Damai Lubis: Jokowi Adopsi Machiavellisme Politik Segala Cara yang Kontra Pancasila

 




Selasa, 21 November 2023

Faktakini.info

*Jokowi Adopsi Machiavellisme Politik Segala Cara yang Kontra Pancasila*


Damai Hari Lubis

Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212


Jokowi/ Jkw melaksanakan sistim politik fasisme, hanya mungkin tanpa disadari, hanya karena egonya, alhasil terkondisikan seolah Ia mengadopsi teori Machiavelli dengan prinsip, " untuk mencapai tujuan seseorang boleh menggunakan segala cara ", walau beda kelas namun identik misinya. Yakni kekuasaan teori Machiavelli yang sesungguhnya melahirkan aliran fasisme ala hitler untuk menguasai dunia, sedangkan Jkw untuk tetap pertahankan kursi kekuasaannya cukup didalam negerinya sendiri


Gaya kepemimpinan Jkw miniatur fasisme secara sempit atau dengan kategori fasis mini, karena memaksakan kehendak kepada seluruh rakyatnya yang tidak sepemahaman, melalui cara seolah menengarai atau menuduh oposisi definitif sebagai kelompok yang berperilaku haram atau memiliki ideologi sesat atau inkonstitusional, ( " tuduhan " nihil asas legalitas), sehingga oleh karenanya oposan patut dimusuhi atau dianak tirikan dan selanjutnya oposisi oleh penguasa diprediksi permanen akan menghalau kepentingan, menghambat pelaksanaan serta kebijakan politik penguasa. Sebaliknya justru kacamata oposan terhadap penegakan hukum dan politik oleh penguasa sebagian besarnya kontradiktif atau menyimpang daripada sistim konstitusi ( hukum positif ) sehingga harus dikritisi, mesti dicegah lalu diberi masukan yang benar dan berkepastian hukum


Selebihnya pemerintahan Jkw menurut analisa politik dan pengamatan publik, terindikasi banyak menggunakan manuver politik dengan berbagai pola pemaksaan melalui cara - cara memperalat para oknum aparatur penegak hukum, dengan menggunakan domein kekuasaannya, adapun representasi dari kebijakan dimaksud dapat disimak melalui jejak digital, melalui data-data yang empirik, sehingga tidak berdasarkan apriori semata, melainkan " banyak tanda - tanda umum " terhadap praktik pengambilan dan pelaksanaan diskresi atau kebijakan hukum dan politik oleh penguasa dalam bentuk bad politics ( politik yang buruk ) serta inkonstitusional 


Praktik bad politics ini diantaranya memperalat lembaga KPU. Salah satu perangkat ruang kekuasaan yang dimiliki eksekutif, riil-nya KPU bukan dijadikan semestinya sebagai perangkat pelaksana demokrasi ( Pemilu ) atau sebagai alat untuk menyelenggarakan tatacara pemerintahan penguasa untuk menjalankan sistim demokrasi sesuai tuntutan dan tuntunan konstitusi, namun KPU seperti disengaja khusus dipola untuk dapat diperalat, dipengaruhi menjadi alat kelompok penguasa ( oligarki ), bahkan KPU setelah " ditundukkan ", beberapa oknum petingginya, telah melakukan brutal politics ( politik yang brutal ), oleh karena diantara para oknum petingginya ( komisioner ) ada indikasi dan publis, telah melakukan praktek politik kotor melalui intimidasi, bahkan teror fisik kepada para anggota KPUD, juga ada oknum komisioner *KPU yang menggunakan pola bed politics (politik ranjang atau politik tempat tidur) terhadap sosok perempuan ( Hasnaeni Moein ) selaku ketua umum sebuah partai politik.*


Maka kesemua pola yang disuguhkan oleh para oknum KPU. Termasuk jika dihubungkan dengan berbagai isu adanya misi penghancuran penegakan demokrasi pada pemilu 2024 melalui metode praktek kecurangan penghitungan suara, hal ini pastinya bertentangan dengan tupoksi KPU merujuk undang - undang KPU serta sistim hukum positif yang ada. 


Selanjutnya deskripsi dari beberapa diskresi, telah menunjukan gejala atau ciri - ciri attitude kebijakan hukum dan politik para pejabat penguasa penyelenggara negara atau penguasa pemerintahan telah melakukan abuse power , karena gunakan " unsur unsur institusi kelengkapan kekuatan negara sehingga tidak proporsional dan tidak profesional serta tentu tidak akuntabel, karena bukan porsi dan bukan fungsinya, melainkan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu ( equal ) serta menjaga kelangsungan keamanan rakyat sipil dari tindakan kriminal serta mesti bersikap objektif dan kredibel. Dan Jkw juga telah mendayagunakan aparatur berseragam yang sebenarnya untuk kepentingan menghadapi musuh asing atau pergolakan bersenjata di tanah air, namun ternyata dikerahkan serta difungsikan secata irrelevan, hanya untuk membuat dan timbulkan rasa takut kepada rakyat sipil pada sebuah golongan tertentu, dalam suasana atau keadaaan yang tidak ada pemberontakan sipil atau pemberontakan militer, tidak ada agresi negara asing . Oleh karenanya banyak kebijakan kepemimpinan Jkw yang tidak mengacu pada sistim konstitusi ( hukum positif ) yang berlaku, atau menyimpang dari ketentuan konstitusi dasar UUD. 1945, 


Jkw pun secara sadar menghilangkan faktor political balancing di sektor pengawasan dan kepastian hukum ( keseimbangan politik , hukum dan kekuasaan ) dan hasilnya berubah menjadi kolaborasi " political domination " atau politik yang mendominasi demi kepentingan segelintir penguasa, pengusaha naga dan kroni pendukungnya atau oligarki, sebagai bagian dari stakeholder yang ingin tetap meraup keuntungan dengan cara dekat dengan singgasana kekuasaan


Kemudian kolaborasi eksekutif atau penguasa pemerintahan negara ( oligarki ) ini, memporak porandakan fungsi legislatif dan yudikatif lalu ditunggangi sebagai alat politik kekuasaan para eksekutif, sehingga faktor keseimbangan pada sistim trias politika menjadi sirna, karena inspirasi atau imajinasi para penguasa hanya melahirkan kreatifitas negatif, sehingga manuver politik mendegradasi atau menghapus fungsi daripada faktor penyeimbang kekuasaan serta kepastian hukum ( legislatif dan yudikatif )


Proses gaya machiavellisme ini berdampak moral hazard atau degradasi moral dari para pejabat eksekutif, legislatif maupun pejabat yudikatif, hal hazard politics atau perilaku politik negatif ini, semata hanya demi menjaga kursi kekuasaan para penguasa di ketiga ( ke - 3 ) lembaga dimaksud, dan lacur para kelompok penguasa pada trias politika yang sidah menjadi kelompok oligarki, dirasakan oleh publik saling back - up untuk menjadikan kelompok oposisi musuh bersama, seolah kelompok oposan sebagai kelompok masyarakat berperilaku ekstrim, radikal dan suka kekerasan, tuduhan ngawur, karena kelompok oposisi sebenarnya merupakan masyarakat pencahari keadilan, dan pemerhati atau mengkritisi kebijakan dan kinerja politik penguasa di- tiga lembaga trias politika, dan pihak oposisi selalu berusaha dalam setiap aktifitas giat juangnya melulu berpedoman serta berkesesuaian dengan ketentuan ( rules ) 


Selanjutnya fakta yang ada, terhadap kelompok oposisi, yang diantara individunya ( Mayoritas Muslim ) yang fundamental atau radikal, dalam makna ; kuat dan kokoh, serius dan konsisten dalam memperjuangkan hakekat kebenaran, patuh serta menundukkan diri kepada sistim konstitusi, namun malah dianggap sebagai kelompok intoleran, padahal eksistensi golongan oposisi patut dan lazim dipahami oleh penguasa saat ini, selalu hadir serta menghiasi negara - negara di dunia yang menganut sistim demokrasi, namun pada kenyataannya penguasa di tanah air, justru memberi signal negatif, seolah oposan adalah " kaum mayoritas" dengan lebel " politik identitas " serta keberadaannya ingin mendapat stempel akan menganggu atau merusak tatanan hukum yang berlaku ( ius konstitum ), bahkan diberi kesan ingin merebut kekuasaan serta merubah ideologi negara


Secara ilmiah atau analis hukum ada beberapa kasus praktik politik Pemerintahan Jkw yang dapat dijadikan ilustrasi hukum selain politik brutal KPU adalah :


1. Ketentuan Prokes Covid 19 yang lahir akibat pagebluk corona 19 atau wabah virus corona, secara yuridis prokes ini hanya sekedar hukum cita - cita atau ketentuan yang sifatnya mudah - mudahan berlaku ( ius konstituentum ) faktanya terhadap beberapa sosok tokoh ulama dan para aktivis hukum yang konsisten, yang dianggap melanggar prokes, praktiknya terhadap mereka diberlakukan seolah Prokes Covid 19 sebagai ius konstitum atau hukum positif atau hukum yang wajib diberlakukan, sehingga terhadap mereka yang dianggap merupakan bagian yang dikenali penguasa sebagai kelompok oposisi, telah dijatuhi sanksi dengan vonis penjara


2. Kasus " bohong " yang melibatkan Ulama Besar di negara ini ( HRS ), perkara yang mengundang debatel para ahli hukum, Beliau nyatanya dituntut dan mendapat vonis melebihi kasus korupsi yang extra ordinary crime atau kejahatan yang luar biasa


3. Fakta hukum, ada gerakan penyelewengan terhadap konstitusi dasar negara oleh para petinggi negara ini melalui wacana serta pergerakan terhadap penyelewengan hukum tertulis pada pasal 7 UUD. 1945 terkait masa jabatan presiden yang terbatas hanya untuk 2 periode, yang isi lengkap pasal tersebut berbunyi :


" Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan "


Namun hukum yang tertera pada dasar konstitusi negara ini dilalah, ingin dilanggar dengan modus undur pemilu 2024 dus otomatis Jkw. Menjadi presiden 3 periode , selain ide yang amat sesat ini datang dari para Tokoh Politik serta sekaligus terhadap diri mereka ada yang menjabat menteri di kabinet Jkw. Termasuk para tokoh politik yang punya kursi di DPR RI., MPR RI dan DPD RI. bahkan ide ini sudah bergulir, dan nyata telah aktif pergerakannya secara STM/ Sistematis, Terstruktur dan Masiv, oleh berbagai kelompok, namun gerakan yang secara asas hukum sebagai makar terhadap konsitusi ini, karena ketentuannya terdapat didalam dasar konstitusi Negara RI ( UUD. 1945 sebagai sumber hukum NRI ). Nyatanya dibiarkan terus keberlangsungan dan pergerakannya yang STM, hal dugaan makar ini oleh para ahli/ pakar hukum ini, hanya mendapat balas komentar pendek oleh presiden Jkw ; " gak apa - apa hanya sekedar wacana ", seolah - olah UUD. 1945 hanya sebuah ius konstituentum atau mudah - mudah berlaku. Sungguh Ironis pendapat sungsang dari seorang presiden yang seharusnya justru memberikan perintah kepada aparatur yang berwenang untuk melakukan proses investigasi atas dasar perkara yang memiliki unsur makar terhadap konstitusi, maka Jkw dapat saja jika hukum dapat ditegakkan, dirinya dapat diduga sebagai pelaku pembiaran adanya tindak pidana Jo. Obstructon of Justice ( Pasal 421 KUHP Jo. 221 KUHP )


4. Perihal terbitnya RUU. HIP. yang isinya Pancasila ditekan menjadi Tri sila lalu ditekan lagi menjadi Eka Sila lalu Eka Sila disebut menjadi Gotong Royong, sehingga RUU.HIP. ini punya indikasi kuat secara hukum sebagai bentuk " makar ' terhadap Dasar Negara RI, yaitu Pancasila sebagai. HIP ini diinisiasi oleh sebuah lembaga dibawah eksekutif yakni BPIP, lalu disahkan oleh lembaga legaslatif Para Anggota DPR . RI *( Minus PKS dan Demokrat )* juga dianggap angin lalu, kembali dianggap sebagai bentuk pelanggaran Prokes Covid 19, dalam artian jurisdiksi sebenarnya, yakni ius konstituentutum/ ius konstituentum padahal kejahatan ini telah memenuhi unsur unsur delik yakni adanya unsur - unsur subjek hukum pelaku inisiator, tempus dan lokus perbuatan dilakukan atau pembuatannya dan pengesahan dari para legislasi DPR RI terhadap RUU. HIP ini, yang merupakan pelanggaran serius terhadap ius konstitum ( hukum positif ), nyatanya lagi - lagi didiamkan presiden dan para penegak hukum yang tahu akan adanya pelanggaran a quo in casu, kejahatan terhadap Dasar Negara RI Pancasila, seolah dianggap sebuah pelanggaran ius konstituentum , sekedar sifatnya " mudah - mudahan berlaku.


5. Kebijakan politik atau diskresi, bahwa Pemerintah RI akan menjual beberapa pulau di tanah air kepada pihak asing, karena percuma tidak digunakan, padahal secara substantif membuktikan Jkw dan kabinetnya tidak sanggup mengelola pulau - pulau tersebut ?


6. Jkw juga membuat kebijakan hukum dan politik, yakni HGU dapat dimiliki orang asing untuk kurun waktu 160 tahun dan second home visa atau visa kunjung WNA ke wilayah NKRI untuk masa/ waktu 10 tahun kunjungan ? 


Terhadap fenomena nyata sistim suka - suka dengan metode atau pola machstaat yang dilarang oleh konstitusi dasar UUD. 1945 dan berbagai praktik hukum dan politik over lap/ tumpang tindih serta tidak equal, sarat melanggar pedoman rule of law. Maka wajar jika disimpulkan rezim saat ini, dibawah kepemimpinan Jkw berlaku suka - Suka ala Machiavelisme , sistim yang bertentangan dengan pancasilaisme , karena sistem yang digunakan berkesan fasisme, yakni segala cara kekuatan digunakan tuk meraih dan pertahankan ego kekuasaan, dalam skala atau wilayah kecil atau level domestik, atau miniatur fasisme. 


Bahkan sistim dan " perilaku Jkw " sepintas mirip sistim monarki model presidentil, atau monarki spesial versi Joko Widodo " yang pastinya sistim yang jelas pada era Presiden Jokowi bukan sistim demokrasi dan bukan juga sistim monarki absolut