DENSUS 88 AT DALAM PUSARAN PROPAGANDA ANTI HABIB
Kamis, 27 Juni 2024
Faktakini.info
*DENSUS 88 AT DALAM PUSARAN PROPAGANDA ANTI HABIB*
Oleh: Ali Alatas, SH
Pengacara, Sekum DPP Front Persaudaraan Islam
Gempar jagat pemberitaan media massa nasional ketika Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Febrie Ardiansyah yang dikabarkan sedang menangani berbagai kasus mega korupsi, diantaranya kasus mega korupsi tambang timah di Kepulauan Bangka Belitung yang melibatkan selebriti Sandra Dewi dan suami, tiada angin dan hujan tetiba dikuntit beberapa orang. Jampidsus yang kala itu mendapatkan pengawalan dari Polisi Militer berhasil meringkus salah satu penguntitnya, sedangkan yang satunya lagi berhasil meloloskan diri dari sergapan cepat Polisi Militer. Setelah diminta keterangan diketahui bahwa penguntit yang tertangkap adalah anggota kepolisian yang tergabung dalam kesatuan Detasemen Khusus 88 Anti Teror!
Penguntitan yang dilakukan personil Densus 88 AT POLRI, tentu sangat penuh keanehan lagi lucu. Bagaimana tidak, Densus 88 AT sesuai Pasal 23 ayat (2) Perpres No. 5 Tahun 2017 tentang Perubahan Perpres No. 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, mempunyai tugas pokok yakni, "menyelenggarakan kegiatan intelijen, pencegahan, penindakan, penyidikan, identifikasi dan sosialisasi dalam rangka penanggulangan tindak pidana terorisme", sehingga jelas bahwa tupoksi Densus 88 AT sesuai namanya adalah penanggulangan tindak pidana terorisme, tetapi kenapa justru Jampidsus menjadi target penguntitan yang notabene juga sesama penegak hukum? Apakah Jampidsus Febrie Ardiansyah diduga terlibat tindak pidana terorisme.
Hal tersebut jelas melampaui kewenangannya Densus 88 AT POLRI alias _Abuse of Power_, akan tetapi sayangnya selang beberapa hari, secara terburu-buru Menteri Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto menyatakan kasus ditutup dan selesai dengan berjabat tangannya Kapolri Sigit dan Jaksa Agung Burhanuddin ST, tanpa ada pengusutan lebih lanjut maksud dan tujuan penguntitan Jampidsus yang dilakukan personil Densus 88 AT, Apakah itu benar terkait kasus yang sedang ditangani Jampidsus? siapa pemberi perintah penguntitan? Apakah itu tindakan kelompok tertentu dalam tubuh Densus 88 AT atau justru lebih besar dari itu?apakah cuma keisengan semata? Atau apakah Jampidsus Febrie Ardiansyah terlibat tindak pidana terorisme? Semua itu akhirnya hanya tersisa tak terjawabkan karena kasus buru-buru ditutup dan dinyatakan selesai, suatu tindakan yang amat mengusik nalar publik.
Densus 88 AT POLRI bukan kali ini saja mendapat sorotan dari publik. Sudah begitu sering kritik kepada Densus 88 AT dilontarkan, seperti misalnya bukan sesekali terduga teroris dibunuh diluar proses Pengadilan (Extrajudicial Killings), yang dihitung oleh Harits Abu Ulya dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) dari sekitat 2006 sampai dengan 2016 terdapat 120 terduga teroris yang dibunuh diluar pengadilan, bahkan dalam beberapa kasus yang dikatakan sebagai terduga teroris dibunuh tanpa diketahui lebih dahulu identitas yang bersangkutan sehingga dikubur ditulis di nisannya dengan nama "Mr. X". (https://www.benarnews.org/indonesian/berita/dewan-pengawas-densus-88-05272016134047.html)
Diantara kasus Pembunuhan diluar pengadilan adalah kasus Siyono yang cukup ramai di media massa dimana yang bersangkutan mati dalam posisi setelah dilakukan penangkapan oleh Densus 88 AT, dimana setelah dilakukan otopsi independen dari pihak Muhammadiyah dan Komnas HAM ditemukan bekas tanda kekerasan yang dialami Siyono sehingga memunculkan dugaan penyiksaan yang merupakan pelanggaran HAM. Akan tetapi hasil otopsi tersebut ditolak oleh pihak kepolisian. (https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01253746/muhammadiyah-dan-komnas-ham-temukan-tanda-kekerasan-pada-jenazah-siyono-366450?page=all)
Belum lagi Pelanggaran HAM dalam proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan, begitu seringnya hak hukum tersangka diabaikan begitu juga asas presumption of innocent yang tercampakan seperti kasus penangkapan Haji Munarman yang menurut Amnesty International Indonesia terdapat pelanggaran HAM (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210428201224-12-636120/amnesty-duga-penangkapan-munarman-langgar-ham). Atau akses pengacara sering kali dipersulit untuk bisa bertemu dengan kliennya. (https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-tantangan-advokat-pembela-terduga-teroris-lt56a77ab31b032/)
Ada lagi narasi pencegahan yang didengungkan Densus 88 AT dan juga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT, setali tiga uang dengan Densus 88 AT, yang sering berbau Islamopobhia sampai-sampai Fadli Zon selaku anggota DPR RI pun ikut menyoroti hal tersebut. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211006205724-20-704371/berbau-islamophobia-fadli-zon-minta-densus-88-dibubarkan)
*Propaganda Anti-Ba'alawi*
Hampir dua tahun terakhir jagat media sosial diramaikan dengan diskursus Pembatalan nasab Ba'alawi. Tokoh yang diusung sebagai pelopor dari kelompok Pembatalan nasab Ba'alawi adalah Imaduddin Utsman atau ada juga yang menyebut Imaduddin bin Sarman. Sebagai Disclaimer, kajian secara ilmiah terhadap nasab, baik secara khusus Ba'alawi maupun nasab dzuriyat Rasulullah SAW secara umum sebenarnya tidak masalah bila dilakukan sesuai kaidah-kaidah keilmuan yang lurus dan jujur. Seperti contohnya di Jepang sana ada namanya Kazuhiro Arai yang disertasi doktoralnya secara spesifik membahas kiprah keluarga Alatas yang merupakan sub-klan Ba'alawi di seputar Samudera Hindia atau misalnya Kazuo Morimoto yang bahkan lewat tulisan-tulisannya yang dipublikasi lewat jurnal ilmiah secara spesifik meneliti hal-hal terkait khazanah ilmu nasab dzuriyat Rasulullah SAW yang ia sebut sebagai Sayyido-Sharifology. Hal tersebut menunjukkan terbukanya diskusi secara ilmiah terkait ilmu nasab ini ketika dilakukan sesuai kaidah dan etika ilmiah. Akan tetapi yang diusung kelompok Imaduddin yang berupaya membatalkan nasab Ba'alawi sebagai dzuriyat Rasulullah SAW jauh dari kata ilmiah, selain jauh dari kaidah dan etika ilmiah, juga tercium kuat aroma tengik politik lewat propaganda Anti-Habib yang bergulir semakin rasis dan fasis, lewat berbagai lontaran fitnah dan tuduhan bohong.
Lantas apa hubungannya kelompok yang mengusung propaganda Anti-Habib lewat pembatalan nasab Ba'alawi dengan Densus 88 AT yang merupakan alat negara dalam penegakkan hukum terhadap tindak pidana terorisme? Itu juga yang jadi pertanyaan penulis sendiri ketika melihat begitu intensnya Densus 88 AT juga bercengkrama dengan kelompok yang mempropagandakan sentimen rasis Anti-Habib. Hal tersebut bisa dilihat sebagai berikut:
1. Maret 2023, channel YouTube Gus Fuad Channel mengunggah pertemuan antara Fuad Plered, salah satu aktor propaganda Anti-Habib, bertemu dengan Martinus Hukom yang saat itu merupakan Kepala Densus 88 AT. (https://youtu.be/kEi0sin64W4?si=I7CrEP5582iq_vLR)
2. Akun media sosial X atas nama @gus_fuad7093 mengunggah pertemuan di kediaman Imaduddin dengan mengatakan _"Baru saja ngopi bareng 2 jenius : KH Imaduddin Utsman & Gus @islah_bahrawi + Densus 88 Pusat, KH Syarif Rahmat, Abuya Yusuf, R Tb M Nur Fadil MA & mujahid2 cyber NKRI."_ (https://x.com/gus_fuad7093/status/1661276128600809475). Setelah ditelusuri lebih lanjut siapa tamu dari "Densus 88 Pusat" pada akun YouTube atas nama @PecintaWaliOfficial, yang diunggah pada Mei 2023, disitu terlihat satu sosok yang identik dengan Tubagus Ami Prindani yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Pencegahan Densus 88 AT. (https://youtube.com/shorts/6IYtIpOLZUc?si=l7ZkSzAfaEC6PPsG)
3. Situs RMI-NU Banten, platform yang sering menjadi corong propaganda Imaduddin, pada November 2023 mengunggah artikel yang berisi informasi Imaduddin kedatangan tamu Katim Pencegahan Densus 88 AT Polri Satgaswil Banten, IPDA Hari Mulyono. (https://rminubanten.or.id/katim-pencegahan-densus-88-at-polri-silaturahmi-kepada-kh-imaduddin-utsman-al-bantani/)
4. Belum lama, channel YouTube atas nama Gus Fuad Channel mengunggah video berisi Diskusi Publik yang dihadiri Pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT, setali tiga uang dengan Densus 88 AT, yakni Ahmad Nur Wahid yang menjabat sebagai Direktur Deradikalisasi. (https://www.youtube.com/live/HYI8-fgtFqA?si=z6O6cGPkwCLkh0eT)
Intensitas dari Densus 88 AT dan juga BNPT ini wajar menimbulkan pertanyaan, apakah maksud dan tujuan sesungguhnya Densus 88 AT intens bertemu dengan kelompok propaganda Anti-Habib? Apakah jangan-jangan memang Propaganda Anti-Habib adalah program resmi Densus 88 AT? Atau Mabes POLRI? Atau karena ada keterlibatan BNPT apakah Presiden Jokowi terlibat dalam propaganda Anti-Habib?
Penulis berharap pertanyaan diatas bisa terjawab sebagai kesimpulan yang salah sehingga hati ini bisa tenang, karena alat negara dalam penegakkan hukum bergerak imparsial sesuai hukum yang berlaku, bukan justru ikut mengusung agenda-agenda tertentu yang justru berakibat pada disintegrasi bangsa lewat aksi politik belah bambu mengadu-adu antar elemen bangsa. Apalagi dilakukan lewat narasi-narasi keji penuh fitnah dan bohong
Pertanyaan-pertanyaan liar di atas tidak mungkin keluar bilamana Penanggulangan Terorisme, baik yang dilakukan BNPT maupun terutama sekali Densus 88 AT POLRI, dilakukan secara transparan dan akuntabel, hal mana telah digaris bawahi oleh Muhammad Syafi'i atau lebih akrabnya dipanggil Romo Syafi'i, Ketua Pansus Rancangan Undang-undang Perubahan UU Anti-Terorisme. Romo Syafi'i mengkritisi kurangnya pengawasan terhadap kinerja penanggulangan terorisme baik yang dilakukan Densus 88 AT Polri maupun BNPT yang tidak akuntabel dan transparan sehingga berakibat pada tindakan sembrono dari Penegak Hukum.
Pengawasan terhadap kinerja lembaga terkait penanggulangan terorisme sebenarnya sudah tertuang dalam UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang, Pasal 43J ayat (1) yang bunyinya "Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
membentuk tim pengawas penanggulangan
Terorisme." Akan tetapi, tim pengawas dari DPR RI selaku perwakilan rakyat untuk mengawasi penanggulangan Terorisme sampai hari ini belum jelas juntrungannya.
Penulis mengingatkan, jangan sampai terjebak pada _Black and White Logical Fallacy_, alias jebakan dikotomis palsu yang menuduh bahwa kalau mengkritik Densus 88 AT Polri maupun BNPT berarti mendukung tindakan terorisme. Terorisme adalah kejahatan yang wajib ditindak secara hukum yang berlaku, tidak ada alasan membenarkan tindakan terorisme, hanya saja prinsip Negara Modern meniscayakan aparatur negara dalam melakukan kerjanya harus Transparan dan Akuntabel, apalagi dalam kasus penegakan hukum, Hak Asasi Manusia juga variabel penting yang menjadi acuan dalam penegakan hukum, sehingga tidak bisa atas nama penegakan hukum melawan terorisme, membenarkan tindakan aparat yang sembrono dan bahkan melawan hukum sendiri. Apabila gagal prinsip negara modern ini dijalankan, menjadikan gagalnya Indonesia sebagai negara, setidaknya sebagai negara modern. Apabila tidak dibenahi segera, maka jangan heran di alam negara modern ada suara seperti Fadli Zon yang minta membubarkan Densus 88 AT, bukan sibuk membenahi diri malah sibuk bermesraan dengan provokator propaganda rasis dan fasis Anti-Habib.
27 Juni 2024