Membantah Imaduddin: Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Ahad, 23 April 2023
Faktakini.info
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Tulisan lepas ini dibuat karena ada permintaan dari sebagian sahabat, teman non Ba‘alwi dan juga keluarga Ba‘alwi untuk mengkritisi tulisan Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia Sebuah Penelitian Ilmiyah (selanjutnya ditulis Menakar) oleh Imaduddin Utsman al-Bantani (selanjutnya ditulis Imad) cetakan Maktabah Nahdlatul Ulum, 2022. Dengan merujuk nasab Muhammad Rizieq Shihab (selanjutnya disebut MRS), Imad menyatakan: Sayangnya nasab seperti di atas tersebut tidak terkonfirmasi dalam kitab-kitab nasab primer yang mu‘tabar (Menakar, 1-2).
Perlu diketahui dan ini sangat penting, MRS dan kelompoknya hanyalah sebagian kecil dari keluarga besar Ba‘alwi di dunia dan sebagai penulis kami bukan termasuk pendukung MRS. Apabila MRS dan kelompoknya meresahkan Imad dan masyarakat, maka silakan mendebat dan bila perlu menuntut mereka secara hukum. Tulisan Menakar bernuansa memojokkan semua Ba‘alwi tanpa terkecuali, dengan cara menuduh nasab mereka. Padahal al-Qur’an mengajarkan:
يأيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هوأقرب للتقوى واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Sebab (adil) itu dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan” (QS: al-Ma’idah; 8)
Tulisan ini hadir untuk menjawab data-data dalam tulisan Menakar dengan cara memetakan, mengkritisi, menganalisis dan membuat argumentasi terbalik melalui data sehingga perspektif ilmiah terlihat di buku ini dalam menelusuri tokoh yang dituduh nasabnya yaitu ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir sebagai moyang Ba‘alwi di seluruh dunia.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi mereka yang Ikhlas dan Berakal!
wa Allâhu a‘lâm bi al-shawâb.
Silakan download e-booknya
https://www.alkhairaat-ternate.or.id/wp-content/uploads/2023/04/Dr-Jafar_Konektivitas-Rijal-alHadis.pdf
RALAT halaman 49 e-book Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Tercetak: …Abdullah anak dari anak Ahmad bin Isa al-Muhajir.
Harusnya: …Abdullah anak dari Ahmad bin Isa al-Muhajir.
-Penulis-
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
e-book
Konektívitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah
dalam Menelusuri Nasab
Penulis:
Dr. Ja'far Assagaf, MA
Hak cipta pada Penulis, 2023
Desain cover & tata letak:Ty
Dipublikasikan oleh: alkhairaat-ternate.or.id
April 2023/Ramadhan 1444
Silakan menyebarkan/mengutip isi buku ini
dengan menyebut judul, nama penulis, dan publikasi
Jafar Assagaf | 2023
Kata Pengantar Pernulis
Segala puji bagi Allah swt yang telah menciptakan
manusia dari air, lalu Dia jadikan mereka mempunyai
keturunan dan hubungan kekeluargaan. Shalawat dan salam
iasa dihaturkan pada kanjeng Nabi Besar Muhammad
saw, demikian pula kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya
sampai hari akhir.
Manusia hanya menerima takdir Allah swt, tak kuasa
memilih dari turunan mana dia dilahirkan. Perbedaan suku, ras
dan bangsa adalah kodrat. Taqwa yang membedakan mereka di
hadapan Alah swt (QS: al-Hujurat; 13), meski sebagian mereka
dilebihkan dari sebagian lainnya (renungkan Qs: al-Isra; 21).
Termasuk di antara anugerah yang diakui agama yaitu nasab
yang baik, dan hal ini merupakan salah satu kriteria saat
memilih pasangan hidup (al-Bukhari, 1994, II, 256)
Nasab yang baik tidak menjamin seseorang juga baik, hal
ini dapat disebabkan beberapa faktor. Terhadap anaknya
Fatimah al-bathul alaiha al-salam (w. 11 H) dan keluarga
lainnya, Rasulullah suci saw mewanti-wanti untuk tidak
mengandalkan nasab mereka karena itu tidak berguna di hari
kemudian (al-Bukhari, I, 153. Lihat pula QS: al
Mu'minun;101). Nasab tidak berarti apa-apa kecuali disertai
dengan ilmu, amal dan akhlak, maka berbangga dengan nasab
3
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
hukumnya haram.
Meski demikian, Islam tidak menafikan untuk mengakui
nasab orang lain; bukan dalam arti menyanjung apalagi
mengkultuskannya. Tetapi dalam konteks syukur atas nikmat
yang Allah berikan kepada seseorang. Ditemukan hadis yang
menandai ingkar (nikmat) pada siapa pun yang mengarahkan
tuduhan kepada nasab orang lain (Muslim, 1992, I, 53).
Tulisan lepas ini dibuat karena ada permintaan dari
sebagian sahabat, teman non Ba'alwi dan juga keluarga Ba'alwi
untuk mengkritisi tulisan Menakar Kesahihan Nasab Habib
Indonesia Sebuah Penelitian IImiyah (selanjutnya ditulis
Menakar) oleh Imaduddin Utsman al-Bantani (selanjutnya
ditulis Imad) cetakan Maktabah Nahdlatul Ulum, 2022. Dengan
merujuk nasab Muhammad Rizieq Shihab (selanjutnya disebut
MRS), Imad menyatakan: Sayangnya nasab seperti di atas
tersebut tidak terkonfirmasi dalam ktab-kitab nasab primer yang
mu tabar (Menakar, 1-2).
Perlu diketahui dan ini sangat penting, MRS dan
kelompoknya hanyalah sebagian kecil dari keluarga besar
Ba alwi di dunia dan sebagai penulis kami bukan termasuk
pendukung MRS. Apabila MRS dan kelompoknya meresahkan
Imad dan masyarakat, maka silakan mendebat dan bila perlu
menuntut mereka secara hukum. Tulisan Menakar bernuansa
memojokkan semua Ba alwi tanpa terkecuali, dengan cara
menuduh nasab mereka. Padahal al-Qur'an mengajarkan:
4
Jafar Assagaf | 2023
Artinya: "wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu
sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Sebab
(adil) itu dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah,
sungguh, Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan" (QS: al
Ma'idah; 8)
Tulisan ini hadir untuk menjawab data-data dalam tulisan
Menakar dengan cara memetakan, mengkritisi, menganalisis
dan membuat argumentasi terbalik melalui data sehingga
perspektif ilmiah terlihat di buku ini dalam menelusuri tokoh
yang dituduh nasabnya yaitu Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir
sebagai moyang Ba'alwi di seluruh dunia.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi mereka yang Ikhlas
dan Berakal!
17 Maret 2023
Dr/ la/far Assagaf, MA.
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Daftar Isi
KATA PENGANTAR PENULIS--3
A. PROLOG--7
1.
Kajian Pustaka-- 12
2.
Kajian Metode--15
B. 'UBAIDILLAH BIN AHMAD AL-MUHAJIR (W. 383 H)--20
1.
Ubaidillah Baru Muncul di Abad 144 H?--20
2.
Abdullah dan 'Ubaidillah Sosok yang Berbeda?--21
3.
Kitab Nasab Abad 5 'tidak' Menyebutkan Nama
Abdullah?--23
4. Bagaimana Mengkonfirmasi Ubaidillah sebagai Anak
al-Muhajir?--33
5. Framing dan Kekeliruan Lainnya--43
C. KITAB AL-SYAJARAH AL-MUBARAKAH--53
D. POLEMIK GELAR AHMAD AL-ABAH SEBAGAI AHMAD AL
MUHAJIR--61
E. KONKLUSI--67
F. EPILOG--69
DAFTAR PUSTAKA--71
6
Jafar Assagaf | 2023
A. PROLOG
Keakraban antara kiai dengan habaib bukan rahasia lagi.
Konteks ini terjadi sebab memiliki akar sejarah yang cukup
panjang. Kedatangan trah Adzmat Khan melalui wali songo
(disebut Ba'alwi ), Basyaiban al-Turabiy (disebut Ba'alwi )
terlebih dahulu ketimbang habaib (selanjutnya disebut Ba'alwi
II) di Indonesia. Tiga generasi Ba'alwi tersebut adalah turunan
Alwi bin 'Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Mereka dikenal
sebagai pendakwah dan pengajar agama Islam di bumi
nusantara dengan berbagai tahapan periodisasi. Hubungan
Baʻalwi II dengan kiai terjalin mesra juga disebabkan
'beberapa' kiai berasal dari Ba'alwi I dan II, sehingga
kedatangan komunitas Ba'alwi II dari Hadramaut Yaman
memperoleh sambutan hangat, ibarat kakak dengan adik.
Sejatinya moyang Ba'alwi I yaitu Abd Malik bin Alwi bin
Muhammad Shahib al-Mirbath (w. 653/4/5 H) adalah sepupu
dari moyang Ba'alwi II dan III yaitu Muhammad bin Ali bin
Muhammad Shahib al-Mirbath (w. 653 H).
Keakraban hubungan sejak dahulu, di antara mereka
saling menimba ilmu dan memiliki guru yang sama. Kedekatan
hadrahtusyeikh KH. Hasyim As'ari (1871-1947 M) dengan
7
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
habib Ali Kwitang (1870-1968 M) keduanya juga berguru pada
Alwi bin Ahmad Assagaf (w. 1335 H) (Mamduh, 1434 H, II, 42,
704). Hubungan pendiri NU tersebut juga terjalin dengan guru
tua; Idrus bin Salim al-jufrie (1892-1969 M) pendiri Al
Khairaat. Demikian pula antara ustaz Abdul Qadir Bilfaqih (w.
1962 M) dengan KH Abd Muhaimin Lasem, keduanya berguru
pada Syeikh Umar bin Hamdan al-Mahrasiy (Mamduh, 1434 H,
I, 578, 694). Maka saat ketua MUI Hasan Basri (w. 1998 M)
menyatakan tidak ada dzuriyah Rasulullah suci saw di Harian
terbit 1993 M dan berpotensi memunculkan fitnah, KH
Abdurahman Wahid; Gus Dur (1940-2009 M) tampil membela
mereka (dimuat kembali di www.dutaislam.com 20-12-2017).
Pembelaan di atas bukanlah politis tapi sebenar-benarnya.
Sebab antara kiai dengan Ba'alwi II sejak awal memiliki
pertalian yang erat, dan ini termasuk jasa besar Gus Dur
kepada mereka. Meskipun belakangan anak-anak muda dari
sebagian Ba'alwi lII termasuk MRS berkata tidak beretika
kepadanya (https:/youtu.be/hwl0ehludiw, diakses 25-11
2022), namun Gus Dur tak pernah melakukan statistik pukul
rata, tetapi memperingatkan secara keras kepada MRS dan
pengikutnya, tanpa memojokkan apalagi mencela semua
Baʻalwi II.
Di masa kini, muncul video dan tulisan menggeneralisasi
semua Ba'alwi (meski yang disebut hanya habib yaitu Ba'alwi
8
Jafar Assagaf | 2023
III) menyatakan kalau nasab mereka tidak terkonfirmasi
(Menakar, 2). Diawali dengan narasi Syafiq Hasyim
(selanjutnya disebut Syafiq) yang mendukung tulisan Menakar
(https://youtu.be/khMiOMPOPMs, diakses 7-11-2022). Setelah
mendengar narasi itu penulis lalu mengumpulkan data-data
menyeluruh untuk mengkritisinya dan telah terkumpul sejak
17 November 2022, meski penulis baru memperoleh tulisan
Menakar pada 20 November 2022. Tulisan ini sengaja ditunda,
karena ingin melihat adakah mereka yang berilmu mau
berbicara seperti Gus Dur ketimbang untuk kepentingan lain?
Mengkritisi tulisan Menakar penting sebab: (1) ada
keterlibatan pemuka agama diwakili Imad dan intelektual
diwakili Syafiq untuk 'menggerus' semua Ba alwi dengan
alasan ilmiah. Berarti ada sesuatu yang penting untuk
menjawab sesuatu yang berada di belakang layar; (2) meski
Imad berkata "penelitian penulis ini bukanlah hakim atas
hakikat kebenaran atau kesalahan" (Menakar, 17) tetapi di
youtube ia justru berkata "tetapi kalau orang yang sudah tidak
sebagai..."
terkonfirmasi
(https:/www.youtube.com/watch?v=clujPYiReS4 menit 11.33
11.39, diakses 27-11-2022). Kalimat 'sudah tidak
terkonfirmasi' menghakimi semua Ba'alwi tidak ada kaitan
nasab dengan Ahmad bin Isa al-Muhajir. Jika dilihat kronologi
narasi Syafiq, tulisan Menakar Oktober 2022 dengan video
9
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
tersebut 27 November 2022 maka kata orang dalam video itu
maksudnya adalah Ba'alwi khususnya yang Ii; (3) pemahaman
dari adanya tuduhan (aal) Imad kepada nasab Ba'alwi
berpotensi mengarah ke qadzf (ia) terhadap datuk mereka
'Ubaidillah atau bahkan Ahmad al-Muhajir; (4) Tulisan
Menakar bukan saja mencoba menafikan nasab Ba'alwi III,
tetapi semua Ba'alwi di dunia. Karena Ba'alwi I-III bernasab
kepada Alwi bin "Ubaidillah bin Ahmad bin 'Isa bin Muhammad
bin Ali al-Uraidhi bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir
bin Ali Zainal Abidin bin Husein anak Ali bin Abi Thalib
dengan Fatimah al-Zahra alaiha al-salam. Secara spesifik Imad
juga telah mengingkari semua nasab Adzmat Khan (Ba'alwi I)
yang ada di Indonesia. Padahal tidak sedikit orang yang tengah
menelusuri identitas nasab mereka melalui ayah sampai ke
situ; (5) belum terlihat kiai, tokoh agama mengeluarkan
pernyataan pembanding padahal saat Imad ceramah di
youtube tersebut, ada logo NU sebagai latar belakangnya.
Selain lima alasan di atas, masih terdapat latar belakang
yang memerlukan tabayun lebih lanjut. Konon (Jás shiqah
tamridh) Imad pernah mengurus nasabnya (Adzmat Khan) ke
Rabithah Alawiyah namun ia tidak memperolehnya, demikian
komentar balasan dari akun Charliey Moolly, dan Sang
Pengembara dalam kolom komentar di
https:/www.youtube.com/watch?v=clujPYiReS4.
Dalam
10
Jafar Assagaf | 2023
konteks ini jika benar (bisa dihapus jika tidak benar), perlu
konfirmasi ke Imad, patut dipahami bahwa lembaga
pencatatan nasab tersebut tidak memiliki data terkait Adzmat
Khan, khususnya Wali Songo ke bawah sampai ke masa kini.
Tulisan ini menggunakan dua teori: pertama, ilmu hadis;
rijal al-hadis mencakup ilmu thabaqah, ansab dan buldan;
kedua, sejarah kritis. Imu rijal secara spesifik menampilkan
pembacaan data yang terkonfirmasi tentang individu yang
dibicarakan, dengan menelusuri lintas data sebagaimana
tradisi ulama. Sementara sejarah kritis (bkl al) akan
membedah data, kronologi, analogi dan logika sejarah
(Muthahhari, 1979, 53-54) yang ada dalam tulisan Menakar.
Untuk menelisik keakuratan nasab 'Ubaidillah maka
tulisan ini juga menggunakan logika metode Musyajarah
(selanjutnya ditulis MS) yaitu menelusuri nasab melalui anak
ke ayah ke kakek dan seterusnya, dari bawah ke atas melalui
data sejarawan, ahli hadis selain kitab nasab, agar dipahami
ada metode lain dalam menentukan nasab selain metode
Mabsuth (selanjutnya disebut MB) yaitu menelusuri nasab
melalui kakek, ayah lalu anak; dari atas ke bawah (Mahdi al
Raja'i, 1427 H, I, 12-13).
Mengkritisi tulisan berjudul Menakar di atas harus diawali
dengan pertanyaan benarkah tulisan tersebut adalah
penelitian ilmiah seperti bunyi anak judulnya? Pengakuan
11
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Imad perlu diuji terlebih dahulu melalui kajian pustaka dan
metode yang ia gunakan.
1. Kajian Pustaka
Tulisan Menakar tidak memuat kajian Pustaka, padahal
sudah banyak yang tahu diskusi tentang nasab Ba'alwi mulai
sejak
+2008
di
internet
ramai
M
(https://www.alshibami.net/sagifa/archivefindex.php/t
44394.html diakses lagi 7-11-2022). Di era 1990-an lebih
dahulu muncul Murad Syukri dengan tulisan al-Itihaf fi lbthal
al-Nasab al-Hasyimi li Bani 'Alwi wa al-Saqgaf isinya
meragukan nasab Ba'alwi lalu dijawab oleh Hasan bin Ali
Assagaf dalam al-Raddu al-Mufhim al-Mubin 'ala Murad Syukri
Dzanaba al-Mutamaslifin al-Tha in fi Nasab al-Sadah Al
Ba'alwi al-Hasyimin (Assagaf, 1417 H, 2, 37 dari halaman awal
muqadimah). Kedua, al-Zarbathi meski belum tegas
meragukan nasab Ba'alwi tetapi ia tidak mencantumkan
'Ubaidillah sebagai anak Ahmad al-Abah dalam al-Jaridah.
(Zarbathi, 1417 H, II, h. 105. awal ditulis 1950 namun dicetak
1417 H). Karya Zarbathi adalah nukilan dari kitab-kitab
dahulu, berisi nama-nama turunan Ali dari al-Hasan dan al
Husein yang disusun berdasar abjad hijaiah, jadi bukan
analisis. Sebaliknya pakar rijal Syi ah modern; Muhsin al-Amin
al-Amili (w. 1952 M) menyebutkan al-Muhajir hijrah ke Yaman
12
Ja'tar Assagaf | 2023
dan wafat di Husaisah serta memiliki turunan di sana. Salah
satunya bernama Ali bin Alwi Khala' Qasam yang menempati
kota Tarim di tahun 521 H (al-Amili, 1983, II, 59). Mahdi al
Raja'i; ahli nasab kontemporer (Imad sering merujuk kitab
nasab yang ada notasi darinya), justeru memperkuat bahwa al
Muhajir memiliki anak bernama Ubaidillah:
(432,419,II
,G) l ye
"dan adapun Abu al-Qasim Ahmad al-Abah al-Nufath al
Muhajir bin 'Isa al-Naqib, maka ia meninggalkan (memiliki
turunan dari) 4 orang (anak), mereka itu: 1. Abu Ja'far
Muhammad di Ray; 2. dan Abu al-Hasan; Ali Zain al-'Abidin
datang ke kota Isfihan dan tinggal disitu, lalu wafat. Dia
dikenal dengan ba ma mazadah Zain al-"Abidin di tempat
bernama Sunbulan atau Jumulan dan dikatakan tempat itu di
masa sekarang dengan Darb Imam; 3. dan Husein, turunannya
di Naisabur, dan telah bercampur nasab anak (turunan) Husein
ini dengan anak Husein bin Ahmad al-sya'rani bin Ali al
'Uraidhi; 4. dan Abu Alwi; 'Ubaidillah".
Agaknya sumber yang Murad Syukri dan Zarbathi pakai
sama yaitu karya 'Razi (akan dibahas khusus) yang tidak
memuat Ubaidillah sebagai anak Ahmad al-'Abah (apakah
13
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
sama dengan al-Muhajir? juga akan dibahas khusus). Dugaan
kuat, Imad melihat dan menukil diskusi tahun 2008 M atau
semacamnya, lalu merujuk 'Razi' atau bahkan telah membaca
karya Murad Syukri dan Zarbathi? Dari anak judulnya, tulisan
Imad seolah-olah temuan baru dan atau justru merujuk pada
'Razi"? padahal sebelumnya telah ada penulis lain lebih awal.
Di sini keilmiahan tulisan Menakar dipertanyakan, sebab tidak
menyebutkan kajian pustaka. Bila tulisan Menakar
dikategorikan penelitian ilmiah maka itu dalam arti
menertibkan dan mempertegas tulisan Murad Syukri (tahsil al
hashi), bukan mengklasifikasi apalagi memunculkan sesuatu
yang baru.
Penulis heran, Syafiq dosen UIIl dan jebolan luar negeri
'sulit' membedakan mana penelitian ilmiah dengan mana
penegasan kutipan yang memuat framing. Syafiq bahkan
meng-endorse dengan semangat, bukan saja melalui narasi tapi
ikut menulis opininya (https:l/geotimes.id/catatan-syafig
hasyim/menyoal-genealogi-habib-di-indonesia-ke-rasulullah
bukti-ilmiah-kyai-imaduddin-utsman/ diakses 12-11-2022)
mendukung tulisan Menakar.
Hal penting untuk diketahui bahwa satu milenium lebih,
terhitung sejak masa 'Ubaidillah (w. + 383 H) ulama khususnya
ahli nasab tidak mempermasalahkan nasab Ba'alwi meski
'Razi tidak menyebut 'Ubaidillah. Dapat dinyatakan, Murad
14
Jafar Assagaf | 2023
Syukri dan Zabarthi di masa kini termasuk 'pelopor yang
memunculkan keraguan terhadap nasab Ba alwi melalui
'Ubaidillah yang dinilai bukan anak Ahmad al-Muhajir.
2. Kajian Metode
Dua aspek metode yang perlu dikritisi dalam tulisan
Menakar yaitu:
a. Metode Penelusuran Nasab
Saat menelusuri nasab, Imad menggunakan metode
looking down meski ia juga menyebut metode looking up
(Menakar, 3-4). Kedua metode tersebut sebenarnya metode MB
(mabsuth) menjadi looking down dan metode MS (musyajjarah)
menjadi looking up. Dengan mengganti istilah nampak ia
berusaha menyamarkan sekaligus menghindari penggunaan
metode MS atau looking up. Sebab bila ia menggunakannya
tentu tidak akan ada konklusi nama Ubaidillah baru muncul di
abad 14 H (Menakar, 16).
Imad tampak menghindari metode MS atau memiliki
alasan tersendiri? Metode MS memiliki pola kemiripan dengan
metode isnad. Misalnya perawi kelima/mukharrij; al-Bukhari
(w. 256 H) menyebutkan hadis ia dapati dari perawi keempat;
Abdullah bin Yusuf (w. 21 H), berasal dari perawi ketiga; Malik
(w. 179 H) berasal dari perawi kedua; Humaid (w. 142/3 H)
15
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
berasal dari perawi pertama; Anas (w. 93 H) dari Nabi suci saw.
Demikian pula metode MS menyebutkan nasab seseorang dari
bawah misalnya "Ubaidillah (w. ± 383 H) adalah anak Ahmad
al-Muhajir (w. 345 H), Ahmad anak dari Isa (w. 300 H), Isa anak
dari Muhammad al-Naqib (w. 250 H), dan Muhammad anak
dari Ali al-Uraidhi (w. 210 H), dan 'Uraidhi anak dari Ja'far al
Shadiq (w. 148 H). Penyebutan ini mirip dengan isnad hadis
atau dapat disebut nasab berisnad yang berpijak tidak hanya
lisan, namun juga catatan terkonfirmasi yang diakui ahli hadis,
nasab dan muarikh (sejahrawan).
Dalam mengkonfirmasi keakuratan nasab melalui metode
MS, ulama menggunakan tiga pola: pertama, catatan nasab
dari keluarga yang bersangkutan dan biasanya ada pohon
nasab; kedua, orang yang bersangikutan menyebut nasabnya
sendiri seperti Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) mengabarkan
nasabnya kepada muridnya dengan metode al-sima' maupun
kitabah (al-Sakhawi, 1999, I, 101-102); ketiga, mengkonfirmasi
validnya nasab orang lain yang sezaman misalnya al-Sakhawi
(w. 902 H) menyebut nasab Jarullah bin Shaleh sampai ke
moyangnya Mas'ud Jalaluddin al-Syaibani al-Thabari (al
Sakhawi, III, 52). Terpenting metode MS ini terkonfirmasi
melalui orang-orang tsiqah seperti persyaratan perawi hadis,
dan penyampai informasi nasab maupun sejarah.
16
Jafar Assagaf | 2023
b. Metode Pengutipan Nama dan Nasab
Saat mengklarifikasi nasab, Imad seperti tidak pernah
belajar ilmu hadis dan sejarah. Konteks ini dapat dibuktikan
dengan dua hal:
pertama, tulisan Menakar hanya membatasi kutipan dari
kitab nasab. Padahal semua ahli hadis, nasab dan sejarah tahu
dengan pasti bahwa terjadi integrasi-interkoneksi ilmu hadis;
khususnya rijal al-hadis melalui ilmu thabaqah, ilmu nasab dan
ilmu buldan dengan ilmu tarikh (al-Sakhawi, 1426, IV, 498,
506, 515). Ahli nasab sekelas al-Sam'aniy (w. 562 H) saja
mengutip keterangan sejahrawan besar al-Thabari (w. 310 H)
dan Ibn Ishaq (w. 151 H) saat menjelaskan Ka'ab bin al
Jammaz (w. 11 H) dan saudaranya al-Harits bin al-Jammaz,
nisbah Hulaili ke bani Khuza'ah, begitu pula saat
membicarakan kota al-Hadhri (al-Sam'ani, 1988, II, 80, 231,
250). Ini hanya contoh, maka atas dasar apa Imad
mengabaikan sumber-sumber semisal itu saat mengklarifikasi
"Ubaidillah bin Ahmad?
Kedua, konteks framing data kitab nasab terdapat dalam
tulisan Imad. Nampak jelas isi keseluruhan tulisannya
berusaha menghindari kitab nasab karya Ba'alwi. Ini akan
menarik jika ia konsisten tidak menggunakan karya mereka.
Sayangnya itu tidak terjadi. Ternyata saat membicarakan
"Ubaidillah baru muncul di abad ke 14 H (Menakar, 16) ia
17
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
menggunakan kitab Syams al-Zhahirah karya Abd Rahman al
Masyhur Ba'alwi. Di abad yang sama, mengapa ia tidak
menukil karya non Ba'alwi namun juga sayyid? yaitu
Muhammad Zabarah al-Hasani (w. 1381 H), atau ke al-Muhibbi
al-Hanafi (w. 1111 H) bukan turunan al-Hasan maupun al
Husein tetapi menyebut Ubaidillah anak Ahmad al-Muhajir
(Zabarah, 1984, 125; al-Muhibbi, t.th. I, 71).
Berarti Imad tengah melakukan dua framing: pertama, saat
menukil nama Ubaidillah dari al-Masyhur di abad 14 H, ia
menyampaikan hidden idea bahwa al-Masyhur mengubah
nama Abdullah jadi Ubaidillah. Secara implisit ia
mengisyaratkan al-Masyhur telah berbohong; kedua, jika telah
menukil kitab nasab Syams al-Zhahirah, mengapa ia enggan
menukil kitab nasab Ba'alwi yang lebih dahulu? seperti al
Khird/al-Khard (w. 960 H) yang menyebut Ubaidillah (1405 H,
103-104). Selain itu, al-Khird termasuk ahli hadis di masanya
(Zirakli, VI, 292). Selain tidak konsisten, Imad juga menggiring
pembaca agar memahami nama Ubaidillah baru muncul di
abad 14 H dan tidak ada di abad-abad sebelumnya, tentu
tidaklah demikian. Apakah ia bermaksud menframing?
Bila Imad dan Syafiq menanyakan bukankah ahli nasab
berbeda dengan ahli hadis dan sejarawan? jawabannya
bukankah Ibn al-Atsir (w. 630 H), Ibn Najjar (w. 643 H) dan Ibn
Hajar al-Asqalani (w. 852 H) adalah sebagian kecil sejahrawan,
18
Jafar Assagaf | 2023
ahli hadis yang memiliki perhatian pada nasab? al-Lubab fi
Tahdzib al-Ansab karya Ibn al-Atsir, Anshab al-Muhaddisin
karya Ibn al-Najar serta Tabshir al-Muntabih bi Tahrir al
Musytabih karya Ibn Hajar. Ketiganya terkait nama, nasab
perawi hadis/tokoh. Ulama dahulu juga kadang menulis tokoh
sezaman dengan mereka, bersama nasabnya sampai yang
paling atas, seperti al-Durar al-Kaminah karya Ibn Hajar, dan
al-Dhau'u al-Lami karya al-Sakhawi.
###
19
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
B. 'UBAIDILLAH BIN AHMAD AL
MUHAJIR (W. + 383 H)
Keseluruhan tulisan Menakar adalah hasil kutipan dan
penegasan Imad bahwa "Ubaidillah bukan anak al-Muhajir.
Maka bagian ini secara khusus akan membahas 'Ubaidillah
tersebut dari data dan framing tulisan itu.
1. Ubaidillah Baru Muncul di Abad 14 H?
Dalam Menakar tertulis: "Abdullah Resmi Menjadi
Ubaidillah pada Abad 14 H", lebih lanjut: "Dengan tegas syekh
Abdurrahman al-Masyhur menyebutkan nama Abdullah adalah
alias dari Ubaidillah" (Menakar, 16). Benarkah sebelum abad
14 H nama 'Ubaidillah tidak ada? sebenarnya nama 'Ubaidillah
telah hadir sebelum abad tersebut. Al-Sakhawi pakar hadis dan
sejarah yang lebih dahulu dari al-Khird menyebut Ubaidillah
bin Ahmad bin Isa saat memaparkan nasab Abdullah bin
Muhammad, orang yang sezaman dengannya. al-Sakhawi
menulis:
20
Jafar Assagaf | 2023
(al-Sakhawi, V, 59) ...k Bb
Terlihat jelas Imad menframing data, mengapa? sebab al
Sakhawi abad 9 H. Berarti argumentasi Imad bahwa nama
'Ubaidillah baru muncul di abad 14 telah gugur total, karena
nama itu telah disebut di abad 9 H. Penyebutan nasab dengan
cara seperti al-Sakhawi tersebut berpola metode MS, bila pakar
hadis dan sejarah menggunakannya maka prosesnya mirip
isnad dan terkonfirmasi; melalui (isan) dan catatan saat itu,
maupun kemasyhuran yang tidak direkayasa.
2. Abdullah dan 'Ubaidillah Sosok yang Berbeda?
Imad menulis: “Abad Sepuluh Nama Abdullah dan
Keturunannya Mulai Matang Walau Belum Disebut
"Ubaidillah" (Menakar, 13). Apakah demikian? tentu tidak,
sebab baik Abdullah maupun 'Ubaidillah telah disebut di abad
9. Kadzim ulama abad 9 (w. 8802/891 H) menyebut nama
Abdullah dalam karyanya yang Imad kutip (Muhammad
Kadzim, 1419 H, 53; Menakar, 12) sementara al-Sakhawi (w.
902 H) juga ulama abad 9 menyebut 'Ubaidillah dalam
karyanya di atas (V, 59). Berarti nama Abdullah maupun
"Ubaidillah adalah satu orang yang sama dan bukan dua orang
yang berbeda. Terpenting kedua nama itu telah dikenal dan
digunakan untuk anak Ahmad al-Muhajir sebelum abad 9.
21
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Dinukilnya 2 nama itu di abad 9 menunjukkan keduanya telah
populer sebelum abad itu.
Perbedaan Abdullah dengan Ubaidillah yang dipersoalkan
menunjukkan dua hal: pertama, mad menframing karena di
tulisan al-Masyhur ada dua nama yang dapat dimaknai
terdapat dua orang yang berbeda padahal tidak demikian, dan
atau kedua, ia memang tidak paham kajian al-asma, al-kuna
dan alqab tokoh/perawi. Sebagai contoh pada thabaqah
sahabat saja ada Abu Tsa'labah al-Khusani (w. 51 H) yang
memiliki 9 nama yang berbeda, namun ulama tidak berbeda
bahwa nama-nama itu merujuk pada seorang sahabat Nabi suci
saw saja (Ibn Abd al-Barr w. 463 H, 1992, IV, 1618).
Agar lebih tegas, ulama sering menyebut nama Abdullah
dan 'Ubaidillah untuk satu orang, misalnya sahabat Abu 'Amir
al-Asy'ari menurut Ibn Abd al-Barr dan Tbn al-Atsir bernama
Abdullah atau Ubaid saja (lbn Abd al-Barr, 1992, VI, 1705; Ibn
al-Atsir, 1994, VI, 185). Akan tetapi rentang waktu +170-2 10
tahun sejak wafat Ibn al-Atsir sampai masa aktifnya Ibn Haja,
pengarang al-Ishabah ini menambahkan satu nama Abu 'Amir
yaitu 'Ubaidillah (1415 H, VI, 211). Jelas Ibn Hajar melakukan
itu karena memiliki riwayat terkonfirmasi. Contoh lainnya, ada
nama Ubaidillah tetapi juga dipanggil Abdullah seperti
'Ubaidillah bin Abd Rahman al-Taimi (w. + 165-175 H) juga
dipanggil Abdullah; seorang perawi yang kurang kuat (Ibn
22
Jafar Assagaf | 2023
Hajar, 1995, II, 378). Data-data ini menunjukkan tokoh, perawi
dan orang terkadang memiliki lebih dari satu nama, tetapi
orangnya hanya satu. Bahkan orang yang kurang dikenal pun
seperti al-Taimi tetap disebut karena terpenting adalah
memiliki riwayat baik lisan dan catatan yang terkonfirmasi
oleh ahlinya.
Perbedaan penyebutan bukan kali ini, Muhammad yang
dikenal dengan Ibn Abi Qirat memiliki anak bernama Abdullah
menurut al-Umariy (w. 443/459/490 H?). Namun setelah 360
tahun lebih, Ibn 'Inabah (w. 826 H) menyebut Ubaidillah, (al
Damighani dalam al-Umari, 1409 H, 358-359) mengapa
tulisan Menakar mengabaikannya untuk Ubaidillah alias
Abdullah bin Ahmad al-Muhajir? Padahal al-Sakhawi
menyebutnya secara jelas.
3. Kitab Nasab Abad 5 'tidak' Menyebutkan Nama
Abdullah?
Nama Abdullah terdapat dalam kitab Abna al-Imam fi
Mishr wa a-Syam karya Abu al-Mua'mmar Yahya bin
Muhammad Ibn Thabathaba (w. 478 H), sebagai berikut:
iyy....alalyI
(Yahya; Ibn Thabathaba, t.th, 167)
23
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
"turunan sayyid Isa bin Muhammad dari anaknya Ahmad bin
Isa, popular dengan al-Muhajir... ia memiliki empat anak:
Muhammad bin Ahmad, Abdullah bin Ahmad, Ali bin Ahmad
dan Husein bin Ahmad"
Penisbahan Abna a-Imam kepada Abu al-Mu'ammar
dikuatkan dengan tiga hal:
Pertama, ulama hanya menyebut Abu al-Mua'mmar ini yang
ahli nasab dan nahwu dari syi'ah Imamiah (bn Jauzi, 1992,
XVI, 254; Ibn Taqri Birdi, 1935, V, 123; al-Amili, X, 288; Agha
Bozorq, 2009, II, 206-207). Guru dari Al-Anbari (w. 577 H)
yaitu Hibatullah (w. 542 H) bertemu dan belajar dari Abu al
Mu ammar, lalu Ibn Hajar mempertegas melalui informasi lain
dari orang yang sezaman dengan Abu al-Mu'ammar yaitu Ibn
al-Sam'ani (w. 426 H) (al-Anbari, 1985, 269, 300, 302; Ibn
Hajar, 2010, VI, 358);
Kedua, kitab di atas tidak dapat dinisbahkan kepada
Muhammad bin Ibrahim ibn Thabathaba (w. 199 H) karena
tokoh ini dikenal sebagai politikus bukan ulama (al-Thabari,
1967, VII, 528; al-Suyuthi, 368;) dan historis kitab nasab
Syi ah baru muncul pasca 12 Imam yaitu 265 H sejak ghaib
kubra Mahdi versi mereka;
Ketiga, memperkuat adanya karya Yahya Ibn Thabathaba
melalui keterangan al-'Umari tentang turunan Ali bin
24
Jatar Assagaf | 2023
Muhammad bin Ali al-Uraidhi ada di Syam yang diberi gelar
Ibn Thabalah atau Ibn Thayyar. Begitu pula turunan Ja'far bin
Isa bin Muhmamad bin Ali al-Uraidhi ada di Mesir, dan ini
sesuai dengan Ibn Thabathaba (Yahya; Ibn Thabathaba, 161,
167; al-Umari, 138, 140). Keterangan ini menunjukkan
penyandaran kiatb Abna al-Imam kepada ibn Thabathaba yang
bernama Ibrahim (w. 199 H) tidak tepat, sebab tahun wafat Ali
al-'Uraidhi sendiri pada 210 H. Maka turunannya yang disebut
Abu al-Mu'ammar dan al-Umari yaitu Ibn Thabalah/Thayyar
di Syam dan turunan Ja'far bin Isa di Mesir sudah pasti
keduanya lebih akhir wafat dari al-Uraidhi.
Mengapa tidak dicantumkan kitab tersebut? atau mungkin
Imad tidak mempercayainya karena diberi pohon nasab oleh
Yusuf Jamal al-Lail Ba'alwi (Lahir 1938 M)? padahal jauh
sebelumnya telah diperiksa dan diberi notasi oleh Abu al-'Aun
Muhammad al-Saffarini (w. 1188 H) dan lainnya dari ulama
non Ba'alwi. Apalagi penyebutan nama Abdullah tidak di
bagian pohon yang ditulis Yusuf tetapi di badan teks naskah,
berarti kitab tersebut dari Abu al-Mu'ammar Yahya Ibn
Thabathaba. Bila Imad tidak percaya dengan kitab ini,
mengapa ia mudah percaya kitab al-Syajarah al-Mubarakah
yang justeru sangat problematik jika dinisbahkan kepada al
Razi Sunni seperti yang akan dijelaskan secara khusus.
25
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Lalu mengapa abad 6 sampai pertengahan 7 H tidak lagi
menyebutkan Abdullah/Ubaidillah? Perlu dipahami banyak
hal yang melatar belakangi mengapa nama seorang tokoh,
perawi bahkan sahabat Nabi suci saw tidak dicantumkan di
kitab tertentu dan di abad tertentu. Di antara alasan dan latar
belakangnya, yaitu:
Pertama, tidak atau belum memperoleh informasi. Penulis
tertentu termasuk penulis kitab nasab memang belum tahu
karena tidak mendapatkan informasi tentang biografi tokoh,
perawi secara utuh atau bahkan memang tidak tahu. Dalam
konteks inilah, dapat dipahami mengapa 'Ubaidili (w. 437 H)
tidak mencantumkan anak Ahmad al-Muhajir bernama
Abdullah/Ubaidillah (Ubaidili, t.th, 176-177). Lalu diikuti Ali
bin Muhammad al-'Umari (al-'Umariy, 141), Ismail al-Marwazi
(w. 614 H?) (1409 H, 30), serta Muhammad ibn al-Thaqthaqi
(w. 709 H) (1379 H, 213).
Perlu diingat mereka di atas hanya memuat satu anak dari
Ahmad al-Abah yaitu Muhammad. Imad secara implisit
sebenarnya sudah mengakui keterbatasan mereka dengan
pernyataannya: "Namun ia (al-'Ubaidili, penulis) tidak tegas
apakah Ahmad al-Abah hanya mempunyai anak bernama
Muhammad atau masih ada anak lainnya" (Menakar, &-9). Bila
mereka semua juga tidak menyebut Ali dan Husein sebagai
anak Ahmad al-Abah, mengapa tidak dipertanyakan?
26
Ja'tar Assagaf | 2023
Sementara Ibrahim bin Nashir juga bergelar Ibn Thabathaba
(w. 400 H?) hanya menyebutkan dua anak Ahmad al-Abah
yaitu Muhammad dan Ali tanpa Husein (Tbrahim; Ibn
Thabathaba, 1968, 79, 146, 160). Mengapa al-Marwazi dan Ibn
Thaqthaqi yang lebih akhir dari Tbn Thabathaba tidak
mencantumkan anak Ahmad al-Abah bernama Ali dan Husein?
Logikanya mereka berdua harus menukil darinya.
Terkait dengan ini, Ibn 'Inabah menyatakan di al-'Umdah:
(161,1961,ie l)...e làåy pie ie pdad...
...karena jauhnya mereka dari kami dan tidak ada
pemberhentian (informasi kepada) kami atas keadaan
mereka..."
Ibn 'Inabah mengungkap dalam konteks banyaknya bani
Idris yang nasab mereka shahih, hanya saja ia menyatakan
udzurnya karena tidak (belum) memperoleh keterangan
tentang mereka. Berarti sampai abad 9 H rincian bani Idris
belum diperoleh Ibn 'Inabah secara utuh. Ada pula Ismail bin
Ahmad bin Husein al-Jadzwa'i tidak disebut Ubaidili, al
'Umari, dan lainnya padahal al-Jadzwa'i ada (Ibn 'Inabah, 243).
Apakah al-Jadzwa'i (t abad 5-6 H) itu tidak ada karena ia baru
disebut pada akhir abad 8-awal abad 9 H ? Di sini letak
kegagalan Imad memahami pola ahli nasab. Terkadang mereka
27
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
menyebut einy dan di antara mereka, artinya disebut sebagian
turunan namun bukan berarti yang tidak disebut itu tidak ada.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa ketidaktahuan
informasi dapat menjadikan seseorang bertindak gegabah,
bahkan sekelas ulama seperti Ibn Hazm (384-456 H). Ulama
Andalusia ini menyatakan Imam al-Turmudzi (w. 279 H)
majhul. Padahal sekitar + 30-40 tahun sebelum Ibn Hazm, Ibn
al-Faradhiy (351-403 H) ulama Andalusia lainnya telah
menyebut al-Turmudzi dalam al-Mu'talif wa al-Mukhtalif. Oleh
sebab itu ulama hadis dan sejarawan menolak pendapat Ibn
Hazm (Ibn Hajar, 1326 H, IX, 388). Semua keterangan bagian
ini menunjukkan orang yang tidak disebut di kitab tertentu
belum tentu tidak ada, meskipun terkenal sebab terkadang
belum diperoleh informasi tentang nama, individu dan
kepribadiannya seperti al-Turmdzi di atas. Lalu bagaimana
mengklarifikasi lebih lanjut keberadaan Ubaidillah bin Ahmad
al-Muhajir? akan dibahas khusus.
Kedua, fanatik mazhab. Penilaian al-Khatib al-Bagdadi (w.
463 H) terhadap Abu Hanifah (w. 150 H), Ahmad bin Hanbal
(w. 241 H) dan sebagian pengikutnya (al-Laknawi, t.th, 77)
adalah salah satu contoh. Fanatik mazhab bahkan telah
mengantar al-Khatib tidak mencantumkan al-Banna al
Bagdadi al-Hanbali (w. 471 H) dalam Tarikh Bagdad padahal ia
ulama terkenal yang sezaman dengan al-Bagdadi. Maka Ibn al
28
Jafar Assagaf | 2023
Banna berkata:
33 ,1986,4 jäul) isI sgll ha
(381, XVIII, G;
"andai kata al-Khatib al-Bagdadi menyebutku (memasukkan
aku) di dalam tarikhnya, walaupun (hanya) di kelompok orang
orang pendusta"
Konteks di atas harusnya dilihat untuk nama Ubaidillah
bin Ahmad al-Muhajir. Perlu dipahami penulisan kitab nasab
khusus ahl bait Nabi suci saw lebih didominasi penulis
bermazhab Syi'ah termasuk yang disebut dalam tulisan ini
seperti Ubaidili, al-"Umari dan lainnya. Ini dipahami sebab ada
kepentingan ber-intisab kepada 12 imam Syi'ah dan atau
keterkaitan dengan mazhab mereka. Sementara mazhab Sunni
biasanya menulis kitab nasab secara umum. Poin ini perlu
diberi catatan terlepas dari kepakarannya tentang nasab,
"Ubaidili dikenal sebagai rafidhi ekstrem (lbn Hajar, 2010, V,
363). Konteks ini memungkinkan ia tidak memuat anak dan
cucu Ahmad al-Muhajir di Yaman yang Sunni bermazhab
Syafii. Tentu ini membutuhkan penelitian lebih lanjut sebab
"Ubaidili adalah sumber dari kitab nasab setelahnya khususnya
bagi Syi'ah. Persaingan mazhab bukan rahasia lagi di dunia
Islam sejak dahulu bahkan sampai sekarang. Ini bukan berarti
29
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
semua penulis nasab Syi'ah fanatik dengan mazhabnya.
Ketiga, iri dan dengki. Al-Syaukani (w. 1250 H)
mengisyaratkan adanya hal ini terhadap ulama di Yaman:
(al-Syaukani, t.th., I, 60).. S
"dan aku sangat heran dari kekhususan orang-orang tersebut
dengan karakter ini, yang menjadi sebab untuk mengubur
(menyembunyikan kelebihan) pendahulu dan orang yang
menyertai mereka, dan mengingkari tinggi kadar orang alim,
utama (mulia), penyair dan segenap pembesar (tokoh-tokoh)
mereka"
Konteks pernyataan di atas saat menulis biografi Ahmad
bin Shalih bin Abi al-Rijal (w. 1029-1092 H) di Yaman.
Sementara saat menjelaskan Muhammad bin Ibrahim al
Hasani (w. 840 H), ia berkata:
(al-Syaukani, II, 83).
"dan tidak ada keraguan, sungguh di segenap tempat di negeri
Mesir, Syam dari ulama-ulama yang besar (hebat), mereka
tidak mencapai (menjelaskan) secara lazim tokoh negeri kami
ini ke posisinya"
Al-Syaukani lebih berbicara tentang ulama Zaidiyah di
30
Ja'far Assagaf | 2023
Shan'a, tapi apa yang dia nyatakan adalah ril. Sayangnya ia
juga 'tercebur' saat mengkritik kurangnya perhatian Ibn Hajar
dan al-Sakhawi terhadap Yaman karena bermazhab Zaidiyah
(, 83). Padahal al-Sakhawi cukup banyak menyebut ulama
Yaman, memang umumnya bermazhab Syafi;, Ba'alwi dan
non Ba'alwi (1, 115, II, 28, 64, III, 127, IV, 304, V, 16, 59, 75,
VII, 291, VIII, 37).
Keempat, Terkadang penulis kitab tidak mencantumkan
seorang tokoh di karya tertentu namun di karyanya yang lain ia
mencantumkan. Abd Rahman Assagaf (w. 819 H) misalnya,
sezaman dengan Ibn 'Inabah tidak disebut dalam al-'Umdah
(mungkin ini yang shugra?) tetapi Abd Rahman disebut
nasabnya sampai ke Husein bin Ali (w. 61 H) dalam Bahrul al
Ansab; manuskrip terkonfirmasi adalah karya Ibn 'Inabah yang
lain (lihat: Hasan Assagaf, 9, 13). Menurut al-Zirakli, Ibn
'Inabah bahkan memiliki tulisan khusus pohon keluarga
Ba'alwi yang tersimpan di Maktabah al-Husaini di Tarim
(Zirakli, I, 176-177).
Logika di atas penting sebab beberapa ahli nasab ternyata
memiliki karya lain tentang nasab. 'Ubaidili misalnya memiliki
kitab nasab besar bentuk manuskrip, konon isinya mencapai
sepuluh ribu kertas/ lembar ('asyrah alaf waraqah) seperti
keterangan Muhammad al-Kadzim dalam notasinya terhadap
31
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Tahdzib al-Ansab (Ubaidili, 10-11). AI-Umari juga memiliki
kitab nasab dengan metode MB maupun MS selain al-Majdi
(Ridha Kahhalah, VII, 221), demikian pula al-Marwazi memiliki
kitab nasab selain al-Fakhri (lbn al-Sa'i, 2009, 305). Dengan
begitu, mencari seorang tokoh harus dilihat di karya lain ahli
nasab maupun ulama lain yang terkait nasab; hadis maupun
sejarah agar saling melengkapi.
Penyebab lainnya, banyak kitab masih dalam bentuk
manuskrip atau bahkan telah hilang. Saat memberi notasi di
kitab al-Suluk karya al-Janadi/al-Jundi (tepatnya al-Janadi), al
Hawali menyatakan di antara karya yang belum diperoleh alias
raib sampai hari ini yaitu Dzail dari kitab Ibn Samurah (w. 586
H) karya al-Hasan bin Ali al-Humairi (w. 667 H) (al-Janadi,
1995, II, 22). Ini hanya salah satu contoh, mengapa tulisan
Menakar terburu-buru berkonklusi?
Kelima, situasi politik dan kondisi Yaman abad 5-7 H yang
berganti-ganti kekuasaan dan aneka aliran Islam seperti
ilustrasi al-Hawali adalah situasi yang tidak kondusif, bahkan
al-Janadi sendiri alpa menulis bagian tertentu dari kekuasaan
bani Hamdani dan tokoh Zaidiyah (al-Hawali dalam al-Janadi,
I, 15, 30, 32-34; II, 20-21). Keterangan ini memperkuat bahwa
bani 'Alwi tidak disebut misalnya dalam Tharfah al-Ashab
karya Umar bin Yusuf ibn Rasul (w. 648 H) sebab Ba'alwi
berada di wilayah kekuasaan keluarga Rasyid yang bermusuhan
32
Jafar Assagaf | 2023
dengan keluarga Ibn Rasul (Hasan Assagaf, 16-17). Meskipun
demikian, Abbas bin Ali (w. 778 H) keluarga Ibn Rasul lainnya
mencantumkan nama kakek Ba alwi yaitu Abdullah/
Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir dan menyebut nasabnya
sampai ke Ali bin Abi Thalib, saat memaparkan tokoh hadis
Abu Jadid Baʻalwi (Abbas, 2004, 460).
4. Bagaimana Mengkonfirmasi "Ubaidillah sebagai
Anak al-Muhajir?
Bahauddin Muhammad Yusuf al-Janadi (w. 730/2 H);
ulama abad 7-8 ini menulis nama Abdullah/'Ubaidillah bin
Ahmad al-Muhajir dalam al-Suluk fi Thabaqah al-'Ulama wa al
Muluk saat menjelaskan nasab Abu Jadid:
(al-Janadi, I, 135-136)
"...dan aku suka untuk menyertakan bersama mereka, orang
orang yang mendatanginya (madrasah ummu sulthan) dan
belajar di dalamnya. Dan mereka sekelompok orang dari
tingkatan pertama. Sebagian dari mereka yaitu Abu al-Hasan
Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Hadid (Jadid) bin Ali bin
Muhammad bin Hadid (Jadid) bin Abdullah bin Ahmad bin 'lsa
33
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
bin Muhammad bin Ali bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al
Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib
karramallahu wajhahu, dan (dia Abu al-Hasan; Ali) dikenal
dengan syarif Abi al-Hadid (Jadid) di masyarakat Yaman,
aslinya dari Hadramaut dari (keluarga) asyraf. Disana mereka
senantiasa dikenal dengan keluarga Abi Alwi; rumah (tempat)
kedamaian dan ibadah di atas jalan tasawuf"
Data ini otomatis meruntuhkan pernyataan kalau
Abdullah baru muncul setelah 543 tahun sejak wafatnya
Ahmad bin Isa (Menakar, 16). Jika dinyatakan kitab al-Janadi
bukan kitab nasab maka inilah kekeliruan Imad mengalpakan
kebiasaan ulama hadis, sejarah dan nasab yang saling berbagi
dan memfungsikan data di antara mereka. Al-Janadi adalah
pakar sejarah Yaman, maka sangat representatif jika dia
berbicara tentang periodisasi (thabaqah) tokoh dan kawasan
itu; buldan dan autha.
Saat menyebut Abi Jadid aslinya bernama Ali, tertulis ya;
Hadid dengan la adalah bentuk tashif, kekeliruan dalam
penulisan huruf yang telah dikenal ulama hadis, sejahrawan
dan nasab (al-Sakhawi, 1426 H, II, 456, 463-464), seharusnya
yi; Jadid dengan , Konfirmasi penulisan Jadid dilihat
dalam: (1) karya al-Janadi sendiri, di bagian lain ia sebut Abu
Jadid dan kadang hanya Jadid: Sij'y aüge is
y
s (1, 375; II, 463); (2) urutan nasab Abu Jadid
34
Jafar Assagaf | 2023
dalam al-Janadi dan al-Khazraji (w. 812 H) (II, 1486) sama
persis dengan nasab yang Imad kutip (Menakar, 12) dari
Kadzim (1419 H, 53) jadi bukan orang yang berbeda; (3)
keterangan Ibn Nuqthah (w. 629 H):
(27,2,hi l) 4sy l y eyalyayiall a,äll s
"dan Abu Jadid ahli Fiqih orang Yaman, aku melihatnya di
Haram (Mekkah), dan manusia mengambil berkah dengannya"
Ungkapan Ibn Nuqtah (w. 629 H) ini menegaskan tiga hal:
kesatu, Abu Jadid selain dikenal ahli hadis juga sebagai ahli
fiqh Yaman, kata faqih sebab beberapa keluarga Abu Alwi saat
itu dikenal ahli fiqh (al-Janadi, II, 136-137, 333; al-Khazraji,
III, 1486-1487); kedua, penggalan kalimat 4 Js Jis ly
merujuk kemasyhuran Abu Jadid; karena ilmu sekaligus
nasabnya maka orang-orang bertabarruk kepadanya; ketiga,
ungkapan ay i Ibn Nuqthah mengkonfirmasi dengan jelas
bahwa terkonfirmasi Abu Jadid hidup di abad 6 H; + 550/570
sampai 620 H dan pernah ke Mekkah. Berarti sesuai data dari
al-Janadi (I1, 137), al-Khazraji (III, 1477-1478) dan sumber
khusus tentang orang yang pernah ke Mekkah dalam al-Fasi al
Makki (w. 832 H) (V, 304-305).
Penjelasan bagian 4 ini, menunjkkan moyang Abu Jadid
ada yang bernama Abdullah/Ubaidillah anak dari Ahmad al
35
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Muhajir. Metode konfirmasinya dengan:
Pertama, riwayat lisan dan catatan keluarga Ba 'alwi.
Riwayat lisan dan catatan keluarga Ba'alwi saat itu sampai
kini tentang nasab mereka yang terkonfirmasi melalui ahli
hadis, sejahrawan dan ahli nasab. Jarak hidup Abu Jadid lahir
di antara tahun 550 H dengan 570 H dan wafat 620 H ke masa
Abdullah/Ubaidillah bin Ahmad bin Isa (w. ± 383 H) berkisar
160-180 tahun terkonfirmasi melalui ahli hadis, dan sejarawan
yang memiliki perhatian pada nasab seperti Ibn Nuqthah, al
Janadi dan lainnya. Di sini berlaku metode Musyajjarah (MS)
mirip isnad dalam hadis. Bila Imad dan Safiq keberatan, secara
tidak langsung juga keberatan dengan pola isnad hadis di abad
1-3 bahkan sampai abad 6 H seperti karya Ibn 'Asakir (w. 571
H). Artinya tulisan menakar menyetujui pendapat orientalis
misalnya Joseph Schacht (w. 1969 M) yang tidak mempercayai
isnad hadis sampai ke Nabi suci saw melalui periwayatan lisan
terpercaya berdasarkan kaedah ilmu hadis.
Riwayat terkonfirmasi dipakai untuk menukil dan
menceritakan sebagian besar nama sahabat Nabi suci saw
padahal mereka baru muncul dalam kitab di tahun 210-220 H
atau setelah abad itu. Karya Ibn Sa'ad (w. 230 H) misalnya
berisi nama-nama sahabat, padahal jarak masa aktif Ibn Sa'ad
(+198-220 H) menulis dengan sahabat sekitar +110-140 tahun.
36
Ja far Assagaf | 2023
Dari mana asal informasi sahabat yang tertera dalam Thabaqat
al-Kubra? Dipastikan melalui riwayat (isnad) dan catatan
terkonfirmasi saat itu, tidak harus kitab/buku. Apakah nama
nama sahabat yang baru muncul di karya Ibn Sa'ad adalah
rekayasa?
Tegasnya, setelah masa aktif Ibn Saʻad sampai +350-380
H, Ibn Mandah (w. 395 H) memunculkan nama Humaid bin
Abd Yaghuts al-Bakri (2005, 449) yang tidak ada di Ibn Sa'ad.
Berarti ±140-170 tahun kemudian nama tersebut baru muncul.
Atau Basyir bin Mu'awiyah; Abu 'Alqamah al-Najrani baru
disebut oleh al-Hakim (w. 405 H) (bn Hajar, I, 446) setelah
+150-185 tahun. Demikian pula sahabat Bakar bin Abdullah
bin Rabi' di karya Abu Nu'aim (336-430 H) (1998, I, 441)
muncul setelah +180-210 tahun, dihitung dari masa aktif Ibn
Sa'ad dengan tiga ulama tersebut.
Akan semakin menarik tokoh yang tidak ada dalam kitab
sejarah awal, lalu muncul di beberapa abad setelahnya.
Tegasnya, al-Ajdzam bin Tsa labah bin Mazin baru disebut Ibn
al-Atsir (w. 630 H) saat menulis nasab keluarga al
Ajdzami/il (1980, 1, 29), sementara al-Sam'ani (w. 562 H)
tidak mencantumkan dalam karyanya, kecuali di catatan kaki
masa kini dari Abd Rahman al-Yamani (w. 1386 H) dan kawan
kawan (al-Sam ani, I, 117). Memang Ibn Hazm (w. 456 H) telah
menyebut nama al-Ajdzam saat membeberkan nasab Tsa'labah
37
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
bin Salamah turunan dari al-Ajdzam (lbn Hazm, 1962, 419),
tapi penyebutan itu dalam konteks merunut nasab dan kiprah
Tsa'labah sebagai penguasa, dan bukan dalam rangka
menyebut nisbah al-Ajdzami untuk al-Ajdzam.
Tsa'labah disebut tanpa nasabnya ke al-Ajdzam bin
Tsa'labah dalam karya Abu al-Qasim al-Mishri (w. 257 H)
(1415 H, 250) di kisaran tahun 217-250 H. Perlu diketahui
Tsa'labah dimaksud adalah anak dari Salamah bin Jahdam bin
Amr bin al-Ajdzam bin Tsa'labah bin Mazin (Ibn Hazm, 419).
Jadi Tsalabah bin Salamah adalah turunan keempat dari al
Ajdzam bin Tsa'labah. Itu berarti nama al-Ajdzam; moyang
dari Tsa'labah baru muncul +197-200 tahun dihitung dari masa
aktif menulis antara Abu al-Qasim dengan Ibn Hazm 414-450
H. Apalagi jika dibedakan antara al-Ajdzamil ais dengan al
Judzami/il maka penisbahan kepada keluarga al-Ajdzami
baru muncul +370-400 tahun dari masa Abu al-Qasim tersebut
ke masa aktif Ibn al-Atsir +585-620 H, (lbn al-Atsir, I, 29, 265),
sementara Abu Qasim menyebut al-Judzami sebagai nisbah
Tsa'labah bin Salamah (al-Mishri, 251). Baik yang
membedakan maupun menyamakan antara Al-Ajdzami dengan
al-judzami sebagai nisbah tetap menunjukkan sejarah awal
sampai abad 5 H; masa Ibn Hazm, nama al-Ajdzam baru
muncul lengkap dengan nasabnya saat memaparkan Tsa'labah
bin Salamah.
38
Ja'far Assagaf | 2023
Keseluruhan point pertama ini menegaskan kemiripan
metode sejarawan, ahli nasab dan ahli hadis saat
mengkonfirmasi sebuah data di masa lalu, yaitu antara metode
MS dalam nasab dan metode isnad dalam ilmu hadis maupun
sejarawan. Konteks ini terjadi di rentang 160-180 tahun antara
Abu Jadid dengan Ubaidillah; Abu Alwi, maka ulama seperti al
Janadi dan lainnya menilai telah terkonfirmasi dengan adanya
riwayat terpercaya dan catatan keluarga Ba'alwi saat itu, yang
sampai kini masih ada di Hadramaut.
Kedua, popular/masyhur.
Ungkapan;
dari al-Janadi dan lainnya menunjukkan kepopuleran keluarga
Abu (ayah) 'Alwi sudah dikenal sebelum kehadiran Abu Jadid.
Artinya melalui Abu Jadid kemasyhuran keluarga Ba'alwi
bertambah dan semakin dikenal. Hal ini juga diperkuat saat al
Janadi menyebut Muhammad bin Ali dikenal Shahib al
Mirbath, wafat pada 556 H (al-Janadi, II, 463; Ba'dzib, 2009, I,
292-293). Berarti sebelum Abu Jadid penggunaan istilah bani
Alwi dan semisalnya telah popular. Kepopuleran ini semakin
kuat sebab tahun wafat tokoh Baalwi banyak terdeteksi dan
dikutip ulama nasab modern Mahdi Raja'i (, 432-461)
sementara terhadap turunan Ali bin Abi Thalib lainnya;
39
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Alawiyyin yang non Ba'alwi di Irak dan lainnya, ia tidak
memiliki data tahun wafat mereka sedetail data tahun wafat
Ba alwi dalam al-Mu 'qibun jilid I-II.
Ketiga, kesaksian.
Pakar sejarah Bamakhramah (w. 976 H) mengutip al
Khatib Abd Rahman (w. 850/5 H) menginfokan kedatangan
Ahmad al-Muhajir ke Hadramaut nasabnya tidak diingkari oleh
penduduk setempat. Setelah berlalu beberapa masa yang lama,
penduduk setempat ingin agar ada penguat untuk nasab
mereka. Maka Abu Jadid ke Basrah dan memperoleh
pengakuan nasab mereka dari qadhi. Beberapa saksi dari
Basrah yang akan pergi menunaikan ibadah haji dihadirkan
untuk menyaksikan penetapan qadhi. Sementara penduduk
Hadramaut berhaji menanti (di Mekkah) informasi dari saksi
saksi Basrah. Setelah selesai berhaji, mereka yang berasal dari
Hadramaut kembali dan menginfokan tentang hal tersebut
kepada penduduk di sana (Bamakhramah, 2008, II, 619).
Sejarah di atas menjelaskan: (1) ada pengakuan ulama
setempat tentang nasab Ba'alwi, di antaranya Muhammad bin
Abi al-Hubb (w. ± 611 H), al-Yafi'i (w. 768 H), Ibn al-Hassan
(w. 818 H) dan lainnya (Bamakhramah, 2008, II, 619); (2)
Bamahkramah menukil dari al-Jauhar al-Syafaf karya al-Khatib
al-Hadrami (manuskrip terkonfirmasi, lihat: al-Bagdadi, I, 526;
40
Jafar Assagaf | 2023
Kahhalah, V, 178; Abd al-Nur, 2014, 1-240); keduanya bukan
turunan Ali menunjukkan informasi itu semakin dipercaya; (3)
ada komunikasi antara turunan Ahmad al-Muhajir baik dari
Muhammad di Basrah maupun dari 'Ubaidillah di Yaman.
Kesaksian Abu Jadid diterima, selain dia ahli hadis (al-Janadi,
II, 136-137) juga dugaan kuat ada turunan Ahmad al-Muhajir
lainnya di Basrah, terutama dari Muhammad bin Ahmad al
Muhajir yang ikut bersaksi.
Analisis tersebut melalui data 'Ubaidili dan lainnya bahwa
Muhammad bin Ahmad bin 'Isa meski di Ray, tetapi ia
memiliki turunan yang berpindah ke Basrah bergelar Abu Ja'far
al-A'ma (buta), namanya Muhammad bin Ali bin Muhammad
bin Ahmad al-Muhajir (Ubaidili, 177). al-'Umari
menambahkan kalau Abu Ja'far; Muhammad bin Ali memiliki
anak bernama al-Hasan bergelar Abu Muhammad al-Dallal 'ala
al-Daur ada di Bagdad. Lalu Abu Muhammad ini memiliki
turunan lagi (al-Umari, 141). Menunjukkan turunan
Muhammad bin Ahmad al-Muhajir ada di kota Basrah dan
Bagdad, maka tidak sulit bagi Abu Jadid mengkonfirmasi ke
turunan Muhammad bahwa dia turunan 'Ubaidillah
saudaranya Muhammad dengan berbagai catatan saat itu,
sehingga qadhi di Basrah dapat menerima kesaksian mereka
semua.
41
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Keempat, pernikahan.
Terlepas dari model pernikahan endogami dan eksogami
dalam fiqh. Lebih dari satu milenium terhitung sejak
'Abdullah/Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir wafat, keluarga
Ba'alwi di Hadramaut dan tempat lainnya melakukan kawin
mawin dengan turunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Contoh
paling empiris sampai hari ini yaitu marga al-Hasani, bin
Syu'aib al-Hasani, Abu Numay al-Hasani, dan lainnya yang
sebagian ada di Indonesia. Mereka bukan Ba'alwi meski sayyid,
akan tetapi mereka melangsungkan pernikahan dengan
turunan "Ubaidillah; Abu Alwi.
Bila Ubaidillah moyang dari semua Ba'alwi bukan berasal
dari Husein bin Ali bin Abi Thalib, mungkinkah turunan Hasan
bin Ali bin Abi Thalib di atas sejak dahulu sampai kini
mempercayakan anak perempuan mereka kepada lelaki
Ba'alwi? ini adalah bukti kemasyhuran bahwa Ba'alwi adalah
turunan al-Muhajir dari Ubaidillah yang nyata namun tulisan
Menakar coba mengabaikannya. Tak heran syarif Muhammad
Hamzah al-Kattani al-Idrisi al-Hasani (sayid non Baʻalwi)
menulis al-Summ al-Zu'af li Shahib Kitab al-Ittihaf al-Tha in fi
Nasab al-Hasyimi li bani 'Alwi wa al-Saqqaf, untuk membantah
Murad Syukri yang menolak nasab Ba'alwi.
42
Jafar Assagaf | 2023
Kelima, bukti arkeologi.
Di Husaisah Hadramaut terdapat kuburan Ahmad bin 'Isa
dan anaknya Abdullah/Ubaidillah sampai sekarang. Selain itu,
sejak Ahmad wafat sampai abad 10 H terdapat masjid dan
bernama Ahmad al-Muhajir (Bamakhramah, II, 618)
bahkan sampai sekarang masih ada.
Lima hal tersebut di atas telah lebih dari cukup memenuhi
persyaratan sebuah nasab dinilai sah menurut Raja'i, yaitu: (1)
catatan nasab yang diketahui penulisnya lalu diakui oleh ahli
nasab; (2) kesaksian secara syar'i; (3) diketahui dua orang
memiliki hubungan sebagai ayah dan anak dan secara logika
dapat diterima; (4) orang/komunitas telah masyhur dikenal
siyadahnya (Raja'i, I, 12-13).
5. Framing dan Kekeliruan Lainnya
Terdapat beberapa framing dan kekeliruan lainnya di
tulisan Menakar, yaitu:
a. Sebutan Abu Alwi, Bani Abu Alwi, Bani Alwi
Mengutip Kadzim abad 9 H dan Samarqandi abad 10 H,
Imad mencoba menframing 3 hal (Menakar, 12-17):
Pertama, antara abu Alwi, bani Abu Alwi dengan bani Alwi.
Kadzim menulis:
43
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
sal,
ad diterjemahkan "Maka dari
Kalimat
keturunannya di sana adalah Sayid Abul Jadid" sementara
kalimat de s e ai yi ad diterjemahkan "dari
keturunan al-Jadid ini adalah bani Abu Alwi, yaitu Abu Alwi
bin Abul Jadid (Menakar, 12-13). Kata « yà kembali Abu Jadid
berarti ia memiliki turunan bernama Abu Alwi dan kata saly
kembali ke turunan Ahmad al-Muhajir, di mana Abu Jadid
salah satu turunannya.
Analisis di atas kurang tepat sebab kutipan tersebut
khususnya kata i masih dalam konteks pembicaraan Ahmad
bin Isa, sehingga kalimat a s j berarti maka dari
turunannya (Ahmad) di sana (Hadramaut) dan penggalan
$ sle s ssýsle iå aiy j maka dari turunannya (Ahmad) di
sana (Hadramaut, ada) turunan dari ayah Alwi/bani Abu Alwi
dan dia (Abu Jadid) termasuk (turunan) ayah Alwi/Abu Alwi.
44
Ja'far Assagaf | 2023
Terjemahan ini berdasar dua hal: (1) sebutan Abu Alwi
bukanlah gelar khusus Abu Jadid atau nama anaknya
melainkan sebutan untuk semua anak cucu
Abdullah/ Ubaidillah bin Ahmad yang bergelar Abu Alwi. Hal
ini dibuktikan dengan ungkapan al-anadi (lihat pula lI, 136):
(al-Janadi, II, 463) lye jall j
äiay laaä
"dan dari rumah (keluarga) Abi/Ayah Alwi telah lewat
penyebutan sebagian mereka saat menyebut Abi Jadid bersama
dengan mereka yang datang ke Ta'izz. Dan mereka (keluarga
ayah Alwi) adalah rumah kebaikan, jalan (thariqah tasauf) dan
nasab. Di (keluarga) mereka ada sekelompok (ahli ilmu)
diantaranya Hasan bin Muhammad bin Ali Ba'Alwi (keluarga;
turunan Alwi bin Abdullah bin Ahmad), dia faqih, hafal al
Wajiz karya al-Ghazali secara ghaib (tanpa melihat)y"
Dua teks di atas menegaskan: (a) sebutan Abu Alwi, begitu
pula bani Abu Alwi dan Ba'alwi adalah sama, sebab beberapa
orang disebut terlebih dahulu saat menyebut Abu Jadid berasal
dari satu keluarga yaitu ayah Alwi (Abu Alwi), sekaligus
menyebut Hasan sebagai Ba alwi berarti dia adalah
keluarga/turunan Alwi anak dari Abdullah dan Abdullah ini
bergelar Abu Alwi. Berarti istilah abu Alwi, bani Abu Alwi dan
Baʻalwi adalah sama; (b) saat Abu Jadid disebut bersama
beberapa orang keluarga ayah/Abu Alwi menunjukkan kata
45
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Abu Alwi itu bukan anak Abu Jadid melainkan istilah yang
popular saat itu untuk semua turunan Abdulah bin Ahmad.
Baik sebelum maupun sesudah Abu Jadid. Kata al-Janadi, syarif
Abu Jadid berasal dari asyraf di Hadramaut, disana mereka
dikenal sebagai keluarga Ayah/Abu Alwi (al-Janadi, I, 136)
menegaskan istilah Abu Alwi untuk semua turunan Abdullah
bin Ahmad al-Muhajir. al-Sakhawi menambahkan:
(al-Sakhawi, IV, 304 )
e yi ad y peia
"dan (Abdul Kabir bin Abdullah al-Anshari lahir 794 H)
bertemu dengan sekelompok (ulama) seperti (keluarga yang
bergelar turunan) ayah Alwi (di antara mereka itu) Abd
Rahman al-syarif, Abu Bakar, Umar dan Abu Hasan, dan setiap
mereka dikatakan baginya (dari keluarga) Ayah/Abu Alwi"
Kalaupun kalimat ýle si i i jd tetap dipahami
bahwa turunan Abu Jadid yaitu anak cucu ayah Alwi (banu Abi
Alwi), ini pun tidak keliru sebab turunan Abu Jadid (jika masih
ada sampai abad 8), juga turunan ayah Alwi alias Abdullah bin
Ahmad al-Muhajir melalui anaknya bernama Jadid saudara
Alwi. Bukankah dapat ikatakan pada seseorang dari turunan
Husein bin Ali bahwa dia turunan Abi/ayah al-Hasan ( e
l ), yakni ia anak cucu dari ayah Hasan alias Ali tapi
bukan turunan Hasan, melainkan turunan Ali melalui Husein.
Adapun kalimat yia G ses terkesan Abu
46
Jafar Assagaf | 2023
Alwi anak Abu Jadid bin Ali, padahal itu dipastikan tahrif;
kekeliruan penulisan khususnya kata bin pada Abu Jadid
maupun bin pada Ali. Sebab Abu Jadid adalah gelar dari Ali
sendiri dan bukan anak dari Ali. Pernyataan ini diperkuat para
ahli sebelum dan sesudah Kadzim menyebutkan nasab Abu
Jadid yang juga bergelar Abu al-Hasan yaitu Abu Jadid
bernama Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid (al-Janadi,
I, 135-136; al-Khazraji, I, 1486; Bamakhramah, V, 78).
Keseluruhan penjelasan di atas menegaskan istilah abu
Alwi dan bani abu Alwi dinisbahkan kepada semua turunan
Abdullah bin Ahmad bin Isa melalui tiga anaknya yaitu Alwi,
Bashri dan Jadid (datuk ke 7 dari Abu Jadid). Buktinya lainnya
disebut Muhammad Shahib al-Mirbath adalah turunan Alwi
bin Abdullah bin Ahmad yang lebih dahulu zamannya dari Abu
Jadid turunan dari Jadid bin Abdullah bin Ahmad, keduanya
disebut dalam keluarga besar Abu Alwi (al-Janadi, II, 463;
Ba'dzib, I, 292-293). Sementara bani Alwi secara khusus nisbah
kepada semua turunan Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Isa
termasuk Ba alwi I-IIl. Jadi apakah masih rumit? kecuali Imad
awam terhadap ilmu asma wa a-kuna, alqab dan anshab.
Kedua, anak Abdullah bin Ahmad bin Isa adalah Abu Jadid?
Imad menulis: "Dalam an-Nafhah disebutkan Ahmad
bin Isa mempunyai anak bernama Abdullah dan Abdullah
47
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
mempunyai anak bernama Abul Jaded yang nanti akan
menurunkan Abu Alwi" (Menakar, 16) padahal dalam kitab
tersebut tidak disebutkan Abu Jadid bin Abdullah melainkan
Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa (Kadzim, 53) kalau yang
dimaksud kata anak adalah turunan maka mengapa ada
kalimat 'Abu Jadid yang nanti akan menurunkan Abu Alwi
artinya tulisan Imad keliru dilihat dari kata anak pada kalimat
'Abdullah mempunyai anak bernama Abul Jaded' menunjukkan
anak langsung dan bukan turunan. Hal ini menambah
keawaman Imad tentang nasab sehingga terjadi isytibah.
Karena dalam nasab Abu Jadid ada dua orang bernama Jadid
yaitu Jadid bin Ali dan Jadid bin Abdullah dan satu bergelar
(kunyah) Abu Jadid, yaitu Abu Jadid sendiri yang bemama Ali
bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Ali bin Muhammad
bin Jadid bin Abdullah/Ubaidillah bin Ahmad bin Isa.
Ketiga, nukilan dari Tuhfah al-Thalib.
Saat membicarakan turunan Abdullah bin Ahmad bin Isa,
Imad menframing: "kitab Tuhfatuttolib menyebutnya Bani
Alwi tanpa abi" (Menakar, 15). Ternyata di halaman kitab
tersebut tidak ada kata bani Alwi, melainkan kalimat il aye sli
lsas sy $ses le (Samarqandi, 1998, 77) artinya maka
Abdullah menurunkan anaknya bernama Alwi dan Alwi
menurunkan anak bernama Muhammad. Jadi halaman kitab itu
48
Ja'far Assagaf | 2023
tidak menyebut bani Alwi. Adapun tentang bani Alwi telah
dijelaskan di poin pertama beserta sinonimnya.
b. Ungkapan Secarik, Sepotong Kertas
Kalimat Gli 'ay (Samaraqandi, 76) menurut Imad
tidak bisa dipakai sebagai dasar Abdullah adalah anak Ahmad
bin Isa lantaran penulis Tuhfah al-Thalib tersebut menemukan
sebuah ta liq yaitu catatan santri pada sebuah kitab ketika
mengaji di hadapan guru. Atau bersyahidkan ta'liq sepotong
kertas menurut pengakuan penulis kitab, atau secarik kertas
(Menakar, 14-15, 17). Seolah-olah Samarqandi hanya melihat
satu ta liq. Interpretasi ini keliru dari tiga aspek:
(1) Kata wi (sebagian) yang di-idhafahkan pada lai
(beberapa catatan) artinya beberapa catatan (ta'liq) telah
Samarqandi baca, jadi bukan secarik kertas saja. Ini dari aspek
tekstual. Dari aspek kontekstual, Samarqandi telah
mempelajari beberapa catatan yang berisi pendapat para ahli
di bidangnya tentang Abdullah anak dari anak Ahmad bin Isa
al-Muhajir. Kata sebagian catatan disertai nama 9 ulama
menunjukkan catatan itu tidak tunggal.
(2) Samarqandi menyebut 9 ulama ahli di bidangnya mengakui
Abdullah anak Ahmad bin Isa, termasuk Ibn Samurah dan al
49
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Janadi. Apakah Samarqandi begitu bodoh sehingga tidak
memeriksa satu pun karya mereka lalu tiba-tiba berpegang
dengan secarik kertas? Tentu tidak logis, ia pasti meng-kroscek
karya mereka sebab ia ahli nasab. Selain itu, ada pembacaan
Samarqandi melalui logika sejarah yang terintegrasi dengan
catatan valid keberadaan turunan Ahmad bin Isa dan anaknya
Abdullah di Hadramaut. Analisis ini berdasar misalnya
pertalian konektivitas yang telah Samarqandi peroleh melalui
data empiris Ibn Samurah (w. 586 H) menyebutkan
Muhammad bin Said al-Quraizhi (w. 576 H) (bn Samurah,
t.th, 225) dengan al-Janadi menulis Abu Jadid menyebut
Syeikh Rabi' Shahib al-Ribath mimpi bertemu Nabi suci saw
pada tahun 596 H yang menyebut keistimewaan karya al
Quraizhi (al-Janadi, I, 375). Berarti Samarqandi menganalisis
Galai iy data dari 9 ulama, dalam contoh ini yaitu pertalian
murid Abu Jadid, gurunya Syeikh Ribath yang sezaman dengan
al-Quraizhi maupun Ibn Samurah.
(3) Imad berkata: "penulis Tuhfah belum membaca atau tidak
mempunyai kitab as-Syajarah al-Mubarakah yang ditulis Ar
razi" (Menakar, 15) justru penisbahan kitab al-Syajarah al
Mubarakah kepada 'Razi' masa itu memang tidak ada seperti
yang akan dijelaskan, maka Samarqandi, Kadzim, Ibn Inabah
tidak menyebut apalagi merujuknya.
50
Jafar Assagaf | 2023
Tentang Bashri bin Abdullah/'Ubaidillah bin Ahmad
C.
Keawaman Imad terhadap referensi nasab dan sejarah
ulama Yaman makin nampak saat mempertanyakan Bashri dari
mana tambahan itu, sebagai anak Abdullah bin Ahmad. Hal ini
terjadi karena ia menframing kalau Bashri baru dimunculkan
oleh al-Masyhur abad 14 H (Menakar, 16). Padahal nama
Bashri telah disebut oleh al-Khatib (w. 850/5 H) dan dinukil
Bamakhramah (w. 947 H) bahwa salah satu turunan Bashri
bernama Salim (w. 604) disertai syair kecintaan Muhammad
bin Ahmad Ibn Abi al-Hub (w. 611 H) kepada Salim. Ibn Abi al
Hub ini pula yang menulis surat kepada Abu Jadid agar segera
kembali ke Hadramaut saat saudaranya bernama Abdullah
wafat (Bamakhramah, V, 18-20, 78-80).
d. Penyebutan al-Umri, lbnu Anbah atau al-Umari dan
lbnu 'Inabah?
Imad menyebut al-Umri berulang kali sebagai nisbah
untuk ahli nasab bernama Najmuddin Ali bin Muhammad
pengarang al-Majdi fi Anshab al- Thalibin (Menakar, 9). Padahal
ahli nasab tersebut bernisbah kepada Umar al-Athraf bin Ali
bin Abi Thalib melalui Abdullah bin Muhammad bin Umar
tersebut, maka Najmuddin dinisbahkan sebagai al-'Umari (al
Sam ani, IX, 371; Ibn al-Atsir, I, 359) dan bukan al-Umri.
Kekeliruan juga terjadi berulang kali saat Imad menyebut Ibn
51
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Anbah pengarang Umdah al-Thalib (Menakar, 12, 14) bernama
Jamaluddin Ahmad bin Ali al-Hasani (w. 828 H). Padahal yang
tepat adalah Ibn Inabah (al-Zirakli, I, 177).
Dua contoh di atas mungkin kesalahan biasa bagi pemula
dalam ilmu nasab, namun fatal bagi yang merasa menguasai
ilmu ini. Meski masih terbuka peluang jika ada keterangan
terkonfirmasi dari ahli dan mengindikasikan Najmuddin al
'Umari dan Ibn 'Inabah memiliki lebih dari satu bacaan dalam
nisbah, panggilan, nama maupun gelar.
###
52
Jafar Assagaf | 2023
C. KITAB AL-SYAJARAH AL
MUBARAKAH
Dalam al-Syajarah al-Mubarakah tertulis anak Ahmad al
Abah tiga orang yaitu Muhammad, Husein dan Ali. Imad lalu
menyatakan Imam Al-Fakhrurazi tegas menyebutkan bahwa
Ahmad al-Abh bin Isa al-Muhajir hanya mempunyai anak tiga,
dan tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah (Menakar, 10).
Pertanyaan akan muncul apakah kitab ini berbicara anak
Ahmad al-Muhajir atau anak Ahmad al-Abah, apakah
keduanya sama? Namun yang paling substansi apakah al
Syajarah al-Mubarakah adalah karya al-Razi Sunni (w. 606 H)?
Sangat diragukan penisbahan al-Syajarah al-Mubarakah
kepada al-Razi Sunni karena lima alasan:
Pertama, Tidak ditemukan kitab rijal dan indeks yang
karya
menyatakan al-Syajarah al-Mubarakah adalah
Fakhruddin al-Razi, kecuali keterangan Ayatullah Mar'asyi (w.
1411 H/1990 M) saat memberikan pengantar di kitab al-Fakhri
(13-14) lalu Mahdi Rajai mengikutinya (Razi', 1419 H, 8, 11
12). Hal ini sangat penting, sebab kemasyhuran kitab tersebut
tidak pernah didengar oleh ulama, baik semasa maupun
53
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
setelah al-Razi. Maka al-Syajarah diragukan setidaknya bagi
ulama Sunni. al-Qusthanthini (w. 1067 H) pernah menyebut
kitab Bahrul Anshab karya al-Razi (1994, I, 223; al-Alwani,
2010, 201) namun kitab ini termasuk dalam deretan kitab yang
diragukan sebagai karya al-Razi Sunni (al-Zarkan, t.th, 118,
130). Jika berasumsi al-Syajarah adalah nama lain dari Bahrul
Ansab maka jelas tidak tepat sebab kedua jenis kitab nasab ini
berbeda. Atau al-Syajarah al-Mubarakah yang ada sekarang
dengan metode MB adalah cuplikan yang telah disensor' dari
Bahrul al-Anshab (al-Zarkan, 130) yang kemungkinan ditulis
dengan metode MS? ini pun agak sulit diterima sebab al-Razi
Sunni merasa berat model penulisan nasab metode MS saat ia
belajar nasab di akhir hidupnya (al-Hamawi, lI, 654). Ketiadaan
informasi yang masyhur terkonfirmasi tentang al-Syajarah al
Mubarakah karya al-Razi Sunni sebenarnya
telah
dieksplisitkan oleh Mahdi Raja'i:
(Razi', 11-12) 4yle lyic Yyis lia al allsys
"dan mereka tidak menyebutkan (dalam) kitab-kitab induk
biografi tokoh tentang kitab ini dan mereka tidak
mengetahuinya"
Kedua, tidak ada pendahuluan dari 'Razi' dalam kitab al
Syajarah al-Mubarakah yang Mahdi Raja'i cantumkan seperti
kitab-kitabnya yang lain bahkan dalam bentuk manuskrip
54
Ja'far Assagaf | 2023
sekalipun. Manuskrip yang ada langsung ke isi kitabnya.
Padahal Raja'i menyebutkan bahwa akhir kitab al-Syajarah
tertulis berasal dari Razi (Razi, 12) maka mengapa tidak
menampilkan manuskrip bagian itu? Sebab kalau tidak, maka
dari mana diketahui kalau kitab itu karya al-Razi Sunni?
Konteks ini penting sebab Raja'i pemberi notasinya
menyatakan 'naskah ini ditulis dari naskah yang telah
divalidasi oleh 'Razi". Di bagian lain ia menuliskan 'dan yang
menulisnya Wahid bin Syamsuddin tahun 825 H (Razi', 12
13).
Berarti ada dua naskah, pertama yang telah divalidasi
'Razi' dan kedua yang ditulis oleh Wahid tersebut. Ini menjadi
problem sebab siapa yang menyatakan naskah pertama telah
divalidasi Razi'? jika Wahid yang menyatakan (ni pun tidak
ada keterangan) maka dari mana ia memperoleh informasinya?
dan mengapa naskah yang divalidasi 'Razi' masih ditulis
ulang? Terlebih penulisan itu baru 2 abad setelah akhir abad 6
H. Ketidakjelasan ini juga ditunjukkan langsung oleh Raja'i
saat menyebut perkataan Ibn Khallikan (w. 681 H) tentang
karya al-Razi, salah satunya al-Syajarah al-Mubarakah ('Razi',
10-11). Padahal Ibn Khallikan sama sekali tidak
mencantumkan al-Syajarah tersebut (1971, IV, 249) bahkan di
kitab lain juga tidak ada seperti penjelasan di poin (1).
Ketiga, Desas-desus paling santer yaitu al-Razi tasyayyu
55
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
berasal dari Ibn Thabbakh (w. 622 H) (Ibn Hajar, 2010, IV, 506;
al-Alwani, 2010, 50). Tetapi biografi al-Razi (w. 606 H) dan
karyanya telah popular menurut ulama dia tokoh Sunni. Ibn
Hajar mengemukakan alasan al-Razi kontroversi dalam kalam
dan filsafat namun tetap mengakui aqidahnya masih baik (IV,
504-506) bahkan menggunakan argumentasinya (2000, IX,
320). Al-Razi tidak tasyayyu', dia telah menulis kitab Fadha 'il
al-Shahabah al-Rasyidin, Ishmah a-Anbiya (al-Qifthi, 2005,
221) sebaliknya tidak menulis ishmah imam. Justru dia
menolak argumentasi Syi'ah tentang imamah Ali dan
mengokohkan serta menegaskan Abu Bakar ra khalifah sah dan
sahabat yang paling utama (al-Razi, t.th, 143, 146-152; 1997,
IV, 259-260; tth, II, 263-318).
Bukti sejarahnya, al-Razi menyadarkan orang-orang
Karramiyyah; sekte Murji' ah kembali ke Ahlu Sunnah pasca
595 H (al-Hamawi, 1993, VI, 2586; Ibn Khallikan, IV, 250; Ibn
Atsir 1997, X, 165-166). Bukti empiris lainnya yang tak kalah
kuat, dalam al-Syajarah tertulis <>li l Jác cajll aba
yl sebagai anak Hasan al-'Askariy(w. 260 H) tanpa
menyebut namanya (Razi', 92). Kata caj aa sangat
kontradiksi dengan Sunni yang tidak pernah menyebut apalagi
mengakui Mahdi tersebut adalah yang dimaksud oleh Nabi suci
saw. Kesannya al-Razi Sunni sangat familiar dengan sebutan
tersebut. Kalaupun benar kata itu berasal dari al-Razi Sunni
56
Jafar Assagaf | 2023
tentu dia akan menyebutnya menurut Syi'ah seperti
kebiasaannya. Berikutnya kalimat yl 4o i dl Jáe
semakin kuat bahwa ungkapan itu tidak mungkin keluar dari
orang Sunni, tapi Syi'ah. Apalagi al-Razi Sunni telah
membantah konsep ghaib al-Mahdi Syi'ah (al-Razi, 1420 H, II,
274). Poin ini penting terkait al-Syajarah al-Mubarakah adalah
model kitab nasab Syiah yang berintisab ke 12 imam.
Logikanya al-Razi Sunni akan menulis kitab nasab seperti al
Sam ani dan Ibn al-Atsir. Jadi kitab al-Syajarah al-Mubarakah
karya siapa?
Keempat, Al-Razi telah dikenal sebagai pakar di bidang
teologi, filsafat dan tafsir bi al-ra'yi. Bukan ahli hadis apalagi
ahli nasab, kalaupun kemudian hari dia mempelajari nasab
dapat dibenarkan namun tidak berarti al-Syajarah al
Mubarakah adalah karyanya.
Kelima, al-Razi belajar ilmu nasab di masa akhir
kehidupannya. Al-Razi berkata:
(al-Hamawi, II, 655) 4 Sala
"aku suka engkau (al-Marwazi) mengarang bagiku kitab kecil
(yang bagus) tentang nasab Thalibin (keturunan Abu Thalib)
agar aku bisa mempelajari isinya, maka aku tidak suka (ingin)
saat wafat, aku bodoh (tidak paham) dengannya"
57
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Permintaan al-Razi di atas saat bertemu al-Marwazi di
Marw (9-) dan al-Marwazi mengabulkannya dengan menulis
kitab al-Fakhri dengan metode MB agar al-Razi dapat
memahaminya dengan baik (al-Hamawi, II, 654). Ini antagonis
dengan pengakuan Raja'i yang menyatakan kitab al-Syajarah
al-Mubarakah selesai ditulis tahun 597 H (Razi', 12). Mengapa
antagonis?
Sebab al-Razi belajar ilmu nasab setelah ia di kota Marw.
la menyebut dirinya aa meski bukan berarti tidak tahu sama
sekali, tapi ia memang tidak paham seluk beluk ilmu nasab.
Saat menuju Bukhara dan melewati beberapa daerah belakang
Sungai/Transoksiana; Kazahstan, Turkmenistan, Uzbekistan,
dan lainya di masa kini, al-Razi singgah di Sarkhas antara
Naisabur dan Marw pada 580 H (bn Ubri, 1992, 240; al
Alwani, 75; al-Hamawi, 1995, 3, 208) itu berarti ia tidak
mungkin bertemu al-Marwazi di 580 H, sebab al-Marwazi lahir
572 H (al-Hamawi, 1993, II, 652) dan baru berumur 7-8 tahun
saat itu. Apakah al-Marwazi sudah terkenal sebagai ahli nasab
di umur anak-anak? Tidak mungkin.
Paling logis pertemuan al-Razi dengan al-Marwazi di 600
601 H saat kedua kali al-Razi melewati Transoksiana; dari
Bamiyan menuju di Harat/Herat (kota besar di Khurasan saat
itu) dan dia wafat di sini; desa Muzdakhan (Ibn Qithfi, t.th,
462; al-Hamawi, I, 330). Tentu penulisan kitab nasab al
58
Jafar Assagaf | 2023
Marwazi berjudul al-Fakhriy selesai dan diserahkan kepada al
Razi pasca 601 H. Bahkan Alwi mengutip keterangan sayyid
Muhammad bin Thayyib al-Qadiri al-Hasani bahwa kitab al
Fakhri selesai ditulis pada tahun 606 H saat al-Marwazi
berumur 34 tahun (Alwi, 1968, II, 35). Artinya Marwazi
serahkan kitab al-Fakhri di masa akhir hidup al-Razi. Hal ini
dapat dibenarkan karena ungkapan al-Razi sendiri:
ai
4 ala yl, Lalu kapan al-Razi belajar tentang nasab dan
menulis al- Syajarah al-Mubarakah?
Penjelasan poin (5) otomatis menggugurkan argumentasi
Imad bahwa al-Razi tinggal di Ray Iran saat memperoleh info
jumlah anak Ahmad al-Abah dari keturunan Muhammad bin
Ahmad yang tinggal di Ray (Menakar, 10) karena ternyata ada
turunan Muhammad yang pindah ke Bashrah dan Baqdad
(Ubaidili, 177; al-'Umari, 141) kota awal al-Muhajir sebelum
hijrah ke Madinah lalu Yaman. Ini juga menunjukkan al-Razi
saat masih di Ray belum mendalami ilmu nasab, bagaimana
bisa ia menulis al-Syajarah?
Lima poin di atas jikapun ditolak; harus dengan data dan
argumentasi, maka ada hal terpenting bahwa Raja'i sendiri
tidak berpegang dengan pernyataan 'Razi di al-Syajarah al
Mubarakah mengenai jumlah anak Ahmad al-Abah tiga orang;
Muhammad, Husein dan Ali padahal ia sendiri yang memberi
notasi kitab al-Syajarah. Mengapa? Karena Raja'i dengan pola
59
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
ahli nasab telah memeriksa dan menemukan riwayat dan
catatan terkonfirmasi, serta kemasyhuran saat itu bahwa
Ahmad al-Abah memiliki anak lain bernama
Abdullah/ Ubaidillah (Raja'i, , 419, 432). Ini pun jika
menyamakan Ahmad al-Abah dengan Ahmad bin Isa al
Muhajir.
###
60
Ja tar Assagaf | 2023
D. POLEMIK GELAR AHMAD AL-ABAH
SEBAGAI AHMAD AL-MUHAJIR
Kitab nasab 'Ubaidili (176-177), al-'Umari (141), Ibrahim
Ibn Thabathaba (160) al-Marwazi (29-30), Ibnu Thaqthaqi
(212-213) yang Imad kutip menyetujui Ahmad adalah anak Isa
bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi (Menakar, 8-11). Namun
apakah Ahmad yang dikenal al-Muhajir sama dengan Ahmad
al-Abah? Dalam konteks ini, Ubaidili dan Ibrahim Ibn
Thabathaba menyebut Ahmad anaknya Isa bergelar al-Nuffat,
sementara al-Umari menambahkan dua gelar; laqab al-Abah
dengan kunyah Abu al-Qasim untuk Ahmad tersebut.
Kemudian dikuti oleh al-Marwazi dan Ibn Thaqthaqi.
Hal yang sangat penting kitab 'Ubaidili dan al-Umari di
atas terbit pertama kali tahun 1411 H dan tahun 1409 H
sepanjang penelusuran penulis. Padahal manuskrip kedua
kitab tersebut tidak mencantumkan kata al-Abah maupun al
Nufat untuk Ahmad bin 'Isa dalam karya Alwi bin Thahir terbit
tahun 1968 cetakan kedua (Alwi, 1968, II, 8-9, 11). Kata al
abah dan al-nufat tidak ada untuk penyebutan Ahmad bin Isa
baik manuskrip yang ada di Teheran, Qum, Irak, Makatabh
Najaf al-Syarif, Baqdad, Maktabah al-Mishriyyah al-Kubra
61
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
dalam penelusuran Alwi (Alwi, II, 10-11, 13-14). Hal ini
menunjukkan ada tahrif dalam karya 'Ubaidili dan al-Umari
yang beredar tahun 1409, 1411 H. Sementara Imad
menggunakan terbitan tahun 1422 H untuk karya al'Umari dan
karya Ubaidili ia hanya mencantumkan berasal dari computer
ulum islami (Menakar, 8-9).
Selain manuskrip Ubaidili dan al-Umari, Alwi
menyebutkan tidak kurang dari 7 ahli nasab yang tidak
menyebut al-Abbah dan al-Nufat adalah laqab untuk Ahmad
bin Isa (Alwi, I, 8-10) jadi karya 'Ubaidili dan al-'Umari yang
terbit belakangan bisa menyebut al-Nufat untuk Ahmad bin isa
al-Muhajir? Apalagi Alwi menyebut dengan jelas bahwa dalam
manuskrip dari 'Ubaidili tertulis:
(Alwi, lI, 15)
"dan Ahmad bin Isa al-Akbar dari turunannya (ada yang)
bergelar (kunyah) Abu Ja'far (namanya) Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al
"Uraidhi. Aku (kata 'Ubaidili) melihatnya di Baqdad dan dia
buta di masa tuanya, sementara saudara-saudaranya (Abu
Ja'far) di gunung.
Sementara tulisan Menakar mengutip sumber 'Ubaidili
yaitu:
62
Ja'far Assagaf | 2023
(Menakar, 8) ...3yua
Dua garis bawah terutama kata al-Nufat, ternyata tidak
terdapat dalam manuskrip 'Ubaidili yang dibaca langsung Alwi
menunjukkan secara jelas telah terjadi tahrif. Meski
kemungkinan ada dua naskah, ini pun telah dijawab Alwi kalau
dia telah membaca naskah "Ubaidli dan al-Umari. Sementara
kata al-Nufat dan al-Abah untuk Ahmad bin al-Hasan al-Dilal
bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin 'lsa
(Alwi, II, 15).
Penelusuran Alwi melalui data Ibn 'Inabah bahwa Ahmad
al-Ataj (dalam karya Alwi disebut al-Abah yang ia kutip dari
Ibn 'Inabah) sama dengan Ahmad al-Abah yang diberi gelar al
Nuffat bukan untuk Ahmad bin 'Isa
(Ibn 'Inabah, 244-245)
"dan di antara mereka (turunan Muhammad bin Ali al
'Uraidhi) bernama Ahmad al-Ataj bin Abi Muhammad
namanya Hasan al-Dallal bin Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Isa al-Akbar (yaitu anak
Muhammad bin Ali al-'Uraidhi), dia (Ahmad al-Ataj)
berdagang minyak maka digelar dengan al-nuffat. Dia memiliki
turunan"
63
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Ibn 'Inabah menyamakan al-Abah dengan al-Ataj sebab
ada kata kunci yang sama dengan 'Ubaidili yaitu al-Nuffat versi
1409 H. Berarti terjadi tashif manuskrip dari al-Abah menjadi
al-Ataj meski keduanya merujuk pada satu orang yang sama
menurut Ibn 'Inabah. Yaitu al-Abah/al-Ataj juga berkunyah
Abu al-Qasim bernama Ahmad adalah turunan dari Ahmad bin
Isa. Berarti ada dua orang yang berbeda yaitu Ahmad bin Isa
dengan Ahmad al-Abah/al-Ataj. Di sini Imad mengaburkan
kalimat Ibn 'Inabah seolah-olah al-Ataj/al-Abah berbeda
dengan al-Nufat (Menakar, 12) padahal ini bertentangan
dengan apa yang Ibn 'Inabah sebut dan inginkan.
Salman Sayyid Hadi (non Ba'alwi) saat memberi notasi
kitab Ma 'alim Anshab al-Thalibin mendukung pernyataan Ibn
'Inabah. Dia menambah kata al-Abah itu terdapat di terbitan
Najaf, di naskah lainnya tertulis al-Abhar (Salman, 2001, 178
180). Di sini nampak ada tiga versi manuskrip yaitu al-Abah,
al-Abhar dan al-Ataj semuanya adalah al-Nuffat berkunyah
Abu al-Qasim namanya Ahmad turunan kelima dari Ahmad bin
Isa al-Muhajir menurut Ibn 'Inabah dan Salman. Dengan
demikian cocok dengan penelusuran Alwi. Kalau mengikuti
manuskrip yang dikemukakan Alwi maka versi 'Ubaidili 1409 H
dan lainnya menilai Ahmad al-Nuffat, juga bergelar al-Abah
tidak lain kecuali Ahmad bin Isa itu sendiri telah gugur.
Konteks di atas sangat penting, bila pendapat Ibn 'Inabah
64
Jafar Assagaf | 2023
dipakai maka semua data Imad dari "Ubaidili, al-Umari dan
lainnya tentang anak-anak Ahmad al-Abah yaitu Muhammad,
Husein dan Ali tidak sedang membicarakan anak-anak Ahmad
bin Isa al-Muhajir, melainkan anak-anak Ahmad al-Abah sebab
keduanya beda meski al-Abah juga turunan Ahmad bin Isa.
Otomatis keseluruhan logika dan argumentasi tulisan Menakar
telah gugur. Kalaupun pendapat Ubaidili versi 1409 H, 1422 H
dan lainya dipakai maka Ahmad al-nuffat/al-Abah tidak lain
adalah Ahmad al-Muhajir sendiri, masih menyisakan
pertanyaan apakah "Ubaidili, dan lainnya sedang
membicarakan semua anak Ahmad bin Isa al-Muhajir beserta
turunannya? ataukah hanya fokus pada satu anak saja?
Dilihat dari narasi 'Ubaidili, al-Umari, al-Marwazi, dan
lainnya (Menakar, 8-11), pembicaraan anak Ahmad bin Isa
hanya terfokus pada Muhammad. Kecuali 'Razi' yang
menyebut tiga anak Ahmad sementara karya yang dinisbahkan
ke 'Razi' sangat problematik. Raja'i sendiri yang memberi
notasi kitab "Razi itu selain tidak mengikuti pendapatnya
tentang jumlah anak Ahmad bin Isa, bahkan ia menegaskan
jumlah anak Ahmad al-Muhajir empat orang, yaitu:
Muhammad, Ali, Husein dan Ubaidillah itulah yang valid. Dan
Muhammad bin Ahmad al-Muhajir tersebut juga memiliki anak
bernama Muhammad, Husein dan Ali. Jadi orang-orang yang
dibicarakan oleh 'Ubaidili, al-'Umari dan lainnya seperti Abu
65
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Ja'far al-A'ma, al-Hasan Abu Muhammad al-Dallal dan Abu al
Ghanaim mereka semua turunan Muhammad bin Ahmad bin
Isa melalui anaknya bernama Ali bin Muhammad (Raja'i, I,
419-420).
Jadi tidak layak Imad menframing bahwa 'Ubaidili, al
"Umari, tidak memuat ´Abdullah bin Ahmad bin Isa, sebab
keduanya juga tidak memuat Ali dan Husein anak Ahmad al
Abah di karya mereka. Lalu sebenarnya yang 'Razi' sebut tiga
nama yaitu Muhammad, Ali dan Husein adalah anak Ahmad al
Muhajir? atau justru cucu Ahmad al-Muhajir dari Muhammad
yang juga memiliki nama yang sama dengan tiga dari empat
anak al-Muhajir? Dari sini nampak ketidak jelasan ungkapan
'Razi' atau memang sengaja tulisan Menakar menframignya?
###
66
Jafar Assagaf | 2023
E. KONKLUSI
Tulisan berjudul Menakar Kesahihan Nasab Habib di
pembahasan mengenai
khususnya
Indonesia
Abdullah/ Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir memuat banyak
data yang telah diframing, dikaburkan, dan kemungkinan
disengaja tanpa memuat, mendiskusikan data lainnya yang
diakui para ahli; sejarawan, hadis, dan nasab. Tulisan Menakar
seolah menampakkan gabungan' tertentu untuk menjatuhkan
semua Baalwi dengan menframing kalau Ubaidillah/Abdullah
adalah anak Ahmad bin Isa itu diragukan. Padahal data-data
yang ada menyatakan keberadaan Abdullah sebagai anak
Ahmad bin Isa itu sudah dikenal baik melalui data
terkonfirmasi oleh ahli, kesaksian, kemasyhuran dan bukti
arkeologi.
Tulisan Menakar juga menunjukkan penulisnya memiliki
problematik yang serius mengenai hubungannya dengan
Ba'alwi khususnya yang II (habaib). Pembuktiannya melalui
video-video Imad sebelum ia menulis Menakar, di antaranya:
(1) Tertulis yang bergelar habib menurut al-Qur'an ternyata
Yahudi
orang
(https:/www.youtube.com/watch2?v=3yGOJHIm CE diakses
67
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
pada 22 Agustus 2022); (2) tentang pernikahan perempuan
syarifah
dengan
sayyid
lelaki
non
(https:/wwW.youtube.com_/watch?vCAY38zqjazo diakses pada
22 Agustus 2022); (3) tertulis gelar sarjana lebilh tinggi dari
gelar habib, raden tubagus (https://youtu.be/o8oosB-RYmw)
diakses pada 3 Maret 2021); dan (4) Tertulis ini ceramah
tidak
Nabi
terkonfirmasi
tentang
cụcu
(https://www.youtube.com/watch?v=clujPYiReS4 diakses pada
27 November 2022) serta lainnya.
###
68
Jafar Assagaf | 2023
F. EPILOG
Keluarga Ba'alwi di Indonesia tidak perlu dihormati,
disanjung, apalagi dikultuskan. Namun tidak juga diframing,
dimusuhi apalagi menuduh mereka secara kolektif hanya
karena perbuatan sebagian dari mereka yang berbeda cara
pandang politik. Ba'alwi tidak perlu dipanggil dengan sebutan
khusus seperti habib dan semisal dengannya, agar menjadi
biasa dalam pergaulan sehari-hari. Panggilan habib entah
karena kecintaan atau olok-olok belaka justru akan
'membesarkan' sebagian mereka. Padahal seseorang tidak ada
perbedaan dengan orang lain, semuanya sama di hadapan
Allah swt.
Oleh sebab itu, seharusnya panggilan khususnya
habib, bahkan ustaz, kiai, gus dan yang semisal
dengannya tidak perlu didramatisir, dibesar-besarkan dan
dipakai secara meluas dan 'murah'. Konteks ini penting
agar tidak membangkitkan feodal gaya baru bagi mereka
yang dipanggil. Kalaupun orang-orang tertentu
disematkan panggilan tersebut, tentu menjadi teladan
dalam ilmu, amal, dan berakhlaq, sebab konsideran
69
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
pengangkatan kanjeng Nabi suci Muhammad saw menjadi
rasul di dunia adalah akhlaq.
Keluarga Baʻalwi di Indonesia sejak lama telah
bersama masyarakat dan bangsa Indonesia. Proklamator
Bung karno (w. 1970 M) menilai mereka bersama
peranakan Arab lainnya sebagai Warga negara Indonesia
sejak dahulu dan diklasifikasikan sebagai 'stelsel pasif
yang sama dengan pribumi dalam PP Nomor 10 dan
disetujui MPR (https:/ww.indonesiatoday.online/amanat
bung-karno-kepada-bangsa-indonesia-tentang-keturunan
arab/ diakses 11 Februari 2022). Sebagian dari mereka
telah berkiprah, dan lainnya mungkin berjasa meskipun
diingkari, itu tidak menjadi persoalan. Meminjam
statement closing "Sebab tidak ada yang lebih berjasa
dari yang lain, kalaupun ada yang melupakan peran dan
jasa mereka juga tidak mengapa kata Sang Kiai,
alfaatihah.
###
70
Jafar Assagaf | 2023
Daftar Pustaka
BUKU
Abd al-Nur, Muhammad Yuslim, Manhaj al-Khatib al-Tarimiy wa
Maddatuhu a-Tarikhiyyah fi Kitabihi al-Jauhar al-Syafaf. Tarim
li al-Dirasah wa al-Nasyar, Hadramaut, 2014.
al-Alwani, Taha Jabir. Al-Imam Fakhruddin al-Razi wa
Mushannifatuhu. Cairo: Dar al-Salam, 2010.
al-'Amili, Muhsin al-Amin. A'yan al-Syi ah. II, X. Bairut: Dar al
Ta'aruf li al-Mathbu'ath, 1983
al-Anbari, Abd Rahman bin Muhammad, Nuzhah al-Alba fi Thabaqat
al-Udaba. Yordan: Makatabah al-Manar, 1985.
al-Asbahani, Abu Nu'aim; Ahmad bin Abdullah. Ma'rifah al
Shahabah. IV. Diberi notasi oleh Adil bin Yusuf al-Izazi.
Riyadh: Dar al-Wathan, 1998
al-Asqalani, Ali bin Muhammad; Ibn Hajar. Fath al-Bari bi Syarh
Shahih al-Bukhari. IX. Bairut: Dar al-Fikr, 2000
,al-Ishabah fi Tamyiz al- Shahabah.
, Lisan al-Mizan. IV-VI. Diberi notasi oleh Adil Ahmad Abd
Maujud dkk. Bairut: Dar al-Kutub al-'IlImiah, 2010.
,Tahdzib al-Tahdzib.
, Taqrib al-Tahdzib.
Assagaf, Hasan bin Ali Ba'alwi. al-Raddu al-Mufhim al-Mubin 'ala
Murad Syukri Dzanaba al-Mutamaslifin al-Tha'in fi Nasab al
Sadah Al-Ba'alwi al-Hasyimin. Bairut: Dar al-Imam al-Rawwas;
Maktabah Ulum al-Nasab, 1417 H
Ba alwi, Muhammad Khird. Ghurar al-Baha al-Dhawi wa Durar al
Jamal al-Badi' al-Bahi. 1405 H
Bamakhramah, Abu Muhammad al-Thayyib bin Abdullah. Qiladah al
Nahar fi Wafayat A 'yan al-Dahar. II, V. Cet I. Jeddah: Dar al
Minhaj, 2008
al-Bagdadi, Ismail Basya. Hadiyyah al-'Arifin; Asma al-Muallifin wa
Atsar al-Mushannifin. I. Bairut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi.
1951
71
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
Ba'dzib, Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar. Juhud Fuqaha
Hadramaut fi Khidmah al-Madzhab al-Syafi i. Yordania: Dar al
Fath, 2009.
al-Bukhariy; Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhariy bi Hasyiah al
Sindiy. II-III. Bairut: Dar al-Fik, 1994
al-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad, Siyar A'lam al-Nubala. XVIII.
Diberi notasi oleh Syu'aib al-Arnawuth dan Basyar Awad
Ma'ruf. Bairut: Muassasah al-Risalah, 1993.
al-Haddad, Alwi bin Thahir. Uqud al-Almnas bi Managib al-Imam al
'Arif billah Ahmad bin Hasan al- 'Atthas. II. Cet II, Matba'ah al
Madani, Malaysia, 1968.
Ibn Abd al-Barr, Yusuf bin Abdullah. al-Isti'ab fi Marifah al-Ashab.
Diberi notasi oleh Ali Muhammad al-Bujawi. IV, VI. Bairut:
Dar al-Jail, 1992.
Ibn 'Asakir, Ali bin al-Hasan. Tarikh Madinah Dimnasyq. VII. Bairut:
Dar al-Fikr, 1998.
Ibn al-Atsir, Izz al-Din Ali bin Muhammad. al-Kamil fi al-Tarikh. X.
Bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1997.
, al-Lubab fi Tahdzib al-Anshab. I-II. Bairut: Dar Shadr,
1980.
Usud al-Ghabah fi Ma'rifah al-Shahabah. VI. Bairut: Dar
al-Kutub al-IImiah, 1994.
Ibn Hazm, Ali bin Ahmad. Jamharah Anshab al-'Arab. Mesir: Dar al
Ma'arif, 1962.
Ibn 'Inabah, Ahmad bin Ali al-Hasani. Umdah al-Thalib fi Anshab Al
Abi Thalib. Qum: al-Matba ah Amir, 1961.
Ibn Jauzi, Abu al-Faraj Abd Rahman bin Ali, al-Muntazham fi Tarikh
al-Umam wa al-Muluk. XVI. Diberi notasi oleh Muhammad dan
Musthafa Abd Qadir al-'Atha. Bairut: Dar al-Kutub al-Imiah:
1992.
Ibn Khallikan, Ahmad bin Muhammad. Wafayat al-'Ayan wa Anba
Abna al-Zaman. IV. Diberi notasi oleh Ihsan Abbas. Bairut: Dar
Shadir, 1971
Ibn Mandah, Muhammad bin Ishak. Ma'rifah al-Shahabah. Uni Emirat
Arab: Matbu'at Jamiah, 2005.
Ibn al-Sa'i, Ali bin Anjab Tajjuddin. al-Durr al-Tsamin fi Asma al
Mushannifin. Tunisa: Dar al-Gharb al-Islami, 2009.
72
Jafar Assagaf | 2023
Ibn Taqri Birdi, Yusuf Abu al-Mahasin. Al-Nujum al-Zahirah fi Muluk
Misr wa al-Qahirah. V. Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah,
1935.
Ibn Thabathaba, Ibrahim bin Nashir. Muntaqilah al-Thalibiyah. Najaf:
al-Matba'ah al-Haidariyah, 1968.
Ibn Thabathaba, Abu al-Mu ammar; Yahya bin Muhammad bin al
Qasim, Abna al-Imam fi Mishr wa al-Syam; al-Hasan wa al
Husein. Riyadh: Maktabah Jiddah Ma'rifah, t.th.
Ibn al-Thaqthagi, al-Ashili fi Anshab al-Thalibin. Qum: Maktabah
Ayatullah al-Udzma al-Mar'asyi, 1409.
Ibn al-'Ubri, Abu al-Faraj Gregory Bar Hebraeus. Tarikh Mukhtashar
al-Duwal. Diberi notasi oleh Anton Shalehani al-Yasu'i. Bairut:
Dar al-Syuruq, 1992.
al-Janadi, Bahauddin Muhammad bin Yusuf. Al-Sulukfi Thabaqah al
'Ulama wa al-Muluk. 1-II. Diberi notasi oleh Muhammad bin Ali
al-Akwa al-Hawali. Cet I. Shan'a: Maktabah Irsyad, 1993
Kahhalah, Umar Ridha. Mu jam al-Muallifin. V, VII. Bairut: Dar Ihya
al-Turats al-'Arabi, t.th.
al-Khazraji, Ali bin al-Hasan. Thiraz A lam al-Zaman fi Thabagat
A'yan al-Yaman. III. Diberi notasi oleh Abdullah al-Abbadi
dkk. Shan'a: Maktabah al-Jail al-Jadid, 2009
al-Laknawi, Muhammad Abd al-Hayyi al-Hindi. Al-Rafu wa Takmil fi
al-Jarh wa al-Ta'dil. Cet II. Diberi notasi oleh Abd Fatah Abu
Ghuddah, Peshawar: Maktabah al-Da'wah al-Islamiyah, t.th
Mamduh, Mahmud Sa'id bin Muhammad. Tasynif al-Asma'bi Syuyukh
al-ljazah wa al-Sima. Jilid I-IL. Mesir: Dar al-Kutub al
Mishriyyah, 1434 H.
al-Marwazi, Ismail bin Husein. al-Fakhriy fi Anshab al- Thalibin. Qum:
Maktabah Ayatullah al-'Udzma al-Mar asyi, 1409 H.
al-Mishri, Abu al-Qasim Abd Rahman bin Abdullah. Futuh Mishr wa
al-Magrib. Maktabah al-Tsaqafiyah al-Diniyah, 1415 H.
al-Muhibbi, Muhammad Amin al-Hanafi. Khulshah al-Atsarfi A'yan
al-Qarn al-Hadi 'Asyar. I. Bairut: Dar al-Shadir, t.th.
Muthahhari, Murtadha. al-Mujtama wa al-Tarikh. Iran: Wizarah
Irsyad Islami, cet I, 1979
al-Naisaburiy, Muslim bin Hajaj. Shahih Muslim. I. Bairut: Dar al
Fikir, 1992.
73
Konektivitas Rijal al-Hadis dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab
al-Qifthi, Ali bin Yusuf. Ikhbar al-'Ulama bi Akhbar al-Hukama.
Diberi notasi oleh Ibrahim Syamsuddin. Bairut: Dar al-Kutub
al-Imiah, 2005.
Raja'i, Mahdi. al-Mu'qibun min Ali Abi Thalib alahi al-salam; A'qab
al-Imam al-Hasan al-Mujtaba. I. Iran: Muassasah 'Asyura, 1427
H.
, al-Mu 'qibun min 'Ali Abi Thalib 'alahi al-salam; A 'qab al
Imam al-Husein. II. Iran: Muassasah 'Asyura, 1427 H.
'Razi', a-Syajarah al-Mubarakah fi Anshab al-Thalibiyyah. Diberi
notasi oleh Mahdi Raja'i. Qum: Maktabah Ayatullah al-'Udzma
al-Mar'asyi, 1419 H.
Razi, Muhammad Muhsin; Agha Bozorq. Thabaqat A'lam al-Syi ah;
al-Nabis fi al-Qarn al-Khamis. Bairut; Dar Ihya al-Turats al
'Arabi. 2009.
al-Razi, Muhammad bin Umar Fakhruddin. Al-Arba'in f Ushul al-Din.
II. Diberi notasi oleh Ahmad Hijazi al-Saqa. Cairo: Maktabah
al-Kulliyyat al-Azhariyah, t.th.
Ma'alim Ushul al-Din. Diberi notasi oleh Taha Abd Rauf
Sa'ad. Lebanon: Dar al-Kitab al-Arabiy, t.th.
Mafatih al-Ghaib/Tafsir al-Kabir. II. Bairut: Dar Ihya al
Turats al-'Arabi, 1420 H
. Al-Mahsul fi Ushul al-Fiqh. IV. Diberi notasi oleh Taha
Jabir. Bairut: Muassasah al-Risalah, 1997.
al-Sakhawi, Muhammad bin Abd Rahman. Al-Dau' al-Lami" li Ahl al
Qarn al-Tasi'. I-V, VII-VIII. Bairut: Dar Maktabah al-Hayat,
1991.
. Fath al-Mughits bi Syarh Alfiah al-Hadits. II, IV. Riyadh:
Maktabah Dar al-Minhaj, 1426 H.
.al-I'lan bi al-Taubikh liman Dzamma Ahl al-Tarikh. Cet I.
Diberi notasi oleh Franz Rosenthal. Bairut: Muassasah al
Risalah, 1986
al-Jawahir wa al-Durar fi Tarjamah Syeikh al-Islam Ibn
Hajar. I. Bairut: Dar Ibn Hazm, 1999.
al-Sam ani, Abd Karim bin Muhammad. Al-Anshab. I-II, IX. Diberi
notasi oleh Abd Rahman bin Yahya al-Yamani. India: Majelis
Da'irah al-Ma arif al-Utsmaniah, 1962.
74
Jaar Assagaf | 2023
al-Samarqandi, Muhammad bin Husein. Tuhfah al-Thalib bi Ma 'rifah
ila man Yantasibu ila Abdillah wa Abi Thalib. Diberi notasi oleh
Anas al-Hasani. Madinah: Dar al-Mujtaba, 1998.
al-Suyuthi, Jalaluddin Abd Rahman bin Abi Bakar. Lub a-Lubab fi
Tahrir al-Anshab. Bairut: Dar Shadr, 1980.
Tarikh al-Khulafa. Mekkah: Maktabah Nizar Musthafa al
Baz. 2004.
al-Syaukani, Muhammad bin Ali. al-Badru al-Thali. I. Bairut: Dar al
Ma'rifah, t.th.
al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Thabari. VII. Diberi
notasi oleh Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim. Mesir: Dar al
Ma arif, 1967.
al-Umari, Najmuddin Ali bin Muhammad. Al-Majdi fi Anshab al
Thallibin. Diberi notasi oleh Ahmad al-Damighani. Qum:
Maktabah Ayatullah al-'Udzma al-Mar'asyi, 1409 H.
al-Yamani, Muhammad Kadzim. Al-Nafhah al- 'Anbariyah. Diberi
notasi oleh Mahdi Raja'i. Qum: Maktabah Ayatullah al-"Udzma
al-Mar'asyi al-Najafi. Cet I. 1419H
Zabarah, Muhammad al-Hasani. Al-Anba 'an Daulah Balqis wa Saba.
Shan'a: Maktabah al-Yaman al-Kubra, 1984.
al-Zarbathi, Husein al-Huseini. al-Jaridah fi Ushul Anshab al
'Alawiyyin. II, Iran: Muassasah wa Nasyr Ma arif Ahl al-Bait,
1417 H
al-Zarkan, Muhammad Shalih. Fakhruddin al-Razi wa Arauhu al
Kalamiyyah wa al-Falsafiyyah. Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
al-Zirakli, Khairuddin. Al-A'lam. I, VI. Bairut: Dar al-'IIm li al
Malayin, 2002.
INTERNET
https://geotimes.id/catatan-syafiq-hasyim/menyoal-genealogi
habib-di-indonesia-ke-rasulullah-bukti-ilmiah-kyai
imaduddin-utsman/ dikases 12-11-2022
https://www.indonesiatoday.online/amanat-bung-karno-kepada
diakses 11
bangsa-indonesia-tentang-keturunan-arab/
Februari 2022
https://www.youtube.com/watch?v=clujPYiReS4 menit 11.35-11.40
diakses 27-11-2022
75