Warga Pulau Rempang Dipaksa Setujui Relokasi, Layanan Faskes dan Sekolah Dihentikan sejak Agustus
Jum'at, 15 September 2023
Faktakini.info, Jakarta - Di Pulau Rempang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau, layanan puskesmas dihentikan dan sekolah-sekolah negeri dipindahkan sejak Agustus 2023 karena proyek Rempang Eco City.
Cara itu dianggap sebagai bentuk pengusiran paksa yang jelas-jelas melanggar konstitusi dan hak asasi manusia (HAM).
Hal ini dilakukan BP Batam dan Pemko Batam untuk memaksa warga Rempang meninggalkan kampung halaman mereka, dan menyetujui relokasi karena adanya proyek Rempang Eco City.
"Sungguh negara Indonesia sedang melakukan pemaksaan dan penindasan terhadap warga Rempang. Bahkan secara tidak langsung negara telah membunuh kehidupan dan masa depan warga Rempang," sebut tokoh masyarakat Riau dan Kepulauan Riau Azlaini Agus, Rabu (13/9).
Padahal, di dalam pembukaan UUD Negara Indonesia tahun 1945 ditegaskan bahwa Negara wajib melindungi seluruh tumpah darah dan segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum.
Karena itu, ia menyebut negara telah melanggar dan mengabaikan konstitusi serta hak asasi manusia (HAM).
"Dalam kasus Pulau Rempang, penguasa negara sudah mengabaikan amanah konstitusi tersebut," kata Azlaini Agus.
Ia menyayangkan penguasa pada pemerintahan saat ini yang sudah melakukan penindasan dan pelanggaran HAM warga negara sendiri, yakni penduduk Pulau Rempang.
Negara telah melanggar hak warga untuk bertempat tinggal, hak untuk bermata pencaharian, hak atas kesejahteraan lahir dan batin, hak atas pelayanan kesehatan dan hak untuk mendapatkan pendidikan dan tumbuh kembang anak-anak generasi penerus.
Kronologi Proyek Rempang Eco City
Ia mengungkapkan, masuknya investor ke Rempang, diawali dengan ditandatanganinya MOU tahun 2004 antara Walikota Batam Nyat Kadir dengan investor dari Group Artha Graha yakni PT Makmur Elok Graha (MEG).
Akan tetapi selama 19 tahun lahan yang diberikan kepada investor tersebut tidak digarap atau ditelantarkan.
Lalu masuklah sejumlah orang-orang dari luar Rempang yang membuka berbagai usaha seperti ternak babi, ternak ayam, dan kebun buah-buahan. Mereka adalah pendatang yang menempati bagian darat dari Pulau Rempang.
"Sedangkan penduduk asli keturunan Prajurit Sultan Riau Lingga sejak dulu hingga kini menempati dan berdiam di bagian pesisir di 16 kampung tua Pulau Rempang," jelasnya.
Ia menerangkan, selama 19 tahun ditelantarkan seharusnya hak atas lahan sudah dicabut oleh Pemerintah sesuai dengan UUPA atau UU Nomor 5 Tahun 1960.
Pada 2023, PT MEG menggandeng investor dari Tiongkok dengan investasi disebutkan sebesar Rp381 triliun.
Masuknya investor dari Tiongkok ini adalah hasil kunjungan Presiden RI ke Negara Tirai Bambu itu akhir-akhir ini.
Untuk megaproyek yang disebut Rempang Eco City nanti, BP Batam mengalokasikan tanah seluas 117.000 Hektare (Ha).
Berarti seluruh pulau Galang yang luasnya 116.000 ha, ditambah dengan pulau-pulau di sekitarnya seperti Pulau Galang dan lain-lain.
"Untuk itu seluruh penduduk Pulau Rempang yang berdiam di 16 kampung tua, akan dipindahkan (direlokasi) ke tempat lain, yang sampai saat ini tempat relokasi itu sama sekali belum dibangun," jelasnya.
Warga Rempang Tahu dari Media Sosial
Ia menambahkan, warga Rempang baru mengetahui adanya rencana pembangunan megaproyek Rempang Eco City pada awal Agustus 2023 dari berita di media.
Tidak ada sosialisasi resmi dari pemerintah sebelumnya. Kemudian, lanjutnya, sejak awal Agustus 2023 pihak BP Batam berusaha masuk ke Pulau Rempang untuk memasang patok di atas tanah yang sudah diberikan kepada investor.
Tetapi tidak berhasil karena warga masyarakat mengusir setiap kali orang-orang BP Batam datang ke Rempang.
Selanjutnya, tanggal 23 Agustus 2023, seluruh warga masyarakat Rempang dan pulau-pulau sekitarnya dengan 6.000 massa menggelar aksi unjuk rasa menolak relokasi.
"Warga Rempang tidak menolak masuknya investasi jika memang negara membutuhkan investasi tersebut. Mereka hanya menolak digusur dari tanah leluhurnya. Mereka menolak dipindahkan dari kampung-kampung tua yang sudah mereka huni sejak 300 tahun yang lalu secara turun temurun," jelasnya.
Kemudian, aksi unjuk rasa dengan 6.000 warga tidak mendapat tanggapan dari Kepala BP Batam H.M. Rudi dengan alasan bahwa ini perintah Presiden karena ini proyek pemerintah pusat.
Pada 7 September 2023, sebanyak 1.000 personil gabungan Polri, TNI, Satpol PP, dipimpin oleh Kapolresta Barelang "memaksa masuk" ke Pulau Rempang untuk memasang patok lahan investor.
Seluruh warga masyarakat bertahan di Jembatan IV, satu-satunya akses jalan masuk ke Pulau Rempang.
Di sini terjadi insiden antara aparat dengan warga, puluhan warga mengalami luka-luka akibat pukulan dan tindak kekerasan aparat, dan dilarikan ke rumah sakit. Juga termasuk anak-anak sekolah.
"Bahkan seorang bayi yang menjadi korban gas air mata yang ditembakkan aparat secara membabi buta. Hari itu warga Rempang berduka. Usaha dan perjuangan mereka mempertahankan kampung halaman nenek moyang mereka gagal. Sekarang mereka tidak tahu harus ke mana," ujarnya.
Tempat Relokasi Belum Dibangun
Menurut Azlaini, relokasi yang dijanjikan BP Batam sampai hari ini belum jelas bahkan sama sekali belum ada. Karena sarana prasarana relokasi pun sama sekali belum dibangun.
"Ke mana 5.000 jiwa penduduk ini akan melanjutkan hidup dan kehidupan mereka?" ujarnya.
Sementara itu Presiden Jokowi telah mengeluarkan Instruksi kepada BP Batam dan aparat keamanan bahwa tanggal 28 September 2023, Pulau Rempang harus dikosongkan untuk dimulainya pembangunan investasi Rempang Eco City.
Kemudian, pada 11 September 2023, kembali warga menggelar aksi menolak relokasi yang mengakibatkan lebih 30 orang warga Rempang dan peserta aksi saat ini sedang ditahan di Mapolresta Barelang dan Mapolda Kepri.
"Sekarang ini seluruh Masyarakat Melayu dari seluruh daerah di Indonesia seperti Riau, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Sumatera Utara dan lain-lain bahkan juga warga dari wilayah-wilayah lain sudah menyatakan dukungan kepada Warga Rempang," pungkasnya. [mediaindonesia]
Foto; Warga Rempang yang ditangkap