin Muhammad bin Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Dikenal oleh penduduk Yaman dengan Syarif Abu Jadid. Asalnya dari Hadramaut. Dari golongan Asyraf (ahlul bait) disana yang dikenal dengan Alu Abi Alawi. Mereka merupakan keluarga yang saleh dan ahli ibadah mengikuti jalan keshufian. Banyak diantara mereka adalah para ahli fikih.”
3. Imam as-Sakhawi (902 H) dalam kitab adh-Dhaw’ul Lâmi’ (5/59) menyebutkan salah satu tokoh dari kalangan Alawiyin :
عبد هللا بن حممد بن علي بن حممد بن أمحد بن حممد بن علي بن حممد بن علي بن
علوي بن حممد بن علوي بن عبيد هللا بن أمحد بن عيسى بن حممد بن علي بن جعفر
الصادق بن حممد الباقر بن زيد العابدين علي بن احلسني بن علي ابن أيب ط الب
احلسي ين احلضر مي ث املكي نزيل الشبيكة منها و يعرف ابلشريف ابعلوى قال أنه ر حل
يف الطلب فقر أ التنبيه واملنهاج و احلاو ي كان حيفظه خبصوصه و غريها
“Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib al-Husaini al-Hadrami lalu al-Makki. Tinggal di Syubaikah. Dikenal dengan Syarif Ba’alawi. Disebutkan bahwa ia pergi untuk menuntut ilmu dan membaca Tanbih, Minhaj dan Hawi. Ia menghapal itu semua untuk dirinya dan orang lain.”
Ditambah lagi, ada sesuatu yang terlewat oleh Imaduddin tentang nasab para habaib, padahal ini merupakan salah satu kunci penilaian sah atau tidaknya nasab mereka. Yaitu adanya tokoh pada setiap generasi habaib yang dijadikan sebagai penghulu keluarga --yang dikenal dengan istilah annaqîb dan al-munshib-- yang salah satu tugas utamanya adalah mencatat dan menjaga keshahihan nasab keluarga. Hal itu dilakukan karena nasab Nabi SAW tidak seperti nasab manusia manapun karena memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak bisa dibiarkan begitu saja dari sesuatu yang dapat merusaknya.
Kisah sejumlah orang yang meragukan keshahihan nasab Alawiyin
Fenomena untuk meragukan nasab Alawiyin bukan hal yang baru. Di dalam kitab Khulashatul Atsar (1/75) disebutkan: “Sebagian ulama menceritakan bahwa ketika para Alawiyin telah memiliki posisi yang kuat di Hadramaut, terdapat sejumlah ulama di wilayah itu yang ingin memastikan keshahihan nasab mulia mereka. Maka mereka meminta para Alawiyin untuk mendatangkan bukti yang dapat diterima. Maka berangkatlah al-Imam al-Hafizh al-Mujtahid Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa, Pent.) ke Irak. Beliau akhirnya dapat menetapkan keshahihan nasab Alawiyin dan mempersaksikan itu kepada seratus orang adil yang akan berangkat haji. Lalu menetapkan keshahihan nasab itu di Mekkah dan mempersaksikan kepada semua jamaah haji dari Hadramaut. Maka para jamaah haji Hadramaut itu datang pada hari yang ditentukan dan mempersaksikan keshahihan nasab itu di hadapan ulama Hadramaut.”
Peringatan keras Nabi SAW terhadap orang yang mencela nasab
Terakhir, sebagai sesama muslim, saya kembali mengingatkan Imaduddin mengenai hadits Rasulullah SAW yang mengecam orang mencela nasab orang lain.
مح ا هب هَُاس الن يف ان تَن َاث ح
ر فحكُ
ط
: ال
يف نُعح
حَيَالن ، وَب سَ الن
لَعَةُا
مَى الح
ت ي
“Dua perkara banyak terjadi pada orang-orang yang karenanya mereka mendapatkan dosa besar: mencela nasab, dan meratapi mayit.” (HR. Muslim).
Mencela nasab adalah perbuatan dosa besar bahkan disebut Rasulullah SAW dengan kata “kufrun”. Terlebih jika yang dicela adalah nasab yang mulia dari ahlul bait (keluarga) Rasulullah SAW.
Lebih-lebih lagi, nasab tersebut telah diakui ratusan tahun secara mutawatir oleh para ulama dan ahli nasab tentang keshahihannya. Wallahu a’lam.
*) Penulis adalah Anggota Komisi Fatwa MUI Lampung dan Pimpinan PP Daarul Ma’arif Lampung Selatan