Ustadz Fery Muzaki Ruthab: Ramadhan dan Fenomena Alam Semesta

 



Selasa, 12 Maret 2024

Faktakini.info

(Bagian 1)

*RAMADHAN DAN FENOMENA ALAM SEMESTA*

Oleh : Fery Muzaki Ruthab

_“akhirnya saya dapat memahami mengapa Rasulullah Saw lebih mendahulukan untuk melihat bulan (ru’yatul hilal) daripada menggunakan perhitungan (hisab) dalam menentukan awal Ramadhan”_


Setiap tahun saat memasuki awal Ramadhan dan Idul fitri, kita sering diramaikan dengan penentuan kapan dimulai puasa dan hari raya. Pemerintah melalui Kementerian Agama melaksanakan Sidang Itsbat untuk menetapkan dan memutuskan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Hal ini tidak terlepas dari adanya perbedaan pendapat. Lalu bagaimana kita menyikapinya ? Perlu kematangan spiritual dan intelektual serta memiliki keimanan dan keilmuan yang memadai sehingga perbedaan itu dipandang sebagai khazanah konstruktif. 


Pada Ramadhan tahun lalu tepatnya tanggal 29 Ramadhan 1444 H (20 April 2023) terjadi gerhana matahari Hibrida. Fenomena itu sekaligus menjadi pertanda ijtima dari datangnya bulan syawal atau Idul Fitri pada esok harinya. 


Ini lah salah satu tanda kekuasaan Allah SWT, yang maha menguasai setiap pergerakan makhluk-Nya dari yang paling kecil hingga paling besar. Jangankan membuat matahari, bumi dan bulan dalam satu garis lurus ? Bahkan untuk membuat seluruh planet di alam semesta in berada dalam satu garis pun Allah Swt maha kuasa. Allah Swt telah mengatur orbit (garis edar) setiap planet dan benda angkasa tersebut. Sebagaimana firman Allah Swt :


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


لَا ٱلشَّمۡسُ يَنۢبَغِي لَهَآ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّيۡلُ سَابِ ٱلنَّهَارِ ۚ وَكُلّٞ فِي فَلَكٍ يَسۡبَحُونَ


_"Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya."_ (QS. Yaasiin 36 : 40)


Fenomena gerhana itu menunjukkan bahwa Allah SWT kuasa untuk menggerakan, membelokkan, menahan, atau bahkan membalikan pergerakan benda-benda langit tersebut kapan saja Dia kehendaki. Sedangkan manusia tidak punya kemampuan sedikitpun menggerakan benda-benda langit itu. Namun demikian Allah memberikan akal dengan kemampuan untuk menghitung waktu pergerakan benda-benda langit tersebut dan itu pun tidak memiliki akurasi 100%, niscaya ada penyimpangan (devisiasi) dari perhitungan itu beberapa detik, menit, jam atau beberapa derajat. Dari analisa ini kita dapat memahami mengapa Rasulullah Saw lebih mendahulukan untuk melihat bulan (ru’yatul hilal) daripada menggunakan perhitungan (hisab) dalam menentukan awal Ramadhan. 


*Ramadhan mendorong kemajuan Astronomis*


Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahidin menyebutkan, bahwa rukun puasa (puasa) itu ada tiga, dua rukun disepakati oleh ulama yaitu waktu (zaman) dan menahan (imsak), dan satu rukun itu terdapat perbedaan (ikhtilaf) di dalamnya yaitu niat. Para ulama juga sepakat (ijma) bahwa jumlah hari-hari dalam bulan-bulan Arab (Qomariyah) itu antara 29 atau 30 hari. 


Sedangkan untuk menentukan jumlah hari pada bulan Ramadhan, maka i’tibar para ulama menggunakan ru’yatul hilal. Sebagaimana sabda Nabi Saw: 


صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا


_“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.”_ (Muttafaqun ‘alaihi)


Dari hadits tersebut perbedaan memahaminya menjadi lebih spesifik kepada satu kalimat _li ru’yatihi_ karena melihat hilal. Sebagian kaum Muslim memahami kalimat itu sebagai melihat hilal secara langsung dengan mata kepala sebagaimana dipegangi oleh sebagian umat Islam dan sebagian lagi memahami sebagai melihat hilal cukup dengan perhitungan atau hisab sebagaimana diamalkan oleh sebagian umat Islam lainnya. 


Ada pelajaran penting lain yang dapat diambil dari hadits tersebut. Mengapa lebih mengutamakan ru’yatul hilal daripada hisab ? Dengan tetap melakukan ru’yatul hilal, maka sebagai muslim dituntut untuk memperhatikan fenomena alam secara terus menerus. Dan dari pelajaran ini akan didapat dua manfaat sekaligus yaitu peningkatan keimanan dengan melihat tanda-tanda kebesaran Allah Swt dan menumbuhkan semangat untuk terus berfikir tentang ciptaan Allah tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٍ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ


_"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,"( yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka."_

(QS. Ali 'Imran : 190 - 191)


Sedangkan penggunaan hisab (perhitungan) tanpa ru’yatul hilal, bisa akan membawa dominasi ilmu atas iman. 



_Bersambung….!!_


💫✍️..Sukatani-Bekasi 🕟 

...

(Bagian 2)


*RAMADHAN DAN FENOMENA ALAM SEMESTA*


Oleh : Fery Muzaki Ruthab


*Fenomena Alam Menyuburkan Keimanan*


_Baik menelaah fenomena alam secara terus-menerus diiringi beribadah juga secara terus-menerus, Keduanya tidak bisa dilakukan kecuali oleh mereka yang memiliki kesabaran. Dan tidaklah kesabaran itu bisa dicapai kecuali oleh mereka yang menjalankan puasa dengan hakiki (baik dan benar). Jika kondisi ini bisa dijalankan oleh setiap muslim, niscaya dia akan menjadi Ulul Albab yang cerdas fikriyahnya, cerdas emosinya, dan cerdas spiritualnya_

=======


Baiklah saya teruskan risalah ini. Pada bagian pertama saya katakan;_”penggunaan hisab (perhitungan) tanpa ru’yatul hilal, bisa akan membawa dominasi ilmu atas iman”_


Bahkan jika suatu formulasi atau rumus khusus perhitungan sudah diyakini mutlaq kebenarannya, maka tidak ada lagi dorongan untuk mempelajari fenomena alam dan ini akan menimbulkan pandangan yang sempit dan keimanan yang dangkal. Padahal tidak ada satu makhluk pun yang tidak berubah, termasuk di dalamnya rumus-rumus buatan manusia. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


كُلُّ مَنۡ عَلَيۡهَا فَانٍ ,وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ


_"Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan."_ (QS. Ar-Rahman: 26-27)


Rukun shaum (puasa) yang kedua adalah imsak (menahan). Rukun yang kedua ini pun masih berkaitan dengan fenomena alam semesta yaitu pergantian siang dan malam. Allah Swt menyebutkan batas-batas imsak (menahan) dari makan, minum dan jima’ berdasarkan ayat-ayat-Nya :


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


 وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِ 


_"....Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam…"_ (QS. Al-Baqarah : 187)


Bagaimana kita bisa menentukan kapan memulai puasa dan kapan berbuka jika tanpa memperhatikan fenomena alam ini ? Para ulama sepakat bahwa akhir dari puasa adalah ketika terbenamnya matahari (awal malam). Namun ada perbedaan pendapat dalam penentuan awal dari menahan tersebut, karena fajar itu sendiri ada dua macam yaitu fajar putih dan fajar merah. Untuk mengetahui batasan keduanya, ada dua hadits yang menafsirkan ayat tersebut yaitu : 


 فكلوا واشربوا حتى يعترض لكم الأحمر


_“Makan dan minumlah hingga nampak bagi kalian warna merah.”_ (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud)


Hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar : 


إن بلالا يؤذن بليل، فكلوا واشربوا حتى ينادي ابن أم مكتوم


_“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan saat masih malam, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”_ 


Dalam sejarah perkembangan Islam, paling tidak ada dua peristiwa besar yang menjadi motivasi perkembangan astronomi yaitu peristiwa isra mi’raj dan peristiwa-peristiwa selama Ramadhan baik penentuan awal dan akhir atau terjadinya malam Lailatul Qodr. Jika kaum muslimin menelaah peristiwa ini secara kauniyah (astronomi), maka niscaya hal tersebut akan menyuburkan keimanannya. Karena akan menemukan fenomena yang luar biasa dari setiap peristiwa tersebut. Keterbatasan akal manusia, akan membawa kepada kesimpulan bahwa semua fenomena itu ada yang menciptakannnya. Dan dari sanalah keimanan itu akan tumbuh subur. Dari sanalah ketinggian derajat seorang hamba akan diangkat. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ


_"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.”_ (QS. Al-Mujadilah : 11)


Dalam berbagai ketentuan puasa (shaum) Ramadhan, tidak ada satu pun yang disebutkan secara eksplisit (tersurat) waktunya baik awal dan akhir Ramadhan sebagaimana telah diuraikan di atas, atau peristiwa Lailatul Qadar yang tidak disebutkan kapan akan turunnya. Rasulullah Saw hanya menyebutkan beberapa tanda-tanda alam ketika turunnya Lailatul Qodr itu. Kondisi ini seharusnya memotivasi setiap muslim untuk berfikir bagaimana menerapkan ketentuan-ketentuan itu dengan baik dan benar. Kondisi inilah yang akan mendorong dua hal besar yaitu memikirkan dan menelaah fenomena alam secara terus-menerus dan beribadah dengan terus-menerus agar keistimewaan yang dijanjikan Allah Swt tidak luput karena kelalaian. 


Baik menelaah fenomena alam secara terus-menerus diiringi beribadah juga secara terus-menerus, Keduanya tidak bisa dilakukan kecuali oleh mereka yang memiliki kesabaran. Dan tidaklah kesabaran itu bisa dicapai kecuali oleh mereka yang menjalankan puasa dengan hakiki (baik dan benar). Jika kondisi ini bisa dijalankan oleh setiap muslim, niscaya dia akan menjadi _Ulul Albab_ yang cerdas fikriyahnya, cerdas emosinya, dan cerdas spiritualnya.


Dari uraian di atas, bisa kita pahami bahwa Ramadhan adalah wahana _tarbiyah kamilah wa syumuliyah_ (pendidikan lengkap yang sempurna.


Wallahu a’lam,


✍️Sukatani-Bekasi, Ramadhan 1 - 1445 H