Damai Lubis: Wacana DR. Habib Rizieq Negara Tanpa Partai dan Presiden independen Revolusioner dan Realistis.
Jum'at, 28 Juni 2024
Faktakini.info
Wacana DR. Habib Rizieq Negara Tanpa Partai dan Presiden independen Revolusioner dan Realistis.
Damai Hari Lubis
Sekretaris Dewan Kehormatan DPP. KAI/ Kongres Advokat Indonesia
(Indonesia tanpa Parpol Ide brilian sebagai sumbangsih dan CINTA dari seorang ulama kepada tanah air)
*_Pendahuluan_*
Filosifis norma atau hukum yang dibuat oleh manusia adalah merupakan alat untuk digunakan serta ditegakkan semata demi hakekat makna fungsi hukum yang tertinggi yakni keadilan.
Namun, ketika dalam waktu perjalanan keberlakuan hukum dirasakan oleh publik terdapat kekurangan manfaat dan ketidakpastian hukum yang ada dan berlaku, sehingga jauh dari hakekat fungsi hukum yang tertinggi
Maka, ketika ada lahir ide, terlebih datangnya dari sosok tokoh utama ulama, inspiratif bahkan motor penggerak aktivis muslim yang menjadi role model (panutan) banyak kelompok/elemen masyarakat di tanah air negeri ini, yang nyata melahirkan wacana dengan niatan mulia, agar norma hukum menjadi lebih berwibawa dan lebih bermanfaat dan berkepastian serta berkeadilan bagi para masyarakat bangsa penggunanya. Tentu logikanya tidak serta merta ditolak oleh para penguasa penyelenggara negara, melainkan terlebih dulu ditampung lalu dianalisa secara seksama serta ilmiah.
*_Sumber Wacana dan Pembahasan_*
Sesuai narasi yang berisikan topik, " Negara Indonesia Tanpa Partai" dari DR. Habib Rizieq Shihab ulama besar terkenal yang banyak di imami para ulama di negeri ini.
Referensi artikel:
https://youtu.be/dehgsx_CT3U?si=X2nQKLXpClkteSW9
Wacana ini amat menakjubkan sungguh progresif dan revolusioner di tengah-tengah realitas kehidupan bangsa dalam bernegara yang "terpuruk" saat ini dengan sistim politik hukum kontemporer yang multi partai.
Berikut wacana/ ide Negara Indonesia tanpa partai disertai argumentatif ilmiah dari Beliau Sang Imam Besar, antara lain:
1. Berdasarkan eksistensi realistis daripada banyak kementrian di tanah air belakangan ini, yang ternyata bukan diisi oleh para profesional, melainkan utusan partai.
"Sistim orde baru, jabatan politis cukup hanya pada level menteri. Namun saat ini dirjen, setjen, irjen sampai dengan pejabat eselon dan para kepala bidang banyak yang berasal dari utusan partai."
2. Solusinya, wacana Indonesia tanpa partai dengan analogi eksistensi parlemen/ legislatif DPD. RI yang diisi oleh para senator hasil pemilu dari calon independen.
"Sehingga langsung masyarakat konstituen secara demokrasi memilih para wakil yang mereka kehendaki berdasarkan profil dan track record individu sang calon DPD. bahkan jika perlu DPR RI dihapuskan diganti semuanya adalah DPD RI sehingga benar benar mewakili suara rakyat bangsa ini"
3. Presiden dari independen.
"Tentunya oleh sebab tanpa keberadaan partai, maka calon presiden pun bukan utusan partai"
4. Dalam rangka masa transisi daripada wacana, maka untuk dapat diterima oleh masyarakat luas, agar didahului melalui sosialisasi dan publikasi dan kontinuitas pertemuan-pertemuan
"Dibutuhkan diskusi publik bahkan perdebatan dari para pakar dari berbagai disipilin ilmu (pro kontra)".
5. Sambil menunggu proses sistim hukum tanpa partai, maka ada masa transisi hukum, dengan diisi model demokrasi di negara Amerika Serikat, yakni cukup dua partai.
"Terkait metode demokrasi politik Amerika Serikat, memang cocok dengan nilai historis bangsa ini, yaitu sebenar-benarnya hanya ada dua kelompok masyarakat bangsa indonesia, satu pihak yang condong dengan cita-cita sesuai nilai-nilai sistim syariah dan pihak lainnya menginginkan sistim ketatanegaraan yang sekuleristik. Maka silakan masyarakat pilih calonnya diantara kandidat presiden dari dua pilihan melalui pemilu. Sehingga jika ada dua partai, maka sistim demokrasi politik negara Amerika menunjukan adanya faktor balancing ("terhadap partai penguasa").Tidak seperti saat ini, yang menginginkan koalisi semua partai dan suara partai hanya dapat diwakili oleh para ketua partai. Hal yang menghilangkan hak para anggota legislatif.
Maka wacana Beliau Sang Imam, sungguh progresif brilian dan revolusioner serta IDEAL. Ada catatan dari Penulis, bahwa sengaja Beliau mengistilahkan sistim dengan kalimat sekuler, karena jika disebut sebagai golongan nasionalis, dapat melahirkan seolah kaum atau golongan yang mencita-citakan sistim syar'i tidak memiliki nilai-niali kebangsaan (nasionalis), tentu saja perspektif ini menyesatkan publik.
*_Masukan Terhadap Wacana_*
Pada kesempatan dalam ruang kebebasan berpendapat ini, oleh sebab penulis amat berkesan serta menyepakati terhadap ide brilian dari sang Imam Besar, INDONESIA TANPA PARPOL. Dan tentunya hal wacana NEGARA RI TANPA PARTAI mesti diikuti terlebih dahulu melalui amandemen legislasi parlemen (MPR RI/DPR RI).
Oleh karenanya penulis mencoba meng-unifikasi ide brilian Sang Imam Besar dengan ide tambahan untuk menjadi bagian pembahasan oleh para penguasa sah Pemerintahan RI 2024-2029.
Sedangkan pemikiran terkait MPR RI dalam hubungannya dengan amandemen UUD. 1945 sudah sejak beberapa lama disampaikan oleh Penulis, dalam *GRUP WA. KONSTITUSI* yang eksis menampung wacana AMANDEMEN UUD. 1945 VERSI 2002 UNTUK DIKEMBALIKAN KE- UUD. 1945 ASLI 18 AGUSTUS 1945 "dengan beberapa amandemen tambahan, yang admin WAG nya adalah senioren aktivis (1978) M. Hatta Taliwang, dengan para anggotanya sebagian besar terdiri dari para tokoh bangsa, aktivis, akademisi serta para ustad/ ulama.
Adapun materi unifikasi sebagai wujud ketertarikan dan kesepakatan dalam bentuk respon positif terhadap WACANA BRILIAN INDONESIA TANPA PARTAI sebagai pemikiran lanjutan dari ide wacana idealis dari Sang Imam Besar, maka kelak perlu ada anggota Parlemen MPR RI yang khusus berasal dan dari para tokoh bangsa selain anggota DPR RI/ DPD RI terpilih secara independen atau sistim "pendahulu masa transisi" DUA PARTAI model Amerika Serikat, diantaranya anggota MPR RI adalah urusan golongan LINTAS SARA (TERMASUK PARA PAKAR BIDANG MASING-MASING ILMU PENGETAHUAN DAN PROFESI), secara proporsional *_bahkan jumlahnya jauh lebih banyak daripada anggota DPD.RI./ DPR RI_*
Usul materi pemikiran penulis, untuk di unifikasi terhadap ide NEGARA INDONESIA TANPA PARPOL ini, dimulai di dalam *"WAG KONSTITUSI"* adalah "Bahwa MPR. RI jika pun hendak tetap dipertahankan, tidak hanya bertugas mengamandemen UUD. 1945 dan melantik presiden RI dalam 5 (tahun) sekali dan memberhentikan presiden RI ditengah jalan, lalu melantik pengganti presiden, jika diimpeach oleh DPR RI atas perbuatan tercela, atau kejahatan atau penghianatan terhadap konstitusi, itu pun MPRI RI bersidang jika pemberhentian dari DPR RI dikuatkan oleh putusan MK/ Mahkamah Konstitusi.
Sehingga saat ini selaku legislatif MPR RI ala UUD. 1945 fungsi kedudukannya tidak sebagai wakil rakyat. Karena fakta hukum *_"UUD. 2002" WAKIL RAKYAT (LEGISLATIF ) JUSTRU ADALAH YUDIKATIF (PERAN GANDA DILUAR KECERDASAN ATAU NIR AKAL SEHAT)_* karena fungsi legislatif harus melalui putusan MK ? Maka UU.yang dianut oleh UUD 45 VERSI 2002. tentang tupoksi MK. otomatis harus diamandemen. Karena sistim konstitusi kontemporer sudah menyimpang dari teori yang berasal dari teori trias politika (John Locke lalu kemudian Montesque) selain bertentangan dengan rasa kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dan pastinya kelak keberadaan proses untuk tehnis atau mekanisme mendapatkan anggota MPR RI. Atau DPD RI dan atau DPR RI. butuh keputusan hasil kesepakatan para komisi/ panitia yang didahului oleh pembentukan badan kepanitiaan serta tak terlepas daripada unsur-unsur para tokoh bangsa Lintas Sara dan Lintas Ilmu dan profesional dan proporsional (faktor objektivitas).
*_Penutup/ Kesimpulan_*
Karena wacana demi hakikat kepastian hukum dan keadilan ini merupakan buah pikir dalam bidang hukum politik (ketatanegaraan) dan datang dari sosok tokoh bangsa dengan status profesi yang dimuliakan yakni Tokoh Ulama Besar (Ulama/Orang berilmu), sosok jatidiri cendekiawan muslim fakta sebagai golongan mayoritas dan telah mendapat respon oleh publik. Ideal untuk ditampung dikaji oleh para petinggi penyelenggara negara baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif.