Rumail Abbas: Untuk Imad (Menjawab Fitnah terhadap Sayyid Alwi bin Thahir Alhaddad)
Selasa, 24 Oktober 2023
Faktakini.info
UNTUK KIAI IMADUDDIN
Wah, tumben sekali; sehari setelah saya bikin sanggahan, Kiai Imaduddin langsung membalas. Tulisan kali ini Kiai imaduddin seperti menahan diri, tidak berapi-api, dan saya suka. Karena Kiai Imaduddin nampak kembali ke debut awalnya dalam membatalkan genealogi Baalawi; 'ilman bi 'ilmin 'aqlan bi 'aqlin.
Judulnya: "Gus Rumail Dan Alawi Bin Tahir Al Haddad, Siapa Yang Berdusta?"
Tidak seperti tulisan-tulisan beliau sebelumnya yang penuh gertakan "jangan sekali-kali mengunggah PDF manuskripnya!", ditambah-tambahi bumbu insinuasi, dan penggiringan opini (sehingga saya mengikuti ritmenya).
Karena ketiga alasan itulah saya tidak lagi peduli dengan usulan Mas Sugeng untuk berbagi data (temuan yang saya dapatkan), dan biar cara penafsirannya saja yang didiskusikan antara Kiai Imaduddin dan saya.
Kata saya ke Mas Sugeng setelah melihat tingkah Kiai Imaduddin yang aneh tadi: Ini penelitianku, ya, semauku. Karena ini temuanku, ya, akan aku kupublikasikan kapan aku mau. Mau Baalawi atau Kiai Imaduddin tak sabar menunggu, tak terlalu penting bagiku. Toh, itu urusan mereka, bukan urusanku. Jika tak sabar, ya, silakan cari sendiri semaumu~
Tapi untuk sementara, jawaban saya kenapa membenarkan Alwi bin Thahir adalah seperti ini:
Saya menemukan 10 macam manuskrip (salinan kedua dan ketiga) berisi puluhan hadis yang diriwayatkan beberapa tokoh Baalawi, di antaranya...
- Imam Ahmad Al-Muhajir
- Abul Qasim An-Nufath Al-'Iraqi Baalawi
- Imam Hasan bin Muhammad Al-'Allal Baalawi
- Sisanya akan saya beritahu (jika sudah waktunya, dan tentu saja semauku)
Dari bukti-bukti materiil inilah saya mendapati kesalahan penulis naskah (nusakh) manuskrip untuk dua orang Baalawi: "An-Nufath (النفاط)" yang seharusnya bukan untuk Imam Ahmad Al-Muhajir (namun keturunan kelima yang berkunyah: Abu Al-Qasim), dan redaksi "Al-Dallal (الدلال)" untuk Hasan bin Muhammad yang seharusnya "Al-'Allal (العلال)".
Dan karena ini saksi sezaman, apalagi isnad hadis itu sepaket dengan kejujuran, tentu saja penyebutannya akurat dan membenarkan hipotesa Alwi bin Thahir Al-Haddad. Kali ini tulisan tangannya sangat jelas, tidak seburam “min” dan “bin”, atau “Hasan” dan “Muhsin” dalam Al-Majdi, Kiai.
Dua manuskrip di antaranya saya dapatkan dari ulama Syiah di Irak, dan satu lagi dari Iran (sisanya rahasia). Dan isnad puluhan hadis dari Abu Al-Qasim yang bergelar An-Nufath memperkuat hipotesa Alwi bin Thahir dalam 'Uqud Al-Almas tentang Ahmad Al-Muhajir (di samping Al-'Allal tadi adalah temuan saya sendiri).
Seingat saya, naskah dalam video berjudul "Melacak Ahmad Al-Muhajir" tidak menyebutkan Alwi bin Thahir menyaksikan manuskripnya langsung, tapi saya bilang: ia "berburu" manuskrip sampai lima kota di tiga negara.
Saya memang sengaja memakai kalimat "berburu" untuk memberi kesan bahwa Alwi bin Thahir memang mencarinya (dan memang ia mencarinya, kendatipun saya tidak tahu apakah ia benar-benar pergi ke tiga negara itu setelah mendapatkan surat itu atau tidak), tidak seperti Kiai Imaduddin yang duduk manis di depan laptop dan berselancar di Internet tanpa mencari tahu isi redaksi manuskripnya.
Pesan yang ingin saya sampaikan ke Kiai Imad pada kalimat "berburu" ada tiga hal:
Pertama,
Saya teringat bagaimana Kiai Imaduddin meledek saya cuma ngopi di kantin biasa, tidak bertemu siapa-siapa, padahal yang pergi ke Jordan dan menemui Direktur Dar Al-Ifta' adalah saya.
Kenapa Kiai Imaduddin sok tahu?
Kedua,
Kiai Imaduddin memberi kesan ke ke semua orang bahwa kepergian saya ke Barat tidak membawa apa-apa (sampai-sampai disamakan Sun Go Kong, padahal orang-orang sedang gandrung sama One Piece karena Luffy sudah mencapai Gear-5).
Sewaktu saya pancing dengan Al-Hawi, malah yang dipamerkan justru karangan Abu Al-Ghana`im. Atau Tarikh Madinat Al-Shona'a yang saya sebutkan sezaman, namun dikira ada Ubaidillah di sana.
Kenapa Kiai Imaduddin sok tahu?
FYI: Al-Hawi disebutkan Ibn Inabah, di samping Muqaddimah yang ia pelajari kali pertama, sebagai karya Al-Ubaidili. Buktikan saya keliru: Kiai Imaduddin tidak akan mendapatkannya dalam Thobaqot Al-Nassabin atau Fihris Makhthuthat (bahkan Gus Zaini lebih canggih karena menemukan konfirmasi kitab Al-Intishar libani Fathimah Al-Abrar).
Ketiga,
Alwi bin Thahir melacak manuskrip sampai tiga negara, lima kota, bahkan delapan tempat. Tapi Kiai Imaduddin melacaknya dari mana? Bukankah ini tidak equal? Jika tahu manuskripnya berada di mana, kenapa tidak meminta tolong temannya di Yaman untuk memfotokannya?
Kendatipun saya tidak menyebutkan "reportase Alwi bin Thahir hanyalah kutipan ulang dari surat ulama nasab yang berisi redaksi manuskrip itu" (toh saya sudah menampilkan halamannya supaya orang tahu bagaimana redaksi lengkapnya), saya tidak merasa hal ini relevan untuk saya sampaikan.
Karena yang paling relevan ialah: menyebutkan ikhtiar Alwi bin Thahir dalam penjelajahan manuskrip (sekali lagi, entah bagaimana caranya), namun Kiai Imaduddin tidak menyebutkan ikhtiar ini sama sekali ini lantas menginsinuasi kemungkinan Alwi bin Thahir berbohong.
Padahal tulisan Kiai Imaduddin menyebutkan kata "manuskrip" sampai 12 kali, tapi tidak sekalipun disandarkan pada Alwi bin Thahir, kenapa? Bagaimana bisa Alwi bin Thahir disebut berbohong, lawong untuk dibuktikan ia benar atau berdusta saja masih belum?
Saya ulangi penjelasan ini:
Orang yang memberi tahu bahwa Alwi bin Thahir men-tahrif redaksi Al-Ubaidili dan Al-Umari, tanpa menjelaskan kenapa Alwi bin Thahir bisa sampai menulis "bin" (bukan "min"), tentu saja tidak memenuhi kaidah "in kunta naqilan fa al-shihhatu", dong?
Mengikuti muhaqqiqun? Hum rijalun, Alwi bin Thahir rijalul, wa Kiai Imaduddin rijalun. Kenapa bersandar pada orang lain, bukan sumber primernya langsung? Bukankah “Sumber Primer” adalah kalimat sakti Njenengan, Kiai?
Kiai Imaduddin seperti orang yang sesumbar di media sosial bahwa Gus Hanif Farhan adalah pemukul anaknya sendiri yang berumur sepuluh tahun (sekadar contoh), supaya netijen mengira Gus Hanif adalah bapak brengsek yang mengianiaya anak kandungnya.
Padahal, Gus Hanif melakukan itu karena anaknya sudah berumur 10 tahun, dan enggan mendirikan salat--itupun dengan pukulan yang tidak menyakitkan, namun Kiai Imaduddin tidak menampilkan alasan itu di tulisannya.
Dalam standar ilmu modern, hanya menjelaskan pemukulan anak, tanpa dicantumkan pula keterangan anaknya tidak mau salat--dan pukulannya tidak menyakitkan, adalah “kebenaran sepenggal" yang sama dengan “kedustaan”, Kiai!!! (saya masih memakai tanda kutip saja, lah)
Saya belum sempat membikin video untuk 2-3 hari ke depan (audio-visual lebih bisa mewakili uraian saya daripada tulisan) karena punya banyak pekerjaan, dan nanti akan saya jelaskan jika memang ada waktu luang untuk taping.
Oiya~
Di bawah ini adalah foto seseorang bersama Sayid Mahdi Raja’i di kediamannya di Qum. Pertanyaannya: siapakah orang itu? Apakah saya? Jika saya, artinya saya sampai ke Iran, dong? Apa yang saya dapat di sana? Ataukah dia orang lain?
Silakan cari di Google Image jika terbukti foto ini adalah foto bertahun-tahun yang lalu~
🤌
Salam,
Rumail Abbas