Gus Wafi: Menjawab Bantahan Kyai Imad Kepada Syekh Mahdi ar-Roja'i

 



Ahad, 18 Agustus 2024

Faktakini.info

Gus Wafi

Menjawab Bantahan Kyai Imad Kepada Syekh Mahdi ar-Roja'i

_______________________

Tentang Syuhrah Istifadhah

(Klaim Kyai imad)

Dalil yang dipakai K. Imad untuk membantah Sayyid Mahdi Rojai seputar Syuhrah wal Istifadhah ialah kitab al-Jawab al-Jalil karangan Imam Ibn Hajar al-Asqalani. Kata K. Imad, Sayyid Mahdi Rojai tidak paham fikih, bahwa dalam fikih kemasyhuran suatu nasab itu bisa batal sebab adanya yang menentang. Redaksinya sebagai berikut:

الجواب الجليل للعسقلاني ص ٤٦-٤٧

[المسألة] الرابعة

هل يثبت كونهم أقارب تميم بمجرد قولهم؟ وهل تكفي شهادة

بعضهم لبعض بذلك؟

والجواب :

أن من كان بيده شيء كفاه وضع يده. ومن رام الدخول لم يكفه مجرد دعواه .

ويكفي في ثبوت كونه منهم وجود الشهرة لمن يدعي ذلك؛ (فإن النسب مما يثبت بالاستفاضة، إلا أن يثبت ما يخالفه.) وتقبل شهادة بعضهم لبعض.

Artinya: “Karena sesungguhnya nasab itu cukup dengan Istifadhah, kecuali nanti ada penentang.” (terjemah yg bertanda kurung)

Sebelum ke jenjang yang agak serius ada baiknya kita tahu mengenai alasan kenapa fikih menganggap tradisi lisan atau metode pendengaran (Tasamu’) dianggap cukup perihal nasab. Dalam Umdah al-Muhtaj karya Ibn al-Mulaqqin disebutkan:

عمدة المحتاج إلى شرح المنهاج لابن الملقن ج ١٥ ص ٢٤٨

قال : (وله الشهادة بالتسامع على نسب من أب أو قبيلة) لأنه لا يدرك بطريق القطع بل بالظاهر، فلم يكلف فيه القطع كيلا يضيع. قال في الإشراف : وتجوز الشهادة به ، وإن لم يعرف المنسوب إليه. 

Arti sederhananya seperti ini, Kenapa boleh dengan metode tasamu'? Karena nasab adalah sesuatu yang tidak bisa dijangkau dengan metode pasti melainkan hanya dengan melihat lahiriahnya saja. Oleh karenanya tidak diharuskan dalilnya bersifat qhat'i agar nasab tidak tersia-siakan. Penulis kitab al-Isyraf berkata, "Boleh bersaksi dengan metode Tasamu' sekalipun yang menjadi objek nasab itu tidak dikenal."

Jika ditelaah lebih lanjut mengenai referensi yang dibawakan oleh K. Imad di atas, maka akan kita dapati bahwa redaksi yang disajikan itu terlalu global sehingga butuh pada penjelasan lebih lanjut. Apakah referensi yang dibawakan oleh K. Imad ini betul-betul mendukungnya atau bahkan menjadi boomerang?

Pertanyaannya adalah apakah dengan keberadaan penentang itu meniscayakan kebatalan suatu nasab atau kebatalan suatu kesaksian? Kenapa hal ini perlu dipertegas, sebab banyak dalam literatur fikih yang mengatakan bahwa ketika ada penentang maka tidak diperbolehkan untuk bersaksi tentang nasab tersebut.

Jadi, yang terkena imbas dari keberadaan penentang itu ialah kesaksiannya bukan nasabnya. Hal ini, sebagaimana tertera dalam beberapa kitab fikih sebagai berikut,

(النجم الوهاج في شرح المنهاج للدميري ج ١٠ ص ٣٥٦)

قال: (وله الشهادة بالتسامع على نسب) بالإجماع, لأن نسبه لا يدرك بالبصر, وغاية الممكن رؤية الولادة على الفراش، فاكتفي فيه بالاستفاضة للحاجة، ويجوز ذلك وإن لم يعرف عين المنسوب إليه، حكاه في (الكفاية) عن (الإشراف).

كل هذا إن لم تكن ريبة، فإن كانت بأن كان المنسوب إليه حيًا فأنكر .. لم تجز الشهادة، فإن كان مجنونًا جازت على الصحيح، فإن طعن بعض الناس فى ذلك النسب .. امتنعت الشهادة على الأصح.

Artinya: “Semua ketentuan itu berlaku bilamana tidak ada keraguan. Apabila keraguan itu ada, contohnya orang yang menjadi objek nasab yang masih hidup itu mengingkarinya, maka tidak diperbolehkan untuk bersaksi. Ketika sebagian orang mencela nasab tersebut maka tidak diperbolehkan bersaksi tentang nasab itu.”

Di sini kita dapati, dengan berbagai macam penentang yang disebutkan, semuanya berimbas pada Syahadah bukan Nasab. Begitu pula pada redaksi-redaksi berikutnya,

(فتح العزيز بشرح الوجيز للرافعي ج ١٣ ص ٦٧)

وطعن من يطعن من الناس في ذلك الانتساب، والنسب، هل يمنع جواز الشهادة؟ فيه وجهان: أشبههما، أنه يمنع، لاختلال الظن.

Artinya: “Celaan seseorang tentang hubungan nasab tersebut apakah yang demikian ini dapat mencegah kebolehan bersaksi untuk nasab itu atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat. Yang lebih kuat/lebih mirip (dengan perkataan Imam Syafi’i), bahwa yang demikian itu dapat mencegahnya, sebab mengurangnya sebuah dugaan (sebab menjadi curiga).”

Dalam redaksi ini lebih spesifik ke arah syahadah bukan nasab.

(كتاب روضة الطالبين وعمدة المفتين - فصل - ج ١١ ص267 المكتبة الشاملة)

ثم ذكر الشافعي والأصحاب - رحمهم الله - في صفة التسامع أنه ينبغي أن يسمع الشاهد المشهود بنسبه، فينسب إلى ذلك الرجل أو القبيلة، والناس ينسبونه إليه، وهل يعتبر في ذلك التكرر، وامتداد مدة السماع، قال كثيرون: نعم، وبهذا أجاب الصيمري، وقال آخرون: لا بل لو سمع انتساب الشخص، وحضر جماعة لا يرتاب في صدقهم، فأخبروه بنسبه دفعة واحدة، جاز له الشهادة. ورأى ابن كج القطع بهذا، وبه أجاب البغوي في انتسابه بنفسه، فإن قلنا بالأول، فليست المدة مقدرة بسنة على الصحيح، ويعتبر مع انتساب الشخص ونسبة الناس أن لا يعارضهما ما يورث تهمة وريبة، فلو كان المنسوب إليه حيا وأنكر لم تجز الشهادة، وإن كان مجنونا جازت على الصحيح، كما لو كان ميتا، ولو طعن بعض الناس في ذلك النسب هل يمنع جواز الشهادة؟ وجهان أصحهما: نعم لاختلال الظن.

Artinya: “Di samping terhubungnya nasab seseorang dan nisbah seseorang diharuskan pula untuk tidak adanya penentang yang menjadi penyebab keraguan dan kecurigaan. Bilamana orang yang menjadi objek nasab yang masih hidup ini mengingkarinya, maka tidak boleh untuk bersaksi atas hal itu. Seandainya seseorang mencela nasab tersebut apakah hal ini dapat mencegah kebolehan bersaksi untuknya (nasab)? Ada dua pendapat. Yang paling shahih mengatakan ‘iya dapat mencegahnya’ dikarenakan berkurangnya kepercayaan.”

Redaksi Raudhah Thalibin ini juga sama dengan Fath al-Aziz karya al-Rafi’i yang mana hal ini mengindikasikan keotoritasan suatu pendapat. Kemudian perlu diketahui bahwa meskipun ada penentang, ini tidak serta merta meniscayakan ke-syuhrah-an suatu nasab. Kenapa? Sebab, dalam literatur fikih paling mentok hanya menyebutkan alasan Ikhtilal al-Zhan (Praduga yang tidak lagi kuat/ada kecurigaan), tidak sampai mengugurkan ke-syuhrah-annya. 

Dapat disimpulkan dari referensi-referensi di atas bahwa penentang itu nanti bisa jadi dari pihak yang terkait atau bukan dan kiranya K. Imad memposisikan dirinya di posisi yang kedua yaitu bukan daripihak yang terkait. Masih dengan pertanyaan yang sama yaitu apakah Ketika adanya penentang akan berimbas pada nasab orang atau hanya berimbas pada kesaksian jika ditinjau dari referensi-referensi di atas? 

(Redaksi Tuhfah al-Muhtaj dan Nihayah al-Muhtaj Tentang Keberadaan Penentang)

Dalam Tuhfah dan Nihayah dijelaskan bahwa para ulama terlalu global dalam menjelaskan kriteria penentang perihal kemasyhuran suatu nasab. Oleh karenanya beliau berkata:

{تحفة المحتاج مع حواشي الشرواني والعبادي ج ١٠ ص٢٦٣}

(وله الشهادة بالتسامع) الذي لم يعارضه ما هو أقوى منه كإنكار المنسوب إليه أو طعن أحد في انتسابه إليه كذا أطلقوه ويظهر أنه لا بد من طعن لم تقم قرينة على كذب قائله (على نسب) لذكر أو أنثى كائن (من أب أو قبيلة) كهذا ولد فلان أو من قبيلة كذا لتعذر اليقين فيهما إذ مشاهدة الولادة لا تفيد إلا الظن فسومح في ذلك قال الزركشي أو على كونه من بلد كذا المستحق وقفا على أهلها ونحو ذلك (وكذا أم) فيقبل بالتسامع على نسب منها (في الأصح) كالأب وإن تيقن بمشاهدة الولادة.

Artinya: “Bagi seseorang boleh bersaksi dengan hasil pendengaran yang tidak ditentang oleh apa yang lebih kuat dari tentangan itu, misalnya al-Mansub Ilaih (orang yang dinisbahkan/objek nasab) mengingkari atau ada celaan dari seseorang perihal nasab orang yang menjadi objek masalah. Begitulah, para ulama memutlakan ketentuan tersebut. Jelasnya, yang demikian ini jika tidak ada qarinah yang mengindikasikan bahwa pencela itu berbohong.”

(الكتاب: نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ج 8 ص 319)

المؤلف: شمس الدين محمد بن أبي العباس أحمد بن حمزة شهاب الدين الرملي (ت ١٠٠٤هـ)

(وَلَهُ الشَّهَادَةُ بِالتَّسَامُعِ) حَيْثُ لَمْ يُعَارِضْهُ أَقْوَى مِنْهُ كَإِنْكَارِ الْمَنْسُوبِ إلَيْهِ أَوْ طَعْنِ أَحَدٍ فِي الِانْتِسَابِ إلَيْهِ، نَعَمْ يُتَّجَهُ أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ طَعْنٍ لَمْ تَقُمْ قَرِينَةٌ عَلَى كَذِبِ قَائِلِهِ (عَلَى نَسَبٍ) لِذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى كَائِنٍ (مِنْ أَبٍ وَقَبِيلَةٍ) كَهَذَا وَلَدُ فُلَانٍ أَوْ مِنْ قَبِيلَةِ كَذَا لِتَعَذُّرِ الْيَقِينِ فِيهِمَا إذْ مُشَاهَدَةُ الْوِلَادَةِ لَا تُفِيدُ إلَّا الظَّنَّ فَسُومِحَ فِي ذَلِكَ. قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: أَوْ عَلَى كَوْنِهِ مِنْ بَلَدِ كَذَا الْمُسْتَحَقِّ مِنْ رِيعِ الْوَقْفِ عَلَى أَهْلِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ

Untuk terjemahannya kurang lebih sama dengan apa yang ada dalam redaksi Imam Ibn Hajar di Tuhfah.

(Pandangan Imam Ibn Hajar al-Asqalani dan Ulama Lain perihal Tha’n Fi al-Ansab)

Sudah dijelaskan di atas mengenai maksud dari penentang Syuhrah dan Istifadhah dan bagaimana kriterianya. Sekarang, berhubung K. Imad mengutip pendapat al-Asqalani untuk mendukung pandangannya, kita akan mengutip bagaimana pandangan al-Asqalani tentang Tha’n Fi al-Ansab yang mana hal ini adalah termasuk dari penentang itu. 

 Dalam kitab Fath al-Bari disebutkan tatkala beliau penulis sedang menjelaskan apa itu Tha’n fi al-Ansab:

(كتاب فتح الباري بشرح البخاري ط السلفية ج 7 ص 161 المكتبة الشاملة)

قَوْلُهُ: (الطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ) أَيِ الْقَدْحُ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ فِي نَسَبِ بَعْضٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ.

Artinya: “(Tha’n Fi al-Ansaab) maksudnya adalah celaan dari sebagian orang perihal nasab yang lain tanpa pengetahuan.”

Nah, dari penjelasan al-Asqalani ini kita bisa tau bahwa yang bermasalah itu adalah celaan tentang nasab yang bukan berasal dari ilmu pengetahuan. 

Walhasil, K. Imad dalam membatalkan Nasab Habaib, sama sekali tidak dengan ilmu, tapi hanya dengan modal copy paste tulisan² tidak jelas & bahkan berani menolak seluruh ahli fatwa/ulama. Anehnya lagi, ulama² yg kitabnya dipakai oleh beliau, justru menetapkan keshahihan Nasab Habaib. 😅😅😅

Salam waras...,,

Wallahua'lam..