Aneh, BPIP Lawan Fatwa MUI Soal Salam Lintas Agama dan Ucapan Selamat Hari Raya, Klaim Ancam Eksistensi Pancasila

 



Rabu, 12 Juni 2024

Faktakini.info, Jakarta - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berdiri secara berlawanan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam masalah salam lintas agama dan ucapan selamat hari raya bagi pemeluk agama lain.


BPIP bahkan menyebut fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Bangka Belitung beberapa waktu lalu mengancam eksistensi Pancasila.


Seperti disampaikan Kepala BPIP Yudian Wahyudi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (10/06), ia mengeklaim sebagai representasi negara yang bertugas menginternalisasi nilai-nilai Pancasila lembaga yang dipimpinnya itu berperan untuk memastikan kesatuan dan keutuhan berbangsa dan bernegara dapat terjaga.


Yudian berdalih, secara teologis terdapat perbedaan antara agama dan pemikiran agama, agama dan penafsiran agama. Menurutnya, hasil ijtima adalah pemikiran agama yang memiliki tafsir yang majemuk bukan mutlak sehingga tidak memiliki kebenaran yang tunggal dan absolut.


Sementara, lanjut dia, Pancasila sebagai ijtihad yang sudah disepakati oleh semua pihak sehingga menjadi ijma/konsensus tertinggi, terlengkap, dan paling mengikat/binding, memiliki derajat keislaman yang telah diuji dan dibuktikan secara substantif.


Bekas Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu juga mengeklaim Pancasila tidak dihegemoni oleh ajaran agama tertentu. Namun, Pancasila merepresentasi substansi dari ajaran agama.


Dalam negara Pancasila, kata dia, ajaran Islam yang bersifat peribadatan (ubudiah) dipegang teguh secara pribadi dan menjadi spirit serta inspirasi dalam mengaktualisasi moralitas diri menjadi manusia yang berkualitas dalam bermuamalah, baik bermuamalah secara sosial maupun berkenegaraan.


“Agama menjadi inspirasi batin dalam merepresentasikan nilai kemanusiaan dan persatuan yang tinggi sehingga makin beragama seseorang, makin menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila,” klaim dia, seperti dilansir ANTARA.


Secara sosiologis, tuding dia, hasil Ijtima’ Ulama tentang pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa, yang sejak dahulu kala telah terkristalisasi menjadi sebuah kearifan lokal.


"Tradisi ini telah menjadi bagian yang diwariskan sejak ratusan tahun oleh nenek moyang kita,” klaimnya.


Keutuhan bangsa yang telah hidup ratusan tahun ini, menurut dia, tidak boleh direduksi oleh kelompok keagamaan tertentu yang berpotensi memolarisasi, mendisharmonisasi, dan mendisintegrasi keutuhan berbangsa.


Selain itu, kata Yudian, secara yuridis Islam, hasil ijtima’ hanya memiliki daya yang mengikat secara internum umat Islam dalam forum keagamaan muslim.


Dengan demikian, kata Yudian, tidak boleh dipaksakan ke dalam forum publik secara eksternum karena akan mereduksi nilai-nilai persatuan dan penghargaan pada kemajemukan berbangsa.


Kemudian, lanjut dia, secara konstitutif Pancasila sebagai dasar hukum tertinggi harus menjadikan seluruh kebijakan tunduk dan mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Pancasila menjadi pedoman dalam setiap penyusunan produk hukum dan kebijakan yang menyangkut kepentingan umum.


“Kehadiran negara dan peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi Pancasila di ruang publik demi terciptanya kesetaraan bagi setiap warga negara,” kata Yudian. .


Yudian juga mengatakan, setiap yang telah menyatakan dirinya sebagai bangsa Indonesia dan ber-KTP warga negara Indonesia, kata dia, wajib melaksanakan konsensus Pancasila. Dalam hal ini melaksanakan toleransi dan menghormati perbedaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.


Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Bangka Belitung, mengeluarkan putusan tentang panduan hubungan antarumat beragama bagi umat Islam.


Berikut putusan lengkap Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia khususnya mengenai panduan hubungan antarumat beragama:


PANDUAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA


A. Prinsip Hubungan Antar Umat Beragama


Prinsip dasar hubungan antar umat beragama dalam Islam adalah sebagai berikut:

a. Islam menghormati pemeluk agama lain dan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya dengan prinsip toleransi (al-tasamuh), sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an “lakum dinukum wa liyadin” (untukmu agamamu dan untukku agamaku), tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme).


b. Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (al-ta’awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara harmonis, rukun, dan damai.


Umat Islam tidak boleh mengolok-olok, mencela dan/atau merendahkan ajaran agama lain (al-istihza’).

Antarumat beragama tidak boleh mencampuri dan/atau mencampuradukkan ajaran agama lain.

B. Fikih Salam Lintas Agama


Penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.

Dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah, karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.

Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.

Pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan.

Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum dan/atau salam nasional atau salam lainnya yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi.

C. Fikih Toleransi dalam Perayaan Hari Raya Agama Lain


Setiap agama memiliki hari raya sebagai hari besar keagamaan yang biasanya disambut dengan perayaan oleh penganutnya.

Setiap umat Islam harus menjalankan toleransi dengan memberikan kesempatan kepada umat agama lain yang sedang merayakan ritual ibadah dan perayaan hari besar mereka. Bentuk toleransi beragama adalah:

(a). Dalam hal akidah, memberikan kebebasan kepada umat agama lain untuk melaksanakan ibadah hari raya sesuai keyakinannya dan tidak menghalangi pelaksanaannya.


(b). Dalam hal muamalah, bekerja sama secara harmonis serta bekerja sama dalam hal urusan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Toleransi umat beragama harus dilakukan selama tidak masuk ke dalam ranah akidah, ibadah ritual dan upacara-upacara keagamaan, seperti: mengucapkan selamat hari raya agama lain, menggunakan atribut hari raya agama lain, memaksakan untuk mengucapkan atau melakukan perayaan agama lain atau tindakan yang tidak bisa diterima oleh umat beragama secara umum.

Beberapa tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam angka nomor 3 dianggap sebagai mencampuradukkan ajaran agama. []

Foto: Yudian Wahyudi

Sumber: suaraislam.id