Dr Abdul Chair: Urgensi Sita Jaminan dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi!

 



Sabtu, 22 Juli 2023

Faktakini.info

*URGENSI SITA JAMINAN DALAM RUU PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI*

*Assoc. Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.*

(Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia)

Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa pula (extra ordinary measures), salah satunya dengan perampasan aset. Dengan demikian dalam pemberantasan korupsi tidak semata-mata terletak pada upaya menghukum pelaku tetapi lebih jauh dari itu adalah upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang timbul dari terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.

Perihal pengembalian aset hasil korupsi telah menjadi salah satu isu pokok dalam pemberantasan korupsi sebagaimana terdapat dalam ketentuan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003. Upaya pengembalian aset hasil korupsi demikian penting dan strategis guna melindungi kepentingan negara. 

Dikatakan demikian oleh karena negara sebagai korban tindak pidana korupsi. Posisi sebagai korban menunjuk pada adanya perpindahan harta kekayaan negara kepada pelaku tindak pidana korupsi. Terjadinya perpindahan tersebut menjadikan harta kekayaan pelaku bertambah. 

Peningkatan harta kekayaan tersebut adalah sesuatu yang tidak sah (ilegal). Dalam kaitan itu, maka pengembalian aset hasil korupsi membutuhkan aturan tentang illicit enrichment. UNCAC 2003 sudah mengatur tentang illicit enrichment, hanya saja pengaturan illicit enrichment bagi negara pihak sebagai nonmandatory.

Secara umum illicit enrichment merupakan suatu perbuatan memperkaya diri sendiri dan merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Pasal 20 UNCAC 2003 pada intinya berbunyi: “a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud peningkatan kekayaan yang signifikan tersebut meliputi gaji atau bukan gaji yang sudah dilaporkan harta kekayaanya kepada negara.

Illicit enrichment merupakan instrumen hukum terhadap penyelenggara negara yang memiliki kekayaan yang tidak wajar. Disini peningkatan kekayaan tidak sesuai dengan pemasukannya dan pelaku tidak mampu membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal/sah. Terjadinya kerugian keuangan negara dan peningkatan kekayaan harta kekayaan yang tidak wajar merupakan hubungan sebab akibat (kausalitas). Dengan demikian untuk mengetahui seseorang penyelenggara negara memiliki harta kekayaan yang tidak wajar atau tidak, dapat diketahui dengan adanya peningkatan harta dari sebelum dan selama yang bersangkutan menjabat.

World Bank mengidentifikasi setidaknya 4 (empat) tujuan yang diajukan negara ketika menetapkan ancaman atau sanksi pidana terhadap illicit enrichment. Sanksi terhadap illicit enrichment harus berfungsi untuk: memulihkan kerugian negara akibat korupsi; menghukum pejabat negara yang melakukan illicit encrichhment; mencegah mereka memperoleh keuntungan yang tidak sah; dan membuat pelaku tidak dapat melakukan kejahatan lagi dengan menghukum mereka dalam penjara (incapacitation).

Sebagai negara yang turut menandatangani UNCAC, Indonesia telah meratifikasi ketentuan UNCAC 2003 melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC 2003, pada tanggal 18 April 2006. Namun sampai dengan saat ini, belum ada aturan yang secara tegas dan jelas mengenai illicit enrichment. Konstruksi sistem hukum pidana Indonesia masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana, terutama pidana badan baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Disisi lain kriminalisasi terhadap harta kekayaan hasil korupsi dan mekanisme perampasan aset belum menjadi bagian penting dalam sistem hukum pidana.

Pengaturan illicit enrichment di Indonesia, merupakan salah satu mandat dalam UNCAC akibat pengaruh prinsip Jus Cogen. Prinsip ini mensyaratkan negara peserta untuk menyediakan sarana untuk memperbaiki sistem hukum nasional dalam upaya pemberantasan korupsi agar aset yang telah terampas dapat kembali. 

Pengaturan illicit enrichment mesti mempertimbangkan strategi follow the money. Konsekuensinya adalah bentuk beban pembuktian pada saat seseorang diduga mempunyai kekayaan yang tidak wajar dan sah. Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, namun juga meliputi upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat kejahatan extra ordinary tersebut. Dengan demikian sepanjang belum adanya aturan tentang illicit enrichment, maka upaya pengambalian kerugian keuangan negara akan mengalami kesulitan.

Dalam membangun sistem pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, maka pendekatan in rem dapat menjadi pilihan. Perampasan in rem ditujukan kepada aset itu sendiri. Dengan demikian tidak adanya subjek pelaku kejahatan, membuat kedudukan pihak-pihak yang terkait dengan aset tersebut atau bahkan pemilik aset tersebut berkedudukan sebagai pihak ketiga. Karenanya dalam hal ini sebagai pihak pertama adalah negara melalui aparaturnya, pihak kedua adalah aset tersebut dan pihak ketiga adalah pemilik aset atau yang terkait dengan aset tersebut. 

Dengan demikian, harta kekayaan ditempatkan sebagai subjek, bukan objek. Hal ini merupakan konsekuensi logis pendekatan in rem dalam perampasan aset. Konsep in rem juga berkaitan dengan penguatan fungsi pelaporan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) dengan penerimaan konsep illicit enrichment. 

Keberadaan LHKPN menjadi prasyarat agar ketentuan illicit enrichment dapat berlaku secara efektif. Pemberlakuan illicit enrichment selain memperkuat fungsi LHKPN, juga dapat memperkuat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu, illicit enrichment sangat terkait erat dengan sistem pembalikan beban pembuktian.

Lebih lanjut, dalam upaya kriminalisasi terhadap aset hasil korupsi diperlukan adanya pengakuan bahwa aset tersebut sebagai subjek tindak pidana. Demikian itu penting terkait dengan penerapan konsep in rem dan illicit enrichment. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana belum mengatur hal tersebut. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, telah mengatur tentang subjek delik selain orang adalah juga dana yang terkait dengan pendanaan terorisme.

Pengembalian kerugian keuangan negara ini merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial, dipandang dari sudut teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan upaya-upaya pengembalian tersebut. Hasil penelitian disertasi Purwaning Yanuar telah memberikan suatu teori tentang pengembalian kerugian keuangan negara yang dihubungkan dengan teori keadilan sosial, yakni teori pengembalian aset. 

Begitu juga disertasi Muhammad Yusuf menyebutkan bahwa kebijakan hukum perampasan asset tanpa tuntutan pidana sesuai dengan UNCAC 2003 dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi perampasan aset korupsi. Kebijakan demikian membuka kesempatan luas untuk merampas aset yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana, serta aset-aset lain yang patut diduga sebagai pengganti aset hasil tindak pidana atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana. 

Dengan demikian, keberadaan atau urgensi dari undang-undang atau ketentuan khusus yang mengatur mengenai perampasan aset hasil korupsi sangat penting karena mekanisme pengembalian aset tindak pidana saat ini belum memadai.

Menurut penulis perampasan aset terhadap harta kekayaan yang diperoleh secara tidak sah dapat digunakan pendekatan conservatoir beslag. Sita jaminan sebagaimana yang dikenal dalam hukum perdata ini dimaksudkan sebagai jaminan dalam proses hukum. Penerapan sita jaminan ini dimulai pada tahap penyidikan. Hal ini penting guna menghindari terjadinya pengalihan aset. Dengan demikian ketika putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, perampasan aset tidak mengalami kendala dan tentunya sejalan dengan asas kepastian hukum yang adil.

Dalam rangka mengintegrasikan penerapan sita jaminan berbasiskan in rem harus pula diimbangi dengan kelembagaan pemberantasan korupsi yang mengedepankan kolaborasi dan sinergitas antara lembaga penegak hukum. Kemudian adanya lembaga penyimpanan harta korupsi juga penting. Segala harta hasil korupsi yang selama ini dilakukan oleh berbagai lembaga disatukan dalam lembaga khusus penyimpanan harta korupsi. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi optimalisasi RUU Perampasan Aset guna pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

Tajur Bogor, 22 Juli 2023

🙏🙏🙏