Rumail Abbas: Ruam, Imaduddin Kabur dari pembahasan Al-Syajarah Al-Mubarokah, dari bukti historis isnad dan lainnya

 


Kamis, 7 September 2023

Faktakini.info

Rumail Abbas

RUAS

Di bawah ini adalah salah satu ruas perpustakaan pribadi saya, isinya buku-buku bergenre sejarah. Tentu saja masih ada ruas lain, ada pula genre lain, di samping kitab-kitab yang saya kaji selama mondok di pesantren (tapi saya tak mau pamer di sini).

Saya mengawali tulisan ini dengan menunjukkan kepada Anda bahwa: refleksi kemerdekaan & nasionalisme yang saya sampaikan di Bondowoso bukanlah muncul dari omong kosong, tapi telaah panjang yang sudah melalui berbagai macam literatur dan penelitian lapangan.

Jadi saya tidak bicara asal-asalan, dan sangat bisa mempertanggungjawabkan apa yang keluar dari mulut saya kemarin.

Saya menghargai perspektif, makanya saya sangat mempersilakan Anda untuk tidak setuju dengan tafsir historis yang saya simpulkan.

Namun ketika saya membaca tulisan Kiai Imad yang berjudul "Sepucuk Surat Cinta", beliau itu macam orang kerdil.

Orang besar membicarakan gagasan, sementara orang kerdil membicarakan orang. Orang itu adalah saya, yang dari tulisan Kiai Imad seolah-olah mengatakan bahwa saya ini punya pemahaman yang sinting tentang nasionalisme.

Tak cukup sendirian, ia mengompori orang-orang untuk menilai saya seperti itu. Jelas banget Kiai Imad memberikan komentar miring tentang orang. Dan orang itu adalah saya.

Cih.

Kabur dari pembahasan Al-Syajarah Al-Mubarokah, kabur dari bukti historis isnad, kabur dari kekeliruan Baalawi adalah keturunan Bajadid, dan terakhir kabur dari cocoklogi Al-Qola'i sebagai Kholi' Qosam, eh, Kiai Imad malah membicarakan orang.


Lagi-lagi orang itu adalah saya, yang sedang bicara tentang hal lain. Padahal, ia sendiri yang selalu bicara soal mahallun niza', tapi ia sendiri yang selalu kabur dari mahallun niza'.


Mugholathoh yang paling tepat ketika orang kerdil terpojok adalah kill the messenger (bunuh kredibilitas pembawa pesan), biar terkecoh dari pesan-pesan yang saya sampaikan tentang rapuhnya argumen Kiai Imaduddin dalam membatalkan Baalawi.


Saat bertemu beliau di Jakarta (acara Padasuka) dan saya jelaskan bahwa saya bukan Baalawi (karena ia sempat meragukan obyektifitas saya), saya memberi tahu beliau dari klan mana saya berasal.


Untuk Antum ketahui, Kiai Imad, ide-ide saya tentang bangsa dan negara itu bisa dilihat dari rekam jejak. Tidak perlu membawa-bawa kabilah, karena membuat Anda jauh lebih kerdil lagi.


🤌


Salam,

Rumail Abbas