Keterangan Tertulis Dr Abdul Chair dalam Perkara Pemilu

 



Selasa, 23 Mei 2023

Faktakini.info


Dr Abdul Chair:

KETERANGAN TERTULIS AHLI TEORI HUKUM

DALAM PERKARA NOMOR 114/PUU-XX/2022

(Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.)

A.

Prolog

Pemilihan Umum (Pemilu) sampai dengan saat ini diakui sebagai instrumen

kelembagaan demokrasi yang absah dan menjadi parameter bekerjanya sistem politik

yang demokratis. Pemilu dimaksudkan guna pengisian jabatan-jabatan publik yang

dipilih (elected official). Dengan demikian keterlibatan masyarakat dalam proses

Pemilu sangat terkait dengan hak memilih dan dipilih.

Keberadaan Pemilu dalam negara demokrasi merupakan manifestasi prinsip

kedaulatan rakyat. Pelaksanaan kedaulatan rakyat disalurkan dan diselenggarakan

menurut prosedur konstitusional. Demikian itu merupakan penegasan terhadap

konsepsi negara demokrasi yang berdasarkan hukum dan negara hukum yang

demokratis. Pemilu juga terkait dengan prinsip negara hukum (rechtstaat). Dikatakan

demikian oleh karena melalui Pemilu, rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang

berwenang menciptakan produk hukum dan melakukan pengawasan atau pelaksanaan

kehendak-kehendak rakyat yang digariskan oleh wakil-wakil rakyat tersebut. Melalui

Pemilu, hak asasi rakyat dapat disalurkan, demikian juga halnya dengan hak untuk

sama di depan hukum dan pemerintahan.1

Hakikat negara hukum pada pokoknya berkenaan dengan ide tentang supremasi

hukum yang disandingkan dengan ide kedaulatan rakyat yang melahirkan konsep

demokrasi.2 Keberadaan hukum dalam perspektif negara hukum sangat terkait dengan

tujuan hukum yang hendak dicapai. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), aksiologi hukum yang dianut adalah kepastian hukum dan keadilan.3 Keduanya disebut dalam satu tarikan nafas yakni, “kepastian

hukum yang adil”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1), yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Dalam kaitannya dengan dua kutub sistem pemilu yakni proporsional terbuka

vs proporsional tertutup, maka penilaiannya menunjuk pada sejauhmana konsistensi

mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat. Semakin sistem tersebut memberikan ruang

lebih banyak dan luas bagi rakyat untuk menentukan sendiri pilihannya, maka sistem

tersebut akan lebih mendekati hakekat kedaulatan rakyat. Sebaliknya, semakin sistem

tersebut mempersempit ruang bagi rakyat untuk menentukan pilihannya, maka sistem

tersebut akan semakin menjauh dari hakekat kedaulatan yang dikandung UUD1945.

Dalam kaitannya dengan pengujian Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal

353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422,

dan Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan

Umum terhadap Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22E ayat

(3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka keterangan tertulis ini lebih difokuskan

pada keberadaan sistem proporsional terbuka yang menjadi pokok perkara.

Menurut Dworkin bahwa maksim hukum itu tidak bersandar pada aturan-aturan

(rules) saja, tetapi juga prinsip-prinsip (principles). Prinsip-prinsip merupakan bagian

dari hukum. Prinsip-prinsip, menurutnya memiliki dimensi kadar. Dengan demikian,

jika prinsip-prinsip bertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkan suatu

masalah adalah dengan memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat dan

mengabaikan prinsip yang kadarnya lemah.4 Terkait dengan perkara a quo, maka

penentuannya menunjuk pada prinsip-prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat

sebagaimana disampaikan oleh Dworkin. Sistem proporsional terbuka dianalisis lebih

lanjut dengan mendasarkan pada kerangka teoretis kedaulatan rakyat dan cita hukum. 


Kemudian disampaikan juga Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Pemilu

Legislatif dan Pemilu Presiden Tahun 2014.

B.

Pembahasan

1. Pemilu (Sistem Proporsional Terbuka) Dalam Perspektif Kedaulatan

Rakyat

Kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

mempunyai maksud, yaitu menempatkan rakyat yang mempunyai kekuasaan tertinggi

dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Rakyat yang berdaulat dan sekaligus

pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, semua kekuasaan bermuara pada

rakyat.5 Kusnardi dan Ibrahim mengatakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat,

maka rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik atau pemegang kekuasaan tertinggi

dalam suatu negara.6 Pengertian atau maksud kedaulatan rakyat dalam UUD 1945,

dapat pula dikatakan berbeda dengan maksud atau pengertian kedaulatan rakyat di

negara-negara liberal pada umumnya. Dikatakan demikian oleh karena, kedaulatan

rakyat Indonesia menurut UUD 1945 tidak hanya menyangkut bidang politik, tetapi

juga kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dan bahkan sosial.7

Soekarno menyebutkan prinsip sosio-demokrasi, yakni demokrasi yang berdiri

di kedua kakinya. Sosio-demokrasi menujuk pada demokrasi ekonomi dan demokrasi

politik. Rakyat berdaulat dalam bidang politik dan juga dalam bidang ekonomi.

Dengan demikian, Indonesia menjalankan paham demokrasi politik dan demokrasi

ekonomi.

Pelaksana kedaulatan rakyat adalah rakyat itu sendiri yang dilakukan sesuai

dengan ketentuan UUD. Dengan demikian, antara kedaulatan rakyat dan hukum

ditempatkan sejajar dan berdampingan. Demikian itu menegaskan dianutnya prinsip

“constitutional democracy” yang pada pokoknya tidak lain adalah negara demokrasi

yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis. 8 Dalam kaitan ini,

Hamidi dan Lutfi mengatakan bahwa konsep negara hukum berakar dari paham kedaulatan hukum yang pada hakikatnya berprinsip bahwa kekuasaan tertinggi di

dalam suatu negara adalah berdasarkan atas hukum. Negara hukum merupakan

substansi dasar dari kontrak sosial setiap negara hukum.9 Hal yang sama disampaikan

oleh Handayono, bahwa arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari

konsep dan teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa

kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat

perlengkapan negara apa pun namanya termasuk warga negara harus tunduk dan patuh

serta menjunjung tinggi hukum tanpa terkecuali.10

Negara hukum menurut Stahl ditandai dengan adanya pengakuan atas hak-hak

asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan

undang-undang dan adanya peradilan administrasi.11 Menurut Dicey, ciri suatu negara

hukum yang disebut negara hukum apabila adanya keunggulan mutlak hukum,

persamaan di hadapan hukum dan konstitusi berdasarkan hak individu.12 Kerangka

tersebut menegaskan bahwa negara merupakan bagian dari susunan bangunan berpikir

dan konstruksi hukum. Pemilu sebagai instrumen demokrasi harus senantiasa tunduk

pada asas negara hukum.13 Dimaksudkan agar terselenggara negara hukum yang

demokratis (democratische rechtstaat).

Asshiddiqie menegaskan bahwa Pemilu dapat dikatakan sebagai syarat yang

mutlak bagi negara demokrasi, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.14 Thaib

mengemukakan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari

Pemilu. Disebut demikian, oleh karena Pemilu merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.15

Pemilu dimaknai sebagai prosedur untuk mencapai demokrasi atau merupakan

prosedur untuk memindahkan kedaulatan rakyat kepada kandidat tertentu untuk

menduduki jabatan-jabatan politik.16

Di dalam negara demokrasi, Pemilu merupakan salah satu unsur yang sangat

vital. Dikatakan demikian, oleh karena salah satu parameter mengukur demokratis

tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan Pemilu yang dilaksanakan

oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat.17

Prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie)

seyogyanya diselenggarakan secara beriringan. Demikian itu menunjukkan negara

hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan negara demokrasi yang

berdasar atas hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisahkan sebagai

perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke-MahaKuasaan Tuhan Yang Maha Esa.18

Gafar mengatakan bahwa sebuah political order dapat dikatakan demokratis

apabila memenuhi sejumlah prasyarat. Pertama, adanya akuntabilitas dimana

pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan

kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Kedua, adanya rotasi kekuasan,

dimana peluang pergantian kekuasaan harus selalu ada. Ketiga, rekrutmen politik

yang terbuka, artinya setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan

politik yang dipilih oleh rakyat, mempunyai peluang yang sama dalam melakukan

kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Keempat, adanya pemilihan umum dimana

setiap warga negara yang dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih secara

bebas sesuai dengan hati nuraninya. Kelima, menikmati hak-hak dasar, dalam arti

bahwa setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas

terutama hak menyatakan pendapat, hak berkumpul dan berserikat dan hak untuk menikmati pers yang bebas.19

Pemilu adalah hak asasi (HAM), kewajiban asasi (KAM), dan tanggungjawab

asasi (TAM) warga negara dan negara. Hubungan warga negara dengan negara, secara

timbal balik akan menjelma dalam tiga sisi, yaitu hak, kewajiban, dan tanggung jawab.

Dikategorikan sebagai hak, maksudnya bahwa setiap warga negara berhak

menentukan pilihan diantara sekian banyak yang harus dipilih. Ketika telah

menentukan satu yang harus dipilih, maka memilih yang satu tersebut, merupakan

kewajiban sekaligus sebagai tanggung jawab pribadi warga negara bagi negaranya,

yakni menentukan mereka yang akan menjalankan pemerintahan berdasarkan

kehendak rakyat pemilih.20 Sebagai negara demokrasi, seperti dinyatakan Thaib,

rakyat itu hulu sekaligus muaranya. Karena rakyat hulu dan muaranya, maka menjadi

sebuah keniscayaan jika kegiatan Pemilu yang melibatkan dirinya, adalah HAM,

KAM, dan TAM yang diselenggarakan secara sinergis dan sekaligus. Artinya, HAM,

KAM, dan TAM adalah hulu dan muaranya kedaulatan rakyat.21

Dalam kaitannya dengan sistem proporsional, tercipta hubungan emosional dan

hubungan tanggungjawab antara calon anggota legislatif terpilih dengan pemilihnya.

Kondisi demikian akan memperkokoh komitmen politik dan komitmen moral wakil

rakyat yang lebih nyata. Komitmen wakil rakyat guna merealisasikan kedaulatan

rakyat yang substantif ke dalam kekuasaannya, sangat terjamin dan tentunya lebih

akomodatif. Asshiddiqie, menegaskan bahwa Pemilu dapat dikatakan sebagai syarat

yang mutlak bagi negara demokrasi, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.22

Keterlibatan masyarakat dalam proses Pemilu merupakan hal yang mutlak. Hak

masyarakat untuk memilih dan dipilih demikian mendasar dan asasi sifatnya. Demikian

itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, Pasal 43 ayat (1) menyebutkan:

“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum

berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”

Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang

Hak-Hak Sipil dan Politik), Pasal 25 huruf b menyatakan bahwa:

“Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa

pembedaan apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa

pembatasan yang tidak beralasan: memilih dan dipilih pada pemilihan umum

berkala yang jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta

dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin

kebebasan dalam menyatakan kemauan dari para pemilih.”

Rakyat dengan kedaulatannya dalam suatu negara hukum yang demokratis

merupakan titik sentral dan pusat sekaligus sumber kekuasaan negara. Sejalan dengan

ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa prinsip kedaulatan rakyat merupakan

prinsip konstitusi yang sangat mendasar (basic norm) yang bukan saja memberi warna

dan semangat pada konstitusi yang menentukan bentuk pemerintahan, akan tetapi juga

dapat dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada

keseluruhan undang-undang di bidang politik. Oleh karena itu, metode dan prosedur

rekrutmen dalam sistem politik dan perwakilan yang dianut, harus diberi batas yang

jelas bahwa Partai Politik tidak boleh sampai melanggar prinsip kedaulatan rakyat.

23

Dalam sistem demokrasi pada asasnya setiap penetapan pejabat dipengaruhi oleh

rakyat, dan tidak ada urusan pun dalam negara yang boleh dijauhkan dari jangkauan

kedaulatan rakyat.

24

2. Sistem Proporsional Terbuka Sejalan Dengan Cita Hukum

Menurut Huijbers, inti dari pengertian hukum adalah hakikat hukum dan hakikat

dari hukum adalah sarana untuk menciptakan suatu aturan bagi masyarakat yang

adil.25 Para filsuf mengemukakan bahwa keadilan akan terwujud jika setiap orang

mendapatkan apa yang pantas ia dapatkan dan tidak adil apabila mereka tidak

mendapatkannya.26 Dalam perspektif ajaran negara berdasarkan konstitusi ditegaskan

harus adanya jaminan-jaminan hukum akan hak-hak yang melekat secara alamiah, baik sipil maupun hak pribadi, hak-hak politik, hak-hak sebagai sebuah kelompok dan

hak-hak sosial manusia pada umumnya.27

Hak-hak yang melekat secara alamiah, khususnya hak-hak di bidang politik

sejalan dengan keadilan natural sebagaimana disampaikan oleh Aristoteles. Keadilan

natural sesuai dengan namanya bersifat tetap (statis), sehingga cocok untuk semua

lapisan masyarakat. Adapun keadilan konvensional ditetapkan oleh komunitas

tertentu untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga selalu dapat berubah (dinamis).

Kedudukan keadilan konvensional berada di bawah keadilan natural.28 Apabila

diformulasikan dalam proses Pemilu, maka hak memilih calon anggota legislatif

adalah termasuk keadilan natural. Adapun hak seleksi pencalonan dengan nomor urut

sebagaimana ditetapkan oleh Partai Politik merupakan keadilan konvensional.

Dalam pandangan Islam, keadilan adalah “menempatkan sesuatu sesuai pada

tempatnya”. Disini pembebanan sesuatu sesuai kemampuan dan memberikan sesuatu

yang memang menjadi haknya sesuai dengan kadar yang seimbang (proporsional).

Pembagian proporsi yang sama diberikan kepada orang-orang yang sama, sebaliknya

orang yang tidak sama tentu akan mendapatkan pembagian yang berbeda, sehingga

semua orang diberlakukan sama untuk hal yang sama dan diperlakukan berbeda untuk

hal yang berbeda. Dengan demikian yang menjadi tolok ukur keadilan adalah unsur

proporsionalnya. Dikaitkan dengan sistem proporsional terbuka, maka sistem tersebut

sejalan dengan kaidah “menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya”. Sistem

proporsional terbuka bersifat rasional dan tentunya proporsional.

Atmosudirjo mengomentari keadilan distributif, dikatakan olehnya bahwa

ketidakadilan akan timbul jikalau mereka yang sederajat (equal) tidak diperlakukan

secara sederajat. Dikatakan selanjutnya, jikalau orang-orang yang tidak sederajat

(unequal) diperlakukan secara sama atau seolah-olah sederajat (equally) akan timbul

ketidakadilan.29 Memilih calon anggota DPR dan calon anggota DPD secara langsung

oleh rakyat merupakan dua hal yang sama dan oleh karena itu harus diperlakukan

secara sama pula. Ketika calon anggota DPR melalui sistem proporsional tertutup

keterpilihannya ditentukan oleh Partai Politik, disisi lain calon anggota DPD dipilih secara langsung oleh rakyat, maka demikian itu menjadikan calon anggota DPR tidak

diperlakukan secara sama atau sederajat.

Kelsen mengatakan, keadilan adalah legalitas. Suatu peraturan disebut adil jika

benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang menurut isinya, peraturan demikian

harus diterapkan. Suatu peraturan menjadi tidak adil, jika diterapkan kepada satu

kasus dan tidak diterapkan kepada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas

adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tata hukum

positif, melainkan pada penerapannya. Keadilan berarti pemeliharaan tata hukum

positif melalui penerapannya yang benar-benar sesuai dengan jiwa dari tata hukum

positif tersebut. Keadilan ini adalah keadilan berdasarkan hukum.30 Rawls

memperkenalkan philosofi keadilan dengan konsep fairness yang mengandung asasasas bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk

mengembangkan kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang

sama pada saat akan memulai dalam sebuah kompetisi.31 Dalam kaitan ini, rakyat

memilih secara langsung tanpa perantara Partai Politik guna implementasi kedaulatan

rakyat. Ketika dilakukan pembedaan pemilihan, yakni calon anggota DPR melalui

Partai Politik, maka demikian itu menjadi berbeda dengan pemilihan calon anggota

DPD. Disini terkonfirmasi adanya penerapan yang tidak adil. Marzuki mengatakan

bahwa ketidakadilan (ungenrechtigkeit) dapat terjadi dalam hal “menyamakan dua hal

yang berbeda” dan “membedakan dua hal yang sama”.32 Manan juga meyampaikan

ungkapan yang demikian populer “menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak

adilnya dengan membedakan yang sama.”33

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan yang memberikan hak

kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat

untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik

calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.

34 Setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum,

memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama

adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama

atas dua keadaan yang tidak sama. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 214 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

mengandung standar ganda sehingga dapat dinilai memberlakukan hukum yang

berbeda terhadap keadaan yang sama sehingga dinilai tidak adil.

35

Dalil yang menyatakan bahwa Partai Politik sebagai peserta Pemilu, bukan

perseorangan (pemilih) dan oleh karenanya Partai Politik memiliki kekuasaan untuk

menentukan calon anggota DPR terpilih adalah termasuk “menyamakan dua hal yang

berbeda”. Demikian juga pendapat yang menyatakan bahwa peserta Pemilu untuk

memilih anggota DPD adalah perseorangan, sehingga untuk pemilihan calon anggota

DPR adalah melalui Partai Politik, maka termasuk pula “membedakan dua hal yang

sama”.

Peranan Partai Politik dalam Pemilu disebutkan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD

1945, yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai

politik”. Frasa “peserta pemilihan umum untuk memilih”, tidak dapat dimaknai

bahwa yang memiliki kekuasaan untuk memilih calon anggota DPR dan calon

anggota DPRD adalah Partai Politik. Penggunaan kata “peserta” tidak bermakna

tunggal atau dengan kata lain tidak dinisbatkan semata-mata untuk Partai Politik.

Frasa tersebut juga menunjuk pada keikutsertaan rakyat sebagai pemilih dan demikian

itu sebagai wujud manifestasi kedaulatan rakyat. Peranan Partai Politik dalam Pemilu

dimaksudkan untuk mengintegrasikan rakyat dalam sistem politik yang muaranya

adalah kompetisi rekrutmen politik.

Sistem proporsional terbuka sejalan dengan kebenaran dan sekaligus keadilan.

Kebenaran dan keadilan menurut Sisworo merupakan dwitunggal, satu terhadap yang

lain saling memberikan legitimasi.36 Rawls mengatakan, bahwa sebagai kebajikan utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu gugat. Dikatakan

juga bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana

kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, walaupun demikian elegan dan

ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar. Demikian juga dengan

hukum dan institusi, tidak peduli keberadaannya demikian efisien dan rapi, harus

direvisi atau dihapuskan jika tidak adil.37 Kebenaran dan keadilan merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan. Perbuatan yang adil adalah suatu tindakan yang

berdasar pada kebenaran. Sejalan dengan hal ini Al-Kindi mengatakan keadilan

identik dengan suatu kualitas (sifat) yang inheren dalam diri manusia dan

mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang benar.38 Permohonan untuk

menerapkan sistem proporsional tertutup tidak ada korespondensi antara kebenaran

dengan keadilan.

Senada dengan Aristoteles, Aquinas juga menyebutkan keadilan distributif.

Keadilan distributif memberikan proporsi yang sama sesuai dengan kedudukannya

dalam lapangan hukum publik secara umum. Perimbangan menurut teori keadilan

Aristoteles, menunjuk pada suatu kondisi dimana kesamaan hak itu haruslah sama

diantara orang-orang yang sama.39 Menjadi jelas, bahwa kesamaan hak menunjuk

pada masing-masing calon anggota legislatif yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

Calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak dari pemilih adalah sejalan

dengan keadilan distributif yang berpangkal pada pemberian hak sesuai dengan besar

kecilnya jasa, sehingga dalam hal ini keadilan didasarkan pada porsinya masingmasing (proporsional).

Dalam kedaulatan rakyat setidaknya ada empat prinsip, yaitu: kebebasan,

kesamaan/kesetaraan, suara mayoritas, dan pertanggungjawaban. Dua prinsip pertama

lebih sebagai esensi kedaulatan rakyat (disebut prinsip esensial) dan dua prinsip kedua

merupakan prosedur pelaksanaan kedaulatan rakyat (disebut prinsip prosedural).

40

Terkait dengan sistem proporsional terbuka, disampaikan tentang suara mayoritas.

Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip kebebasan dan kesamaan/kesetaraan.

Prinsip suara mayoritas akan mengaktualisasikan prinsip kebebasan dan kesetaraan. 

Dimana pun demokrasi berada, maka kebebasan dan kesamaan hak politik akhirnya

dimanifestasikan ke dalam pilihan politik melalui prosedur suara rakyat yang diukur

secara kualitatif (majority principle) dan aktualiasasinya melalui voting.41 Kelsen

mengatakan bahwa karena kebebasan politik berarti kesesuaian antara kehendak

individu dengan kehendak kelompok (umum) yang dinyatakan dalam tata sosial,

maka prinsip mayoritaslah yang menjamin derajat kebebasan politik tertinggi yang

mungkin diperoleh ditengah masyarakat.42 Prinsip mayoritas sebangun dengan

keadilan distributif yang menekankan pada pemberian hak sesuai dengan prestasinya

secara proporsional.

Kesamaan hak juga terkait dengan kepastian hukum. Kepastian hukum dalam

sebuah penyelenggaraan Pemilu dapat menciptakan suatu keadilan bagi semua pihak.

Keadilan adalah merupakan esensi dan ruh dari hukum. Menurut Rahardjo, keadilan

itu adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada

setiap orang apa yang semestinya untuknya (iustitia est constants et perpetua voluntas

ius suum cuique tribuendi).43 Sebisa mungkin apa pun yang dilakukan dalam hukum,

tidak boleh sekali-kali mengabaikan aspek manusia sebagai bagian yang sentral dari

hukum itu, karena hukum itu dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya.44 Van

Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang

akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian

juga diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi

masyarakat. Kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan

terhadap berlakunya hukum di dalam masyarakat.45

Mengacu pada pendapat tersebut di atas, maka sistem proporsional terbuka tidak

bertentangan dengan kepastian hukum. Sejalan dengan hal ini, dalam ajaran Islam

terdapat kaidah “dar’u al mafasid muqaddam ‘ala jalbi al mashalih”, yang artinya

menolak atau menghindari kerusakan (kerugian) harus didahulukan daripada menarik

kebaikan (dari suatu hubungan hukum).46 Suyuthi mengemukakan semua produk hukum dikembalikan kepada ketentuan manfaat dan menghindari kerugian.47 Dengan

demikian, apabila ada produk hukum yang berkurang atau hilang kemanfaatannya dan

justru menimbulkan kerugian, maka produk hukum tersebut harus ditinjau kembali.

Dalam kaitan ini, penerapan sistem proporsional terbuka dimaksudkan guna

menghindari kerugian dan mendahulukan kebaikan.

Mahkamah Kontitusi melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 telah

memperkuat penerapan sistem proporsional terbuka. Dalam sistem proporsional

terbuka, lebih terjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Demikian itu sebagai wujud kedaulatan rakyat dan jaminan prinsip keterwakilan guna

menyuarakan kehendak (aspirasi) rakyat. Penerapan sistem proporsional terbuka

dimaksudkan guna mengembalikan kedaulatan kepada rakyat untuk memilih secara

langsung.

3. Sistem Proporsional Terbuka Sejalan Dengan Fatwa MUI Pusat

Majelis Ulama Indonesia Pusat pada tanggal 26 Januari 2009, telah menerbitkan

Fatwa tentang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Tahun 2014, yang menyatakan

sebagai berikut:

1.

Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin

atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama

sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa;

2.

Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk

menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama;

3.

Imamah dan Imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan

ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat;

4.

Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya

(amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan

memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib; dan

5.

Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan

dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang

memenuhi syarat hukumnya adalah haram.


Fatwa tersebut berhubungan dengan sistem proporsional terbuka. Secara tegas

arah Fatwa menunjuk pada calon yang memiliki kriteria sebagaimana dimaksudkan pada

poin 4. Demikian itu tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya sistem proporsional

terbuka. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih, “ma laa yatimmul wajib illa bihii fa huwa

wajib” (perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga

wajib). Maksudnya, segala perkara yang menjadikan suatu amal kewajiban tidak

dapat dikerjakan sama sekali atau bisa dikerjakan, namun tidak sempurna kecuali

dengan juga mengerjakan perkara tersebut, maka perkara tersebut yang asalnya tidak

wajib, dihukumi wajib pula.

Kewajiban untuk memilih calon yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq),

terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah),

dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, maka demikian itu membutuhkan sistem

proporsional terbuka. Ketiadaan sistem proporsional terbuka akan menyebabkan

kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan. Tanpa adanya sistem proporsional terbuka,

kewajiban sebagaimana dimaksudkan tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan kaidah

fiqih, “ma laa yatimmul wajib illa bihii fa huwa wajib”, maka sistem proporsional

terbuka bersifat wajib.

Dalam kaitannya dengan permohonan proporsional tertutup, maka apabila

didalilkan secara kebalikannya (mafhum mukhalafah/argumentum a contrario), maka

sistem proporsional tertutup adalah haram. Dikatakan demikian oleh karena ummat

Islam selaku konstituen tidak dapat memilih calon secara langsung sebagaimana yang

dimaksudkan pada poin 4 Fatwa MUI, yakni: memilih pemimpin yang beriman dan

bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai

kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam. Kriteria tersebut

hanya dapat dilakukan dengan memilih calon legislatif secara langsung dan itu ada pada

sistem proporsional terbuka. Pada sistem proporsional tertutup tidak dapat memenuhi

syarat pemilihan sebagaimana dimaksudkan dalam Fatwa MUI.

C.

Epilog

Meminjam teori Von Buri “conditio sine qua non”, maka peranan Partai Politik

dan rakyat selaku pemilih dalam Pemilu terdapat hubungan timbal balik. Dengan

demikian keberadaan rakyat baik selaku pemilih maupun sebagai calon legistalif tidak

dapat dinegasikan. Dalam Pemilu, keberadaan rakyat sebagai pemilih demikian dominan, rakyat memiliki peranan yang demikian menentukan guna mewujudkan

kedaulatan rakyat.

Sistem proporsional terbuka identik dengan prinsip suara mayoritas. Prinsip

suara mayoritas merupakan konsekuensi dari adanya prinsip kebebasan dan kesamaan

sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD 1945. Dengan demikian UUD 1945

yang menganut dua prinsip esensial demokrasi, maka secara linear UUD 1945 juga

menganut prinsip suara terbanyak sebagai cara mewujudkan dua prinsip itu.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa norma dalam Pasal 168 ayat (2), Pasal

342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c

dan d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (3) dan Pasal 28D

ayat (1) UUD 1945. Dengan kata lain, sistem proporsional terbuka meneguhkan

kedaulatan rakyat dan sejalan dengan aksiologi hukum konstitusi.

Demikian keterangan tertulis ini disampaikan, semoga dapat bermanfaat

adanya.

Jakarta, 19 Mei 2023

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H


DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Abdul Chair Ramadhan. Kumpulan Keterangan Ahli Hukum Pidana, Bagian I.

Jakarta: Lisan Hal, 2021.

Affan Gafar. Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi. Yogjakarta: Pustaka

Peiajar, 2000.

Agussalim Andi Gadjong. Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum. Bogor:

Ghalia Indonesia, 2007.

Ahmad Azhar Basyir. Azas-Azas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press, 1983.

B. Hestu Cipto Handayono. Hukum Tata Negara Indonesia Menuju Konsolidasi

Sistem Demokrasi. Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2009.

Bagir Manan. Pers, Hukum, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Sekretariat Dewan Pers,

2016.

_____________. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: FH UII Press, 2006.

Dahlan Thaib. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945.

Yogyakarta: Liberty, 1993.

G. Sorensen. Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Hans Kelsen. Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu

Hukum Empirik-Deskriptif. Judul Asli: General Theory of Law and Sate.

Alih Bahasa: Somardi. Cet.I. Jakarta: Rimdi Press, 1995.

Hendra Nurtjahjo. Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

I Dewa Gede Atmadja. Filsafat Hukum, Dimensi Tematis dan Historis. Malang: Setara

Press, 2013.

J. H. Rapar. Filsafat Politik Plato. Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as Suyuthi. Al Asybah wa Al Nadhair. Mesir:

Musthafa al Babi al Halabi, 1988.

Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi. Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia. Malang:

Alumni, 2009.

Jhon Rawls. Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan

Kesejahteraan Sosial Dalam Negara. Judul Asli: A Theory of Justice. Cet.

II. Penerjemah: Uzair Fauzan & Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2011.

Jimly Asshiddiqie. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat.

Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2012.

_____________. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi.

Jakarta: Buana Indah Populer, 2007.

Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.

_____________. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi

Pers, 2005.

Julian Baggini. Lima Tema Utama Filsafat. Jakarta: Teraju Mizan, 2004.

L.J. Van Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1990.

Majid Khadduri. Teologi Keadilan Perspektif Islam. Judul Asli: The Islamic

Conception of Justice. Penerjemah: H. Mochtar Zoerni & Joko S. Kahar.

Surabaya: Risalah Gusti,1999.

Miriam Budiharjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1977.

Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat

Studi HTN UI, 1981.

Moh. Mahfud MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media,

1999.

Prajudi Atmosudirjo. Teori Hukum. Jakarta: Kawan Pustaka untuk Centre for Law and

Regional Development, 2002.

Ronald Dworkin. Law’s Empire. Massachusetts: Harvard University Press, 1988.

Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Aditya Bakti, 2000.

_____________. Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2009.

Sodikin. Hukum Pemilu (Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan). Bekasi: Gramata

Publishing, 2014.

Theo Huijbers. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Usep Ranawijaya. Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya. Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1983.

Hasil Penelitian, Pidato, Jurnal & Makalah

Jimly Asshiddiqie. “Konstitusi Sebagai Landasan Indonesia Baru Yang Demokratis,

(Pokok Pokok Pikiran tentang Perimbangan Kekuasaan Eksekutif dan

Legislatif Dalam Rangka Perubahan Undang Undang Dasar l94”.

Makalah. Seminar hukum Nasional VII, Badan Pembinaan Hukum

Nasional, Departemen Kehakiman RI, l999.

Nanik Prasetyoningsih. “Dampak Pemilihan Umum bagi Demokrasi Indonesia”.

Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2014.

Rusli Kustiaman Iskandar. “Pemilihan Umum Sebagai Implementasi Kedaulatan

Rakyat di Indonesia”. Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum, Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,

2016.

Simona Vieru, “Aristotle’s Influence on the Natural Law Theory of St Thomas

Aquinas". The Western Australian Jurist, 1, 2010.

Soejono Koesoemo Sisworo. “Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai

Aliran Filsafat Hukum dalam Relasi dan Relevansinya dengan

Pembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia”. Pidato Pengukuhan Guru

Besar dalam Ilmu Hukum (Filsafat Hukum) pada Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro, Semarang, 30 Maret 1989.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008.

Dokumen

Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Tahun

2014.