Imad harus sadar diri, pendapat awam seperti dirinya tidak masuk hitungan dalam syariat

 



Sabtu, 27 Juli 2024

Faktakini.info

Imat harus sadar diri, pendapat awam seperti dirinya tidak masuk hitungan dalam syariat

Perbedaan pendapat fiqih perkara biasa, dan niscaya terjadi. Tapi pendapat siapakah yang layak diterima sebagai khazanah perbedaan dalam fiqih?


Kita perlu merujuk ke salah satu kitab ushul yang banyak dijadikan rujukan, Raudatunnazir wa junnatul munaazir karangan Imam Ibnu Qudamah (620 H), pada bab Ijtihad beliau menuliskan:


يجب على المجتهد في كل مسألة أن ينظر أول شيء إلى الإجماع: فإن وجده لم يحتجْ إلى النظر في سواه.


“Bagi seorang mujtahid wajib melihat dulu apakah sudah ada Ijma’ dalam masalah itu. Jika sudah ada maka ia tidak perlu lagi melihat selain itu (ijma’)”[Raudatunnazir wa junnatul munaazir 2/389]   


Bahkan ulama mujtahid pun sebelum memulai ijtihad harus melihat ijma’ dahulu, bukan malah sibuk sendiri nyari2 dalil dari kitab.


Kalau sudah ada, ijtihadnya tidak diperlukan lagi...namanya tahshilul hashil (menghasilkan sesuatu yang sudah ada sebelumnya), tidak ada gunanya


Kalau ijma’ itu menyelisih Al-Quran-Sunnah, berarti telah di mansukh atau dita’wil, krn ijma dalil yang qath’i... tidak bsa menerima naskh dan ta'wil


Ba'alawi sebagai keturunan Rasulullah adalah ijma'


Berkata Al Allamah Yusuf An-Nabhani (guru KH Hasyim Asy'ari) : 


"Sesungguhnya para sadah Al Ba’alawi telah disepakati oleh umat Nabi Muhammad di sepanjang masa dan di setiap tempat, bahwa mereka termasuk Ahlul Bait yang paling shahih nasabnya, paling kokoh kemuliaannya dan paling banyak ilmu, amal, keutamaan serta adabnya." (Riyadhul Jannah fi Adzkaril Kitab was Sunnah, cet Muassasah Risalah, hal 13)


Imam Muhammad bin Fadhalah Al-Muhibbi (w 1111 H), Ahli hukum, ahli hadits dan ahli sejarah besar Turki Usmani, beliau berkata :


"Ba’alawi dinisbatkan kepada Alwi... Alwi ini adalah putra Ubaidillah bin Ahmad bin Isa, beliau adalah sosok yang menjadi muara berkumpulnya nasab mereka. Nasab mereka telah disepakati oleh para ulama ahli tahqiq dan telah menjadi perhatian untuk dijelaskan oleh banyak ulama". (Khulashatul Atsar, juz 1 hal 74)


Jadi kalau memang sudah ada kesepakatan para ulama madzhab fiqih, ahli hadits dan ahli nasab tentang nasab Ba'alawi, bahkan sudah mencapai ijma’, tidak perlu repot-repot lagi bertanya: Mana buktinya? Mana hasil tes DNA nya?


Pertanyaan demikian hanya muncul dari kaum jahil murokkab


Tidak perlu!


Juga tidak perlu lagi susah-susah mencari kitab.... 


Seperti yang telah dikatakan Ketua umum PBNU.... Gus Yahya, "MARI KITA IKUT SAJA NGGAK USAH NYARI CATATAN"


Yang beliau katakan memang benar, berdasarkan prinsip Ahlussunah waljama'ah


Karena seperti yang dikatakan Imam Ibnu Qudamah tadi, ijma' saja sudah cukup menjadi dalil. Bahkan level kekuatan dalil ijma' adalah dalil yang qath’i (pasti).... berada diurutan no 3 dibawah Al-Qur'an dan Assunnah.


Tidak usah mbalelo membuat kaedah dan fatwa sendiri.


Kalau pendapatnya salah, justru berdosa, bukan pahala. Karena telah menyelisihi ijma’


Ulama semua sepakat, bahwa menyelisih ijma’ adalah terlarang


Tapi sayangnya, entah sejak kapan munculnya, belakangan semakin banyak model-model 'baru' muncul ditengah umat ini ...........yang dibawa oleh mereka yang kurang ilmu, yang gurunya ndak jelas, yg sanad keilmuannya entah dari jalur siapa...


Dengan segala keterbatasannya malah nekad mbalelo... tidak mau mengikuti sesuatu yang sudah difatwakan oleh ulama terdahulu yang memang benar-benar kompeten dalam bidang tersebut.....


Mereka merasa tidak perlu lagi mengikuti apa yang telah dibawa oleh para salafussoleh dan pendahulu mereka.......


Garis2 besar yg telah ditetapkan sama sekali tidak digubris... merasa lebih pintar...


Parahnya, mereka berangkat dari keyakinan klasik.........ulama terdahulu juga manusia yang bisa salah dan keliru, walaupun seluruhnya sudah sampai ke level ijma'.


Akhirnya dengan pongah mereka merasa perlu membuat pemikiran sendiri,... merasa sudah selevel mujtahid.. melahirkan hukum sesukanya....


Padahal tidak ada ulama yang berfatwa dengan hawa nafsu.... apalagi dilatarbelakangi perasaan dendam, marah, benci... mencari2 kesalahan..


Kedalaman pemahaman ilmu dan Kewaraan para ulama terdahulu tiada banding dari yang baru lahir belakangan................


Akhirnya spiritnya kebablasan, sampai direview ulang dgn cara dangkal, padahal sudah ada fatwa madzhab fiqih dalam hal tersebut.......


Sehingga terjadi crash antara fatwanya dengan fatwa ulama sebelumnya...


Dan belakangan tidak jarang terjadi, tapi sering sekali. Bahkan banyak sekali!


Aneh, ada ikhtilaf dalam masalah yang sudah dalam kesepakatan!


Pembicaraan diatas tentu saja bagi tataran ulama mujtahid yang berwenang berijtihad 


Yang jadi pertanyaan, siapakah mereka yg ribut belakangan ini? Mujtahidkah dia sehingga berani membuat fatwa yang pendapatnya berbeda dengan ulama terdahulu dan seluruh ulama madzhab?


Ternyata cuma bapak2 biasa.........


Kalau masih belajar lewat maktabah syamilah, PDF, maka sadarilah bahwa sampeyan itu masih level muqallid bukan mujtahid..... 


Jangan berani-berani melahirkan pendapat baru, kaidah baru, pemikiran baru....


Harus sadar diri, pendapat awam bapak2 biasa tidak masuk hitungan dalam syariat....

Posting Komentar untuk "Imad harus sadar diri, pendapat awam seperti dirinya tidak masuk hitungan dalam syariat"