KIYAI IMADDUDIN: MINTA MAAF & BERTAUBATLAH, PARA HABAIB: MAAFKANLAH & BERSABARLAH, UMAT ISLAM BERSATULAH PADA TALI ALLAH

 



Rabu, 21 Agustus 2024

Faktakini.info

*KIYAI IMADDUDIN: MINTA MAAF & BERTAUBATLAH, PARA HABAIB: MAAFKANLAH & BERSABARLAH, UMAT ISLAM BERSATULAH PADA TALI ALLAH*

Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik 

Bismillah,

Penulis memang tidak mau melibatkan diri pada perdebatan soal nasab Nabi, karena substansinya adalah genderang kegaduhan ini ditabuh oleh rezim. Jadi, polemik ini ibarat kayu Gaharu, Makin digosok makin Wangi.

Tidak pernah terjadi pada rezim-rezim sebelumnya, kecuali di era rezim Jokowi, umat Islam dipecah belah seperti saat ini. Bahkan, kasus penodaan agama Islam pun, marak terjadi di era Rezim Jokowi.

Sebelumnya, penulis pernah menulis artikel yang intinya otentitas nasab tidak bisa divalidasi dengan tes DNA. Karena tes DNA hanya membuktikan hubungan biologis, bukan hubungan syar'i.

Namun kali ini, penulis ingin menulis beberapa rangkuman perdebatan, untuk didudukan pada pokok masalahnya, dan dideskripsikan secara proporsional, agar tak ada kesan satu pihak mengklaim ilmiah dan menganggap pihak lainnya tidak ilmiah, lalu secara terburu-buru dan dipenuhi hawa nafsu dan amarah tega mengeluarkan pernyataan yang sangat menyakitkan, seperti Nasab si Fulan yang dinisbatkan kepada Nabi sebagai 'Maudlu, Munqoti' dan Mardud' (Palsu, terputus dan tertolak).

Baiklah, kita awali dengan deskripsi masalah:

*Pertama,* sesungguhnya validitas yang paling ilmiah untuk menguji jalur nasab ke Rasulullah Saw adalah dengan metode riwayat, seperti metode periwayatan hadits. Hanya saja, metode ini pasti mustahil dilakukan, karena jauhnya periode umat ini dengan periode zaman Rasulullah SAW (yakni sudah 1400 tahun lebih dan lebih dari 50 generasi).

Metode riwayat ini hanya mungkin diadopsi jika thobaqoh atau tingkatan atau masa periwayatan tidak lebih dari 4 (empat) masa, seperti periwayatan hadits. Karena hadits, seluruhnya diriwayatkan tidak lebih dari 4 masa (thabaqah), yakni masa sahabat, Tabi'in, Tabiit Tabi'in dan generasi pentakhrij Hadits, yakni para Imam Hadits. Dari 4 generasi inilah, kita mendapatkan riwayat hadits dari Rasulullah melalui kitab para imam Hadits, baik Imam Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya.

*Kedua,* metode penelusuran dengan kitab sejarah, dari generasi apapun, tidak bisa dijadikan metode ilmiah dikarenakan:

1. Penulisan kitab sejarah pada periode apapun, tidak ditulis dengan metode riwayat seperti penulisan Hadits, kecuali pada Sirah Nabawiyah karya Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam.

2. Seluruh penulisan kitab sejarah, termasuk kitab yang berkaitan dengan nasab, ditulis oleh penulisnya berdasarkan pengetahuannya. Dalam hal ini, penulisannya memungkinkan adanya kesalahan dan kealpaan, termasuk motif penulis berupa penghormatan pada peristiwa dan sosok tertentu, atau penyembunyian pada peristiwa dan sosok tertentu.

3. Tidak ditulisnya peristiwa tertentu dan sosok tertentu pada sebuah kitab, tidak mengkonfirmasi suatu peristiwa tidak ada, atau tokoh tertentu tidak ada. Karena sejarah adalah deskripsi sebagian peristiwa masa lalu, yang dituliskan oleh penulisnya dalam kitab yang dibuatnya.

4. Pada peristiwa yang sudah sangat mashur (terkenal), yang sudah menjadi pengetahuan umum, yang diriwayatkan secara turun temurun dari generasi ke generasi, tidak diperlukan lagi konfirmasi dari referensi kitab sejarah. Karena, pengetahuan yang semacam ini adalah pengetahuan umum yang tak mungkin umat manusia bersepakat atas kedustaannya, karena banyaknya saksi dari generasi ke generasi yang pasti akan mengoreksi jika terdapat  kedustaan dalam periwayatannya.

5. Misalnya, Al Qur'an tidak diriwayatkan seperti Hadits. Tapi diriwayatkan secara turun temurun dari generasi ke generasi, sehingga diyakini umat Islam secara tegas sebagai Kalamullah, dan ayat-ayat dari Al Qur'an yang kita terima saat ini adalah ayat-ayat yang diriwayatkan secara turun temurun oleh seluruh generasi, dari generasi sejak era Sahabat, Era Tabi'in, era Tabiiti Tabi'in, era generasi salaf (awal) hingga sampai kepada kita. Jadi, tidak relevan lagi pertanyaan, Al Qur'an yang kamu bawa diriwayatkan oleh siapa? Pertanyaan seperti ini sudah selesai dijawab tuntas dan diverifikasi saat era pengumpulan Al Qur'an pertama kali, yakni pada era Khalifah Abu Bakar RA. Walau memang khusus untuk Al Qur'an, Allah SWT sendiri yang menjaga otentitasnya.

6. Mashurnya Nasab dari generasi tertentu, yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi, dari sejak berabad-abad atau ratusan tahun yang lalu, termasuk satu informasi yang tidak memerlukan lagi uji validitas dengan riwayat. Karena nasab tersebut sudah diwariskan secara turun temurun dan tidak ada pihak yang membantahnya pada kurun ratusan tahun.

7. Bantahan atas tersambungnya nasab generasi tertentu, hanya berargumentasi pada tiadanya catatan sejarah atas nasab tersebut, padahal sudah diterima dan Mashur selama beratus tahun, tidak bernilai dari dua sebab. Pertama, perkara yang lebih dari dua tahun tidak dipersoalkan saja, jika dipersoalkan setelah 2 tahun, dalam Ahkamu Bayyinah Islam (hukum pembuktian Islam), tidak dapat diterima tuntutannya karena tuntutan itu lebih kepada mengandung motif dendam, ketimbang tuntutan dalam rangka menegakkan hukum Syara'. Kedua, perkara  seperti dalam konteks nasab ini tidak bernilai, karena pihak yang memperkarakan tidak ada pada periode era yang dipermasalahkan sehingga tuntutannya hanya berdasarkan asumsi kendati berdalih merujuk kitab sejarah. Suatu asumsi tidak bisa membatalkan keyakinan yang sudah kokoh diturunkan secara turun temurun dan Mashur dikalangan masyarakat.

Apalagi, dalam konteks nasab keterangan ahlinya, yaitu orang yang bernasab pada Bani tertentu lebih dikuatkan ketimbang keterangan dari orang luar. Karena orang dari kalangan nasabnya, lebih mendalami silsilah keluarganya ketimbang orang luar yang hanya melihat dan mengamati dari luar.

Analoginya, hampir mirip dengan : hadits tentang kehidupan keluarga Rasulullah, jika ada matan yang bertentangan, maka riwayat dari istri Rasulullah lebih dikuatkan ketimbang riwayat dari sahabat lainnya. Dalam hal ini, kasus Rasulullah menikah dalam keadaan tahalul, lebih dikuatkan daripada hadits yang menyatakan Rasulullah menikah dalam keadaan ihram. 

Karena hadits pertama, diriwayatkan oleh istri Rasulullah sendiri yang ketika dinikahi oleh Rasulullah, beliau Saw dalam keadaan Tahalul. Sementara sahabat yang mengira Rasulullah masih ihram, baru pengamatan saja, bukan pelaku pernikahan dengan Rasulullah itu sendiri.

Analogi lain yang paling sederhana lagi adalah bahwa bukti seseorang adalah anak dari ayahnya, adalah keterangan dari ayahnya, bukan dokumen yang tercatat di DUKCAPIL. Boleh saja, anak itu belum tercatat, lupa dicatat, atau tidak dicatatkan ke DUKCAPIL dalam Catatan Kartu Keluarga, tetapi anak itu tetaplah anak dari Ayahnya. Tidak boleh orang luar itu menuding anak itu bukan anak dari ayahnya, atau ayahnya bukanlah ayah dari anaknya, hanya karena nama anaknya atau nama ayahnya tidak tercatat di Kantor DUKCAPIL.

Lagipula, perintah Nabi terhadap umatnya adalah mencintai dan memuliakan dzuriyatnya. Cara mencintai dan memuliakannya, adalah mengakui nasabnya dan menyembunyikan aibnya.

Kalau ada dzuriyat Nabi yang maksiat, tugas kita adalah mengingatkan dan meluruskannya, bukan mencari-cari aib atas nasabnya apalagi secara terbuka membatalkan nasabnya dengan ungkapan yang sangat menyakitkan 'Maudlu, Munqoti', Mardud'.

Dzuriyat Nabi itu hanya mewarisi darahnya, bukan mewarisi Wahyu. Dzuriyat Nabi tidak maksum, wajar jika ada salah dan khilaf. Maka kita pun harus bersabar, jika ada dzuriyat Nabi yang maksiat, dan mendakwahinya. Sebagaimana kita pun, tak luput dari salah dan lupa.

Umat Islam bukan hanya diperintahkan mencintai dan memuliakan dzuriyat Rasulullah. Bahkan, kita semua diperintahkan pula untuk mencintai dan memuliakan seluruh kaum muslimin. Karena kita dipersaudarakan oleh Allah SWT oleh akidah Islam, dan karena Islam itulah kita saling mencintai dan saling memuliakan. 

Masih banyak saudara kita, kaum muslimin yang dilecehkan, ditindas, bahkan dibunuh oleh orang kafir seperti di Palestina. Hukum Islam yang merupakan wasiat dari Rasulullah Saw ditelantarkan, dihinakan. Tugas kita yang utama adalah memuliakan hukum Islam dan umat Islam, jangan terperdaya dan terjebak pada polemik Nasab yang memang didesain oleh rezim Jokowi untuk memecah belah umat Islam. Wallalu 'Alam. [].


1 komentar untuk "KIYAI IMADDUDIN: MINTA MAAF & BERTAUBATLAH, PARA HABAIB: MAAFKANLAH & BERSABARLAH, UMAT ISLAM BERSATULAH PADA TALI ALLAH"

  1. Untuk para kiyai khususnya orang yang memiliki ilmu karana ada polemik ini antara kiyai dengan kyai ustad dengan ustad saling hujat saling merasa benara bagi kaum orang yang seprti saya ini tidak memiliki ilmu harus kemana untuk bersandar mencari ulama yang betul betul ulama aherat.mungkun inikah ahir jaman perselisihan dimanana mana sedang amal jauh dari ulmu

    BalasHapus