Kunjungi Rabithah Alawiyah: Rumail Abbas: Kesarjanaan Historis

 



Sabtu, 22 Juli 2023

Faktakini.info

Rumail Abbas

KESARJANAAN HISTORIS

Pelacakan Ubaidillah ibn Ahmad Al-Muhajir yang saya tempuh itu sepenuhnya adalah kesarjanaan historis, tak kurang dan tak lebih. Kesarjanaan yang saya tekuni, dan ditekuni pula oleh Mas Mun'im Sirry di Notre Dame.

Dari metodologi ini, saya sudah mengumpulkan tiga macam manuskrip tua dan dua syawahid yang sangat 'atiq. Saya ulas sedikit tentang syawahid yang paling tua.

Ada masjid yang dibangun oleh Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad Al-Muhajir di sebuah desa kecil di Yaman. Di bawahnya, semacam basement, terdapat sumur yang pada dindingnya tertulis nama:

"Ubaidillah"

Saya menghubungi beberapa kolega di US untuk berkenan mendatangkan pakar arkeologi supaya mengetahui secara saintifik kapan masjid ini didirikan, berapa umur dinding batu sumurnya, dan kira-kira ukiran "Ubaidillah" ini tahun berapa dipahat.

Saya akan mengkonfrontasi telaah saintifik ini dengan hikayat tutur warga yang tinggal di desa kecil ini, dan menanyakan silsilah mereka ke atas supaya tahu bahwa cerita yang mereka kenang tentang masjid ini sekarang benar-benar berasal dari leluhur mereka yang jadi saksi historis masjid ini di masa lalu.

Untuk diketahui, kesarjanaan historis itu memang semarak di Barat. Dan, koreksi jika saya keliru, ia lahir dari sudut pandang sekuler (bukan teologis). Meskipun bukti historis yang didapatkan sama, belum tentu sarjanawan historis memiliki kesimpulan yang sama pula.

Inilah kaidah dasar yang bisa dipakai untuk mengetahui kenapa saya dan Mas Mun'im Sirry bisa memiliki kesimpulan dan telaah yang berbeda, meskipun bukti historis yang kami miliki sama persis.

Tapi jangan terlalu curiga dengan kesarjaan historis yang sekuler, lihatlah hasil pencapaian saya kala melacak nama Ubaidillah dengan metodologi ini!

Saat di Jakarta kemarin, karena belum punya jodoh ketemu Gus Yahya Staquf, saya dolan ke Robithoh Alawiyah yang letaknya sekitar 15-20 menitan dari Kantor PBNU.

Menyenangkan sekali, mereka sangat antusias dengan metodologi yang saya terapkan untuk melacak datuk mereka yang bernama Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad Al-Muhajir.

Siapa habib kemarin yang ngomong satu habib Baalawy lebih mulia daripada 70 kiai alim? Nah, kirimkan foto di bawah ini ke mereka:

"Satu orang mas-mas Jawa sedang 'dikepung' 10 Baalawi yang antusias mendengarkan riset yang dikerjakan!"

Baalawi yang "mengepung" saya ini ada yang menjadi tokoh, ada pula yang muda (di samping kanan saya: Ali Assegaf dan Pangeran Alatas). Ada yang menjadi sesepuh (dan mendoakan riset saya), ada yang jadi profesor di bidang elektro, dan ada pula yang sedang menempuh doktoral di UIII, murid bimbingnya Mas Syafiq Hasyim.

Di tempat lain, saya ngobrol tentang silsilah Walisongo dengan pengurus Maktab Daimi di Pekalongan, dan menanyakan berapa manuskrip yang mendasari keputusan Maktab Daimi tentang silsilah keturunan Walisongo kepada Ammul Faqih.

Karena jadwal di Jakarta cukup padat, ditambah kemacetan yang naudzubillah, akhirnya saya cuma bisa berpindah ke sedikit tempat dan tidak dapat bergeser ke Banten untuk sowan kepada Kiai Imaduddin.

Saya pun tidak sempat ke kediaman محمد فاضل, tidak jadi sowan ke Habib Jindan, malah 'dipaksa' ke Bogor dan menginap di kediaman Ali Toli-Toli, ngobrol seharian dengan Ami Syekh (sesepuh Baalawi di Polonia), dan 'dipaksa' ke Jaksel untuk ketemu Hasyim Al-Idrus yang sedang berkunjung dari Hadlramaut.

Kenapa saya berkunjung ke Baalawi? Karena merekalah yang paling memahami leluhurnya daripada orang lain! Merekalah sumber utama untuk pelacakan, biar tidak acak~

Saya sudah menghubungi Kiai Hanan Al-Hasani di komentarnya saat beliau mengundang saya untuk menelaah manuskrip Walisongo yang beliau miliki di rumah. Kemungkinan, setelah rampung meneliti Baalawy, akan saya lanjutkan untuk meneliti Walisongo dan keturunan mereka di Nusantara.

Saya ini tidak mendasari penelitian ini untuk polemik, tapi memulai dan mendasarinya untuk kemuliaan ilmu pengetahuan.

Jadi tidak usah digeser kemana-mana.

Saya bisa dilabeli banyak hal. Ada yang menganggap saya berpemikiran liberal, saya dituduh Syiah, saya dituduh Wahabi, dituduh pendukung pemikiran sesat Buya Syakur, pendukung kesesatan lain, dan lain-lain, itu semua terserah Anda (saya pun tidak peduli).

Tapi dari semua label yang disematkan kepada saya, "mundur dari sebuah tantangan debat dan keseriusan riset" tidak pernah ada di kamus saya.

🤌

Difoto oleh: M Alvin Nur Choironi