Cucu Kyai Choll Bangkalan: Bagi saya Kiai Imaduddin Utsman sudah “Game Over”
Selasa, 4 Juli 2023
Faktakini.info
Lora Muhammad Ismail Al Kholilie, Cucu Syaikhona Cholil Bangkalan
Bagi saya Kiai Imaduddin Utsman sudah “Game Over”
Sejak dari awal mengikuti perdebatan masalah nasab ini, saya sudah membaca sebagian argumen Kiai Imaduddin Utsman baik yang berbahasa Indonesia atau yang berbahasa Arab, kesan pertama yang saya tangkap adalah bahwa tulisan beliau adalah argumen yang “dipaksakan” untuk menjadi ilmiah, padahal tarafnya hanya Dzon ( prediksi ) atau mungkin hanya wahm ( asumsi ). dari point pertama tulisan beliau, kesan itu sudah bisa dirasakan. contoh ketika beliau berdalil dengan ibarot dalam kitab Al-Sajaroh Al-Mubarokah ( yang konon adalah karya Imam Arrozi ) disitu beliau menuliskan :
فصل في أن الفخر الرازي يقطع أن أولاد أحمد ثلاثة و ليس فيهم
عبيد الله
Pasal : Imam Fakhrurrozi “memastikan” bahwa anak Imam Al-Muhajir “hanya” 3, dan tidak ada nama Ubaidillah di antaranya
( Kitab Kiai Imad, Al-Mawahib Alladunniyah hal 7 )
padahal itu hanya Sebuah terjemah atau kesimpulan “pribadi” yang beliau dapatkan ketika membaca ibarot dalam Assyajaroh Al-Mubarokah berikut ini :
أما أحمد الأبح فعقبُهُ من ثلاثة بنين : محمد أبو جعفر بالريّ و علي بالرملة و حسين عقبه بنيسابور
Kiai Imad berargumen bahwa Imam Rozi menggunakan Jumlah Ismiah, sedangkan itu menurut Kiai Imad berarti menutup rapat-rapat potensi bahwa ada anak lain selain 3 itu berdasarkan kaidah nasab yang dinukil oleh Sayyid Mahdi Roja’i, itu yang mendasari Kiai Imad membuat kesimpulan prematur yang terkesan dipaksa-paksakan.
Argumen ini sebenarnya sudah dimentahkan oleh Bib Rumail Abbas yang sudah membuktikan secara “ilmiyah” dan “amaliyah” bahwa Kaidah nasab itu bukan kaidah paten, setiap kaidah pasti punya pengecualian, dalam artian kaidah itu sama sekali tidak jami’ mani’, terbukti banyak contoh Jumlah Ismiah dalam kitab itu yang ternyata tidak berfaidah Hashr atau menafikan lainnya. Kalo kita ilustrasikan, debat beliau berdua menjadi seperti ini :
Kiai Imad : tidak ada anak Imam Al-Muhajir bernama Ubaidillah, buktinya Imam Rozi hanya menyebut 3 tanpa Ubaidillah, dan beliau pake Jumlah Ismiah, itu artinya tidak ada kemungkinan ada anak yang lain.
Bib Rumail Abbas : Kaidah itu tidak paten ( sambil menunjukkan data-data valid bahwa kaidah itu tidak selalu berlaku )
Kiai Imad : tapi ini ada kok kaidahnya ( masih ngotot menyebutkan kaidah yang sama ) dan ini ada kaidah ushulnya.. ila akhirihi
Disini saya mulai tersenyum dan berfikir :
“ sejak kapan kaidah ushul fiqh dibuat untuk memahami teks dalam kitab nasab ? apa biar keliatan kalo tulisannya itu ilmiah banget ? “
Sampai pada akhirnya, hari ini saya menemukan rilis dari Sayyid Mahdi Raja’i ( yang tulisannya dan kaidah nasabnya digunakan Kiai Imad untuk meragukan Nasab Ba’alwi ) yang menyatakan bahwa tidak disebutnya nama Ubaidillah dalam “sebagian” kitab Nasab sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk meragukan nasab Habaib Ba’alwi, apalagi untuk memastikan terputusnya Nasab mereka, tidak disebutnya nama Ubaidillah oleh Imam Rozi sangat bisa dimaklumi karena masalah jarak dan juga keterbatasan informasi dan media tatkala itu
ini semakin menegaskan bahwa Kiai Imad memang sangat memaksakan argumennya untuk terlihat ilmiah, sampai bablas mengambil sebuah kesimpulan yang bahkan tidak pernah difahami oleh para Nassabah atau pakar per-nasab-an selama ini.
Tapi yaa, kalo orang sudah fanatik, seilmiah apapun jawaban untuk argumen Kiai Imad yang sebenarnya tidak ilmiah itu, para Tim Hore Kiai Imad tetap akan mengatakan :
“ sampai sekarang bahkan sampai kapanpun Tesis Kiai Imad tidak akan terjawab dan terbantahkan “ 😅
Sambil kemudian mengungkit-ngungkit kesalahan seorang Sayyid Muda berambut pirang yang padahal sikap dan pendapatnya sama sekali tidak mencerminkan dan tidak mewakili para Sadah Ba’alawi ( sudah menjadi rahasia umum toh )
Pada akhirnya perdebatan ini sebenarnya tidak seheboh yang kita bayangkan, per-gelut-an bab nasab ini hanya akan mengerucut kepada 2 kubu :
Kiai Imad dkk yang pendapatnya tidak mewakili Para Ulama NU, di pojok ring lainnya ada Yik-Yik muda juga para muhibbin fanatiknya yang akhlaq dan komentarnya tidak mewakili para Habaib Ba’alawi, jadi sangat jauh panggang dari api jika konflik ini dinamakan pertarungan antara Nahdiyyin vs Habaib atau NU vs Ba’alawi. kedua kubu ini bukan Representasi dari dua “raksasa” besar yang merupakan elemen penting bagi ummat Islam di Indonesia kita ini.
jadi Selama para Kiai sepuh dan pembesar Habaib masih berada di poros tengah dan adem-ayem saja, itu artinya tidak ada yang perlu dipermasalahkan bukan ?