HADRATUS SYAIKH KH. HASYIM ASY'ARI DAN SAADAH BA'ALAWI
Rabu, 21 Agustus 2024
Faktakini.info
HADRATUS SYAIKH KH. HASYIM ASY'ARI DAN SAADAH BA'ALAWI
Oleh: Kholili Hasib
Dalam tradisi NU sejak berdiri hingga saat ini belum pernah muncul isu memperdebatkan nasab ba’alawi. Sebab, NU mengikuti ijma’ ulama bahwa nasab habaib ba’alawi bersambung kepada Nabi Muhammad Saw. Selaras dengan apa yang disampaikan Syekh Ali Jum’ah beberapa waktu yang lalu. Sehingga meributkan isu ini juga tidak berfaedah.
Justru tradisi NU dalam menghormati sayyid merupakan bagian integral dari nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang dianut oleh NU. Penghormatan ini didasarkan pada pemahaman yang benar tentang kedudukan sayyid dalam Islam serta sikap wasatiyah yang diajarkan oleh NU.
Dalam ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, terutama yang dianut oleh NU, penghormatan kepada para habaib, khususnya mereka yang memiliki nasab kepada Rasulullah SAW, merupakan bagian penting dari akhlak dan adab.
Habaib, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW, memiliki posisi khusus dalam masyarakat Muslim, terutama di kalangan pengikut NU. Hubungan ini tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga sosial dan budaya. Sejauh ini NU menganggap habaib sebagai panutan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hal akhlak, ilmu pengetahuan, maupun kepemimpinan. Menurut data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2020, sekitar 70% anggota NU menganggap habaib sebagai figur yang sangat berpengaruh dalam kehidupan beragama mereka (LSI, 2020).
Habib Umar bin Hafidz, seorang habaib dari Yaman, juga menjadi rujukan bagi banyak anggota NU. Beliau sering diundang untuk memberikan ceramah dan pengajian di berbagai daerah di Indonesia. Data dari Kementerian Agama Republik Indonesia mencatat bahwa lebih dari 80% jamaah yang hadir dalam pengajian Habib Umar merupakan anggota NU (Kemenag RI, 2023).
Di pesantren NU, kitab-kitab karya para habaib (khususnya dari Hadramaut, Yaman) menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan. Kitab-kitab ini mengandung ajaran-ajaran Islam yang mendalam, mencakup berbagai disiplin ilmu seperti akidah, fiqh, tasawuf, dan sejarah.
Di antara kitab-kitab tersebut adalah; kitab Bughyatul Mustarsyidin ditulis oleh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Al-Masyhur atau disebut Sayid Abdurrahman Baalawi
Kitab ini membahas tentang fiqh Syafi’i dengan pendekatan yang sangat aplikatif, memudahkan para santri untuk memahami dan mengamalkan hukum-hukum fiqh dalam kehidupan sehari-hari. Kitab Al-Ghayah wa At-Taqrib ditulis Habib Ali bin Abdullah al-Haddad. Kitab ini membahas tentang fiqh dasar dalam madzhab Syafi’i, sering dijadikan rujukan di pesantren NU sebagai dasar pembelajaran fiqh. Kitab Syarah Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah ditulis oleh Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi. Kitab ini merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhl. Kitab Risaalatul Mu’awanah wa al-Muzaaharah wa al-Mu’aazarah. Karya Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, kitab ini menjadi pegangan dalam mempelajari ilmu akhlak dan tasawuf. Ia memberikan panduan tentang cara memperbaiki diri, beramal saleh, dan mendekatkan diri kepada Allah. Kitab An-Nashaih Ad-Diniyyah
Kitab ini juga karya Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad yang berisi nasihat-nasihat agama tentang pentingnya ilmu, amal, ikhlas, dan menjaga diri dari keburukan dunia
Walhasil, sejauh ini isu nasab, khususnya keturunan Nabi Saw dari keluarga Ba’alawi, tidak pernah menjadi persoalan dan keributan dalam tradisi NU. Sejak pendirian NU hingga masa-masa perjuangan melawan kolonialisme, kiai-kiai NU memiliki hubungan dekat dengan para habaib. Dari segi ajaran dan perjuangan NU dan habaib memiliki koneksi yang spesial.
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pernah berguru kepada para ulama dari Sadah Ba’alawi ketika di Makkah. Di antaranya; Habib Alawi bin Ahmad Assegaf, Habib Husain bin Muhammad Al Habsyi, mufti Mazhab Syafi'iyah di Makkah pada masanya, Habib Ahmad bin Hasan Al Attas di madrasah Soulatiyyah. Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi merupakan saudar kandung penyusun kitab maulid Simtut Dhurar, Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi.
Menurut kisah Gus Amrullah Hadzik, cucu KH. Hasyim Asy’ari, KH. Hasyim Asy’ari termasuk orang yang memuliakan habaib, karena guru-guru beliau di antaranya dari kalangan habaib.
KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Indonesia pun seolah-olah putus hubungan dengan gurunya yang ada di Makkah. Namun suatu hari, KH. Hasyim Asy’ari mendengar ada keponakan Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi yang tinggal di Indonesia, tepatnya di Solo, Jawa Tengah. Keponakan Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi itu bernama Habib Alwi Al-Habsyi. Begitu mendengar ada keponakan gurunya yang tinggal di Solo, beliau tanpa pikir panjang langsung berangkat ke Solo naik dokar (delman).
KH. Hasyim Asy’ari menemui keponakan gurunya itu hanya ingin menyampaikan "Bib, saya ini santrinya paman njenengan" (sumber: nu.or. id 7 Agustus 2023).
Dalam tulisan Gus Ishom Hadzik tentang biografi KH. Hasyim Asy’ari, Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi memang termasuk salah satu guru KH. Hasyim Asy’ari yang sangat berpengaruh. Bahkan, ada tiga ulama Makkah yang disebut Gus Ishom memiliki pengaruh besar pada KH. Hasyim Asy’ari, yaitu; Habib Alwi bin Ahmad Assegaf, Habib Husain bin Muhammad al-Habsyi, dan Syekh Mahfudz at-Turmusi.
KH Hasyim Asy'ari, memang dikenal sangat menghormati para habaib atau keturunan Nabi Muhammad SAW. Penghormatan ini bukan sekadar tradisi belaka, melainkan didasari oleh pemahaman yang mendalam tentang silsilah keislaman dan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Contoh Nyata Penghormatan KH Hasyim Asy'ari antara lain adalah mengajak Habib Idrus bin Salim Al-Jufri mengajar di Tebuireng Jombang. Ketika Habib Idrus bin Salim Al-Jufri mengalami kesulitan, KH Hasyim Asy'ari dengan lapang dada mengundang beliau untuk mengajar di Jombang. Tindakan ini menunjukkan betapa besarnya rasa hormat dan kepedulian KH Hasyim Asy'ari terhadap para habaib.
KH Hasyim Asy'ari adalah sosok yang sangat patut kita teladani dalam hal menghormati para habaib. Penghormatan yang beliau berikan bukan hanya sekedar tradisi, melainkan didasari oleh pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai Islam.
Dalam satu pidatonya, KH Hasyim Asy'ari, menganjurkan untuk membaca salah satu kitab karya ulama sadah Baalawi dan kitab karya Imam al-Ghazali. Beliau berkata:
فعليكم يا إخواني في هذا الزمان بخاصة أنفسكم وتابعوا هدي نبيكم، فكافيكم التمسك بالقران والتمسك على طريقة سيد ولد عدنان التي بينها السلف الصالحون، ثم إن مما بينه السلف الصالحون ما ذكره السيد عبد الله بن طاهر في سلم التوفيق وما ذكره سيدي حجة الإسلام الغزالي في بداية الهداية فعليكم بهما وبمثلهما فإنهما ان عملتم بهما يؤديان بكم إلى الملك المقيم والنعيم الدائم في جوار رب العالمين.
“Hendaklah kaliah wahai saudara-saudarku di zaman ini uruslah pekara kalian sendiri. Ikutilah petunjuk nabi kalian. Cukuplah kalian berpegang teguh dengan al-Quran dan jalan Nabi Saw yang mana telah dijelaskannya oleh para salaf sholih. Di antara jalan yang telah dijelaskan para salaf solih adalah apa yang disebutkan oleh Sayyid Abdullah bin Thahir dalam kitab Sullam al-Taufiq dan apa yang disebutkan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan dua kitab tersebut dan juga kitab-kitab yang lain yang sama. Karena jika dua kitab ini kalian amalkan, maka akan membawa kalian kepada tempat yang kekal dan kenikmatan yang langgeng di sisi Allah Swat tuhan alam semesta”. (Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, Minal Mu’tamar ila Mu’tamar Yahtawiy ala ba’di Rasail wal Khutab).
Penghormatan KH Hasyim Asy'ari kepada Saadah Ba'alawiy tersebut memberikan dampak signifikan dalam tradisi dan budaya Nahdlatul Ulama. Sikap ini mengakar kuat dalam masyarakat NU yang senantiasa menghormati habaib. Sikap penghormatan ini menjadi contoh bagi umat Islam, khususnya di kalangan NU, dalam memuliakan nasab, menghargai tradisi keilmuan, dan meneruskan ajaran Islam dengan penuh rasa hormat dan cinta kasih. Sehingga, isu nasab tidak pernah muncul dipersoalkan di lingkungan NU.
Bangil, 21 Agustus 2024