Pemilu 2024: Kejanggalan Demokrasi

 



Jum'at, 16 Februari 2024

Faktakini.info

Pemilu 2024: Kejanggalan Demokrasi

Eskalasi masalah pemilu 2024 berpotensi semakin mendegradasi demokrasi dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Kejanggalan-kejanggalan yang terjadi menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat, bukan hanya margin error hasil penghitungan sementara KPU yang mencuri perhatian publik, namun banyak hal lain yang seakan menggambarkan telah terjadi sesuatu yang disiapkan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Mulai dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor. 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi “kendaraan mewah” bagi salah satu anak Presiden untuk ikut serta dalam kontestasi 5 tahunan ini. Putusan MK Nomor. 90 ini pada faktanya membuat Anwar Ustman diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya sebagai Hakim Ketua MK, tentu putusan tersebut bukan tanpa alasan, Jimly Asshidiqie (Ketua MKMK) dalam Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 02/MKMK/L/11/2023 memutuskan bahwa Anwar Ustman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketidak berpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa putusan tersebut sangat berkaitan dengan hubungan antara Anwar Ustman dengan penerima manfaat dari Putusan MK. 90 tersebut yaitu sang kemenakan yang pada akhirnya dapat ikut serta dalam kontestasi Pemilu 2024 sebagai Cawapres. 

Tidak berhenti sampai disitu, pelanggaran etik kembali terjadi, kali ini Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan perkara Nomor. 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, 141-PKE-DKPP/XII/2023, dengan sebab Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika itu tidak atau belum menyesuaikan Peraturan KPU (PKPU) terkait pendaftaran Capres-Cawapres berkaitan dengan Putusan MK. 90 tersebut, yang mengakibatkan Ketua KPU Hasyim Asy’ari dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir, selain itu enam anggota KPU juga dijatuhi sanksi peringatan keras, yakni M Afifuddin, Parsadaan Harahap, Betty Epsilon Idroos, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz.

Semua itu mengakibatkan terjadinya hal yang tidak lazim, dimana prosedur yang dilalui untuk aturan terkait batas umur Capres-Cawapres tersebut mengandung cacat etik dengan terjadinya serangkaian pelanggaran etik, namun substansi dari aturan tersebut harus diterima dan tidak dapat diganggu gugat. Hal ini mengundan dan membuka ruang diskusi yang cukup besar, dimana sebagian ahli mengatakan bahwa Putusan MK bersifat final and binding sehingga serangkaian pelanggaran etik yang terjadi tidak berpengaruh dan tidak dapat membatalkan substansi dari Putusan tersebut. 

Ya, tidak ada yang salah dari maksud terminologi final and banding, namun perlu diketahui bahwa hukum itu sangat erat kaitannya dengan kewenangan, karena sejatinya kewenangan dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum. Terkait hal ini, pada dasarnya MK merupakan lembaga Yudikatif yang sebab kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, berwenang untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945 atau judicial review sebagai salah satu kewenangan MK yang bertujuan untuk menguji UU secara formil dan materiil. Secara formil, MK dapat menyatakan bahwa proses pembentukan UU telah sesuai atau tidak sesuai ketentuan pembentukan UU sebagaimana dimaksud UUD 1945. Sedangkan secara materiil, pengujian ditujukan terhadap materi muatan dalam pasal, ayat, dan/atau bagian dari UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan kewenangan untuk menyatakan UU bertentangan dengan UUD 1945 tersebut, MK juga disebut sebagai negative legislator.

Negative legislator adalah tindakan MK yang membatalkan norma yang ada dalam suatu UU bila bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan positive legislator adalah organ atau lembaga (merujuk pada lembaga negara yaitu DPR dan Pemerintah) yang memiliki kewenangan untuk membuat norma. Maka dapat disimpulkan bahwa MK hanya berwenang untuk menjalankan peran sebagai Negative legislator dan tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma baru layaknya legislatif (DPR dan Pemerintah) yang memiliki kewenangan sebagai positive legislator untuk membuat norma baru. Maka, terkait norma baru dalam Putusan 90, dapat dikatakan MK telah melakukan ultra vires dan melampaui kewenangannya.

Terkait beberapa hal tersebut maka hukum harus kembali kepada filososi dasarnya, seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bahwa hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, manusia akan menjadi penentu titik orientasi hukum, hukum bertugas melayani manusia karena hukum tidak bisa terlepas dari kepentingan manusia yang lebih luas (volente generale). Mutu hukum di Indonesia harus selalu dijaga dan itu semua ditentukan oleh kemampuan hukum untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia, terlebih dalam dinamika pemilu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang memungkinkan hukum dibuat dan digunakan sebagai alat untuk kepentingan penguasa, disinilah hukum harus bisa menjadi sarana terbaik guna mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Bukan hanya itu, statement Presiden yang mengatakan akan “cawe-cawe” dan “boleh memberikan dukungan terhadap salah satu paslon (kampanye)” rasanya juga kurang pantas, karena sebagai Pejabat negara, Presiden sebagai eksekutif yang memiliki kelengkapan “infrastruktur dan suprastruktur” akan dengan mudah mengarahkan kemenangan kepada salah satu paslon jika itu dimanfaatkan, tentu hal demikian sangat tidak diharapkan, karena akan memberikan dampak ketidak adilan bagi keberlangsungan pemilu itu sendiri. Memang dalam Pasal 299 UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 ketentuan keterlibatan Presiden dalam kampanye telah diatur, namun jika tidak sesuai dengan ketentuannya maka hal tersebut dilarang dan telah melanggar ketentuan Pasal 281, 282 dan 283 UU No. 7 Tahun 2017 apalagi perkataan tersebut pada akhirnya menghasilkan reaksi para pejabat negara lainnya untuk tidak bersikap netral, sungguh ini bukan hal yang baik bagi demokrasi kita.

Lebih lanjut terkait pemilu 2024 sendiri, KPU sebagai lembaga yang diberi mandat oleh Pemerintah sebagai penyelenggara pemilu, memiliki beberapa kendala teknis yang dialami, KPU sendiri mengakui telah terjadi margin error dalam website KPU terkait rekapitulasi penghitungan suara, namun kejanggalan kembali terjadi, dimana margin error tersebut berimbas pada penggelembungan suara salah satu paslon. Hal ini memicu pertanyaan publik tentang profesionalisme KPU. Ditambah hasil sementara dari quick count yang ditayangkan dari lembaga-lembaga survey tidak jauh berbeda perhitungannya dengan rekapitulasi sementara dari KPU yang mengalami margin error.

Wajar jika hal-hal seperti ini membuat publik bertanya-tanya tentang JURDILnya pemilu. Memang quick count tidak menentukan hasil final, namun sudah barang tentu mindset masyarakat akan terpengaruh oleh quick count tersebut. 

Hal-hal semacam ini perlu untuk terus diperhatian dan diperbaiki, mulai dari dugaan penyelundupan hukum, hingga riak-riak ketidakpuasan masyarakat pasca pemungutan suara, ini semua menjadi PR besar bagi negara. Ditambah lagi pada Kamis, 15 Februari 2024, melalui Putusan Sela Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas perkara gugatan nomor 604/G/2023/PTUN.JKT, petitum mantan Hakim Ketua MK (Anwar Ustman) dikabulkan, walaupun belum final, namun ini membuka peluang untuk yang bersangkutan kembali mengemban jabatan sebagai Hakim MK.

Bayangkan, jika ketidakpuasan hasil pemilu menghasilkan sengketa pemilu, yang (penyelesaiannya) sesuai ketentuan UUD 1945, UU Pemilu, dan UU MK merupakan kewenangan MK, maka berpotensi sengketa tersebut akan diadili oleh Hakim yang membuka jalan bagi salah satu paslon (Cawapres), maka kemungkinan besar sudah bisa diprediksi apa hasil dari putusan dari peradilan tersebut.

Hal demikian tidak boleh terjadi di Indonesia tercinta, dugaan-dugaan kecurangan pemilu yang terstruktu, sistematis dan masif harus dihilangkan. Jika semua itu terjadi, maka hukum harus dikedepankan, hukum harus cermat dalam merespon hal-hal yang tidak sejalan dengan tujuannya. Philippe Nonet dan Philip Selznick, dalam bukunya berjudul Law and Society in Transition, Toward Responsive Law menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sistem pemerintahan sebuah negara dengan hukum yang dianutnya (Philippe Nonet, 2001). Dalam sistem pemerintahan yang otoriter, hukum menjadi subordinasi dari politik. Dimana hukum mengikuti politik. Dengan kata lain, hukum digunakan hanya sekadar menunjang politik penguasa. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan yang demokratis, hukum terpisah secara diametral dari politik. Artinya, hukum bukan menjadi bagian dari politik, akan tetapi hukum menjadi acuan berpolitik dari sebuah bangsa, inilah posisi hukum yang ideal bagi Indonesia. 

Penegak hukum harus mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Karena hukum bukan sekedar doktrin yang dianggap sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel, sehingga hukum mampu bersikap kritis dan merespon setiap kebutuhan masyarakat yang lebih besar. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Hukum tidak dianggap sebagai sesuatu yang statis, mutlak serta final, melainkan hukum harus mampu menunjukan tujuannya untuk mengabdi kepada masyarakat (Prof. Satjipto Rahardjo). Sehingga pemilu yang merupakan implementasi dari kadaulatan rakyat, serta momentum untuk pendidikan politik bagi masyarakat, tidak dikotori oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, kita tidak ingin pemilu yang merupakan pesta demokrasi mengalami tragedi. 

Saykhan Alatas. SH.,MH

GEMPAR (Gerakan Muda Perubahan)

Posting Komentar untuk "Pemilu 2024: Kejanggalan Demokrasi"