Gus Wafi: KERANCAUAN METODOLOGI KYAI IMAD
Selasa, 20 Agustus 2024
Faktakini.info
KERANCAUAN METODOLOGI KYAI IMAD
_________________
Dalam kitabnya, halaman 2 K. Imad mengatakan bahwa al-kasyfu ‘an ikhtilath al-Ansab adalah termasuk amar ma’ruf.
Menurutnya menyingkap campurbaur nasab adalah termasuk amar ma'ruf. Menyingkap harus dengan data. Sedangkan datanya masih belum seratus persen diyakini. Kesimpulannya, benarkah yang namanya menyingkap campur baur nasab dalam konteks ini adalah termasuk amr ma'ruf. Berhubung perkara nasab ini masuk dalam ranah fikih, seharusnya dia mengajukan referensi fikih tentang klaimnya itu.
Sebenarnya apa sih ikhtilat al-Ansab itu?
Selanjutnya, pertanyannya adalah bagaimanakah konsep amar makruf itu? Dalam kitab Raudhah Thalibin vol. 10 hal. 220-221 Dijelaskan:
(روضة الطالبين ج ١٠ ص ٢٢٠-٢٢١)
قَالَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ: وَلَيْسَ لِلآمِرِ وَالنَّاهِي البَحْثُ وَالتَّنْقِيبُ وَالتَّجَسُّسُ وَاقْتِحَامُ الدُّوَرِ بِالظُّنُونِ، بَلْ إِنْ رَأَى شَيْئًا غَيْرَهُ، قَالَ المَاوَرْدِيُّ: فَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّ المُحْتَسِبِ أَوْ غَيْرِهِ اسْتِسْرَارُ قَوْمٍ بِالمُنْكَرِ بِأَمَارَةٍ وَآثَارٍ ظَهَرَتْ، فَذَلِكَ ضَرْبَانِ، أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِيهِ انْتِهَاكُ حُرْمَةٍ يَفُوتُ تَدَارُكُهَا، بِأَنْ يُخْبِرَهُ مَنْ يَثِقُ بِصِدْقِهِ أَنَّ رَجُلًا خَلَا بِرَجُلٍ لِيَقْتُلَهُ، أَوْ بِامْرَأَةٍ لِيَزْنِيَ بِهَا، فَيَجُوزُ التَّجَسُّسُ وَالإِقْدَامُ عَلَى الكَشْفِ وَالإِنْكَارِ، وَالثَّانِي: مَا قَصُرَ عَنْ هَذِهِ الرُّتْبَةِ، فَلا يَجُوزُ فِيهِ الكَشْفُ وَالتَّجَسُّسُ. وَاعْلَمْ أَنَّهُ لا يَسْقُطُ الأَمْرُ بِالمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ المُنْكَرِ إِلَّا بِأَنْ يَخَافَ مِنْهُ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ، أَوْ يَخَافَ عَلَى غَيْرِهِ مَفْسَدَةً أَعْظَمَ مِنْ مَفْسَدَةِ المُنْكَرِ الوَاقِعِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
“Ulama kalangan Syafi’iyyah dan lainnya berkata, ‘Tidak boleh bagi orang yang mempraktekan amar makruf nahi munkar untuk meneliti, mencari-cari, memata-matai, dan menerobos perumahan perihal kemungkaran hanya berdasar asumsi, akan tetapi jika ia melihat kemunkaran barulah ia mencegahnya.’ Al-Mawardi berkata, ketika al-Muhtasib atau yang lainya memiliki dugaan kuat bahwa suatu kaum sedang merahasiakan kemungkaran dengan adanya indikasi atau jejak yang tampak maka yang demikian ini memiliki dua keadaan; pertama, perbuatan itu mengandung unsur yang dapat merusak kehormatan yang tidak mungkin untuk dikembalikan seperti semula, misal dia mendapat informasi dari orang yang jujur bahwa sesorang sedang merencanakan pembunuhan terhadap orang lain, atau seorang berduaan dengan wanita untuk memperkosanya, maka dalam keadaan seperti ini diperbolehkan untuk memata-matai dan mencegah kemungkaran. Kedua, tarafnya lebih rendah dari kasus sebelumnya maka tidak boleh mengungkit dan memata-matai. Perlu diketahui bahwa keharusan Amar Makruf dan Nahi Mungkar itu tidak gugur kecuali dia takut akan jiwanya, hartanya, atau ia takut terjadinya dampak negatif pada orang lain yang lebih besar dari kemungkaran itu sendiri.”
Artinya, apakah tindakan yang dilakukan oleh K. Imad ini dibenarkan? Ternyata tidak. Sebab, bagi Amir dan An-Nahi tidak boleh mencari-cari, menggali-gali, menerobos perumahan, akan tetapi jika ia melihat kemunkaran barulah ia mencegahnya. Meskipun ada dugaan kuat namun tidak memenuhi kriteria tertentu itu tetap tidak diperbolehkan untuk mengungkit suatu masalah. Hal ini, sebagaimana dalam klasifikasi kedua dalam kitab Raudhah at-Thalibin di atas.
Perlu diperhatikan bahwa jika amar ma’ruf nahi munkar itu menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dari kemungkaran (apalagi yang masih bersifat asumsi) yang ada, maka lebih baik tidak dilakukan.
بريقة المحمودية في شرح طريقة محمودية وشريعة نبوية في سيرة أحمدية ( الشيخ محمد الخادمي ) ج ٣ ص ١٢٦
فَعَلَى الوُعَّاظِ وَالمُفْتِينَ مَعْرِفَةُ أَحْوَالِ النَّاسِ وَعَادَتِهِمْ فِي القَبُولِ وَالرَّدِّ وَالسَّعْيِ وَالكَسْلِ وَنَحْوِهَا، كَمَا يُقَالُ لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ وَلِكُلِّ مَيْدَانٍ رِجَالٌ، وَكَمَا قِيلَ: مَنْ لَمْ يَعْرِفْ عُرْفَ زَمَانِهِ فَهُوَ جَاهِلٌ، فَإِنَّ الأَحْكَامَ قَدْ تَتَغَيَّرُ بِتَغَيُّرِ الأَزْمَانِ وَالأَشْخَاصِ كَمَا فُهِمَ مِنَ الزَّيْلَعِيِّ، فَيَتَكَلَّمُونَ بِالأَصْلَحِ وَالأَوْفَقِ لَهُمْ حَتَّى لا يَكُونَ كَلاَمُهُمْ فِتْنَةً لِلنَّاسِ، إِمَّا بِعَدَمِ الفَهْمِ أَوْ بِعَدَمِ القَبُولِ أَوْ بِتَرْكِ العَمَلِ بِالكُلِّيَّةِ، لَكِنْ يُشْكِلُ بِقَاعِدَةِ الأَمْرِ بِالمَعْرُوفِ، بَلِ اللَّائِقُ لِلْمُحْتَسِبِ أَنْ يَجْتَهِدَ فِي تَعْلِيمِ ضَرُورِيَّاتِهِمْ بِالرِّفْقِ وَالكَلاَمِ اللَّيِّنِ أَوِ الغِلْظَةِ وَالتَّشْدِيدِ أَوْ بِإِعْلَامِ الحَاكِمِ أَوِ الوَلِيِّ عَلَى حِسَابِ حَالِهِمْ، وَإِنْ ظَنَّ عَدَمَ قُبُولِ سُوءِ الظَّنِّ فَلْيَتَأَمَّلْ، وَكَذَا الأَمْرُ بِالمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ المُنْكَرِ بِحَسَبِ مَعْرِفَةِ أَحْوَالِ النَّاسِ وَطَبَائِعِهِمْ وَعَادَاتِهِمْ، إِذْ قَدْ يَكُونُ سَبَبًا لِزِيَادَةِ المُنْكَرِ تَعَنُّتًا وَتَعَصُّبًا، قَالَ فِي النُّصَابِ: يَنْبَغِي لِلآمِرِ بِالمَعْرُوفِ أَنْ يَأْمُرَ فِي السِّرِّ إِنِ اسْتَطَاعَ لِيَكُونَ أَبْلَغَ فِي المَوْعِظَةِ وَالنَّصِيحَةِ
“Bagi para penasehat dan mufti hendaknya mengetahui keadaan umat dan kebiasaanya dalam segi penerimaan, penolakan, dan segala aktifitas, seperti pepatah mengatakan setiap ucapan ada kondisinya masing-masing dan setiap tempat ada tokohnya dan seperti yang dikatakan barang siapa yang tidak tahu adat di masanya maka dia adalah orang bodoh karena hukum-hukum itu bisa berubah sebab berubahnya masa dan orang-orang yang berada di masa itu, sebagaimana yang difahami dari ucapan Az-Zailai’. Maka, mereka menyampaikan dengan hal yang lebih maslahat yang lebih sesuai untuk umat sehingga pembicaraan mereka tidak menjadi fitnah baginya, baik itu karena ketidakfahaman, ketidakterimaan ataupun ummat tidak melakukan apa yang disampaikan secara keseluruhan. Akan tetapi yang disebutkan mualif itu masih menimbulkan isykal ketika diakaitkan dengan kaidah al amr bil makruf karena seharusnya bagi al-muhtasib supaya bersungguh-sungguh dalam mengajarkan kewajiban-kewajiban atas umat dengan lembut dan perkatan yang halus atau dengan cara yang keras atau dengan melaporkan kepada hakim atau pemerintah tentang keadaan umat, sedangkan berprasangka bahwa dia tidak akan diterima itu adalah su’udzon. Maka hendaklah masalah ini direnungkan.
Begitu juga, amar makruf dan nahi munkar harus sesuai dengan keadaan umat, karakter, dan pengadatan mereka. Sebab, boleh jadi, amar makruf nahi munkar ini menjadi faktor bertambahnya kemungkaran yang lain baik itu didasari kekolotan atau fanatik. Penulis kitab an-Nishab berkata: ‘Bagi yang melaksanakan amar ma’ruf sebaiknya, kalau mampu, ia melakukannya dalam keadaan sirr (tidak terang-terangan) supaya lebih mengena dalam menasihati’.”
___________________________
Wallahua'lam....