GURU GEMBUL, POLEMIK NASAB & METODE BERFIKIR UNTUK MENGANTARKAN PADA KEBENARAN

 




Selasa, 10 September 2024

Faktakini.info

*GURU GEMBUL, POLEMIK NASAB & METODE BERFIKIR UNTUK MENGANTARKAN PADA KEBENARAN*

Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik 

Dalam debat soal nasab, muncul kritikan Guru Gembul soal metode berfikir ilmiah. Kritik itu, disandarkan pada praduga bahwa metode berfikir para Habaib untuk mempertahankan jalur nasabnya dianggap tidak ilmiah. Apalagi, setelah tantangan tes DNA dari Imaddudin tidak ditanggapi, karena dianggap metode tes DNA adalah satu-satunya metode paling ilmiah (saintis) untuk membuktikan keterkaitan seseorang dengan Baginda Rasulullah Saw.

Padahal, tes DNA tidak membuktikan hubungan nasab, melainkan hanya hubungan darah. Nasab, diikat dengan perkawinan yang syar'i. Dengan metode tes DNA, orang berzina pun dianggap nasab bapaknya, sementara dalam Islam anak zina putus nasab dengan ayahnya, melainkan hanya menginduk pada ibunya.

Guru Gembul, bahkan dengan bangganya menyampaikan tamsil akan mengkritik Habib Bahar, karena tidak takut lagi akan berdosa, terkait status Habib Bahar sebagai Dzuriyat Rasulullah Saw. Seolah, kalau sudah Habaib haram dikritik, dianggap ma'shum (suci), sehingga ketika status habaibnya diragukan atau hilang, maka menjadi bebas untuk mengkritiknya, karena dianggap hilang illat untuk menyucikannya.

Agar tak menjadi rancu, agar tak pula masing-masing pihak menganggap dirinya paling ilmiah, sementara pihak lainnya tidak ilmiah, lalu argumentasi pihak lainnya dianggap lemah karena tidak memenuhi unsur ilmiah, maka kita akan awali dengan mendefinisikan apa itu berfikir.

Dalam kitab at Tafkir, Asy Syaikh Taqiyuddin an Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir) mendefinisikan berfikir sebagai proses pencerapan materi kedalam otak, disertai informasi awal yang diterima, dan dengan informasi awal itu materi/fakta ditafsirkan.

Berdasarkan definisi tersebut, maka ada 4 (empat) unsur dalam berfikir:

*Pertama,* adanya fakta/materi.

*Kedua,* adanya paca indera untuk mencerap (mata, kulit, lidah, telinga, hidung).

*Ketiga,* adanya informasi awal terkait fakta.

*Keempat,* adanya otak yang sehat.

Salah satu dari empat unsur ini hilang, maka tidak akan terjadi proses berfikir. Kalaupun terjadi, pasti salah satu hanya praduga.

Misalnya, seseorang yang ingin memikirkan rasa roti dihadapannya. Maka, untuk berfikir orang tersebut harus memiliki:

1. Roti, sebagai fakta yang diindera, dihadapannya.

2. Panca indera, untuk mencerap roti. (Mata untuk melihat, lidah untuk merasa).

3. Informasi awal tentang Roti.

4. Otak yang sehat.

Orang buta, tidak akan dapat berfikir tentang roti didepannya, dia pasti tidak akan tahu apa yang ada didepannya, meskipun ditanya berulangkali. Karena tidak terjadi proses mengindera (pencerapan), karena tidak adanya indera penglihatan.

Orang gila, tidak dapat berfkir tentang roti didepannya, dia pasti tidak akan tahu apa yang ada didepannya, meskipun ditanya berulangkali. Karena tidak terjadi proses menafsirkan materi dengan otak.

Orang yang sehat, pasti tidak dapat memikirkan ada roti didepannya, jika rotinya tidak ada. Materi roti yang tak ada, membuatnya tak bisa mengatakan didepannya ada roti, walau ada bakwan didepannya. Karena rotinya tidak ada (tidak ada objek materi roti yang diindera).

Sebaliknya, suku pedalaman yang tak pernah makan roti, meskipun memiliki otak, mengindera roti, pasti tak bisa menafsirkan apa yang ada dihadapannya adalah roti, jika tak ada informasi awal yang menyebut benda tersebut roti. Informasi tentang roti, dibutukan untuk berfikir tentang roti.

Selanjutnya, berfikir ada dua objek.

*Pertama,* berfikir atas objek terindera. Metodenya, bisa menggunakan pendekatan ilmiah. Seperti yang dijelaskan diatas.

Berfikir ilmiah, adalah berfikir atas objek fakta terindera, yang dengan penginderaan itu, dilakukan uji secara berkala dan berulang, hingga mendapatkan kesimpulan yang konstan, dan dengan kesimpulan yang konstan itulah, objek tersebut ditafsirkan. Berfikir ilmiah, layaknya seorang peneliti yang meneliti objek materi di laboratorium.

Kendati berfikir ilmiah ini sampai pada kesimpulan yang konstan, metode ini suatu saat bisa salah, jika ternyata ada informasi baru terhadap objek yang diteliti yang sebelumya informasi ini tidak ditemukan, sehingga tafsiran atas objek penelitian bisa berubah. Misalnya, teori tentang atom yang tidak bisa dibagi, yang kemudian ditemukan fakta atom masih bisa dipecah.

*Yang kedua,* berfikir aqliyah. Berfikir aqliyah adalah berfikir penalaran pada satu kesimpulan atas suatu kebenaran akan fakta, meski faktanya tak terindera.

Misalnya, berfikir Surga dan Neraka, tak mungkin dikaji secara ilmiah. Surga dan Neraka bukan objek terindera, meski begitu apakah kemudian orang yang meyakini kebenaran surga dan negara dianggap ngawur karena tidak saintis? Tidak saintis?

Contoh lainnya, berfikir tentang adanya Allah SWT, dengan mengindera alam semesta, manusia dan kehidupan. Meskipun Allah SWT bukan objek terindera, tetapi kita semua akan sampai pada keyakinan adanya Allah SWT, dengan mengindera alam semesta, manusia dan kehidupan yang teratur, mustahil ada dengan sendirinya, pasti ada penciptanya, yakni Allah SWT. Berfikir yang semacam ini juga termasuk berfikir dengan metode aqliyah.

Dalam konteks informasi yang tak terindera, umat Islam tidak menggunakan konsep berfikir aqliyah, melainkan Naqliyah, yaitu menukil atau mempercayai sumber informasi yang mengabarkan realitas tak terindera. 

Misalnya, orang yang beriman meyakini keberadaan Adam dan nabi-nabi terdahulu kendati telah lampau, meyakini adanya hari kiamat meskipun belum tiba waktunya, juga menyakini adanya Surga dan Neraka, meskipun realitasnya tak terindra dan adanya di akherat kelak.

Berfikir Naqliyah adalah berfikir membenarkan informasi dari sumber informasi yang telah dibuktikan kebenaranya secara aqliyah. Keyakinan adanya Adam, hawa, nabi nabi, hari kiamat, surga dan neraka, karena dikabarkan oleh Al Qur'an. Sementara Al Qur'an adalah Kalamullah, sumber informasi yang pasti benar.

Soal Al Qur'an Kalamullah, dapat dibuktikan dengan metode aqliyah. Yaitu, Al Qur'an adalah Wahyu Allah SWT yang berbahasa arab, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantaraan malaikat jibril, dan membacanya adalah ibadah.

Al Qur'an yang berbahasa arab, dan diturunkan oleh Muhammad, tidak bisa dibuat oleh orang arab, meskipun mereka berhimpun untuk membuatnya. Muhammad Saw adalah bagian dari orang arab, yang seluruh orang arab saja tak bisa membuat yang serupa dengan al Qur'an, apalagi seorang Muhammad. Lagipula, dari Muhammad Saw ada hadits, yang bahasa hadits jauh berbeda dengan Al Qur'an, meskipun sama-sama berkedudukan sebagai wahyu.

Alhasil, banyak ragam dan metode berfikir. Tidak bisa seseorang mengklaim kebenaran itu tak ada, hanya karena tidak ilmiah. Karakteristik metode ilmiah adalah penginderaan, dan metode ini tak bisa menjangkau objek tak terindera seperti kebenaran Surga dan Neraka. Andaikan untuk meyakini adanya surga dan negara harus menggunakan metode ilmiah, maka banyak orang yang ingkar kepada Surga dan Neraka karena tidak bisa diindera.

Metode ilmiah, lahir dari peradaban barat yang sekuler. Derivasinya adalan mahzab positisme. 

Untuk mendetailkan konsep berfikir ini, penulis sarankan pembaca ngaji kepada Hizbut Tahrir. Kajian dalam kitab-kitab Hizbut Tahrir, terutama kitab Nidzamul Islam bab Tharîqah Iman (Jalan menuju Iman), dibahas secara rinci.

Adapun polemik Nasab, bisa dibuktikan secara ilmiah, jika masih satu periode zaman, karena masih bisa diindera. Misalnya, Sosok Ibadullah atau Ubaidillah yang dipersoalkan bukan anak Muhammad Bin Isa, yang dari sini terputus, secara ilmiah bisa dibuktikan saat Ubaidillah ini lahir di RS Gatot Subroto pada tanggal 15 Agustus 2024. Maka, siapapun yang mengindera kelahiran Ubaidilah, maka secara ilmiah akan dapat menafsirkan Ubaidillah anak siapa, lahir dari ibunya siapa, karena proses persalinannya dapat diindera. Dokter yang menangani kelahiran Ubaidilah, adalah pihak verifikator yang paling ilmiah.

Namun, karena polemik Nasab Ba'alawi ini terkait silsilah nasab yang sudah berlalu selama ratusan tahun, maka metode ilmiah tak dapat diterapkan. Yang bisa adalah metode aqliyah, melalui jalan penukilan (riwayat), melalui riwayat nasab yang diturunkan.

Riwayat nasab itu sendiri, berbeda dengan hadits. Karena hadits, memiliki seleksi ketat terhadap para perawi dan bertemunya mereka dalam satu thabaqah (era), dan perawi harus adil dan dlabit.

Sementara Nasab, metodenya adalah pengakuan. Jika seseorang mengaku anak si Fulan, maka sah kita menyebut dia anak si Fulan. Jika seseorang mengaku ayah si Fulan, maka sah kira menyebut dia ayah si Fulan. Apalagi, pengajuan itu sudah Mashur diakui oleh masyarakat secara turun temurun dan berlangsung sudah ratusan tahun.

Bagi kita, cukup zahirnya, ketika seseorang mengaku anak si Fulan, zahirnya kita akui. Soal anak siapa sebenarnya, kita tidak dituntut untuk itu, karena mengenai hal itu, urusan si Fulan dengan Allah SWT.

Hari ini, ketika ada seseorang mengaku Habaib, bahkan memiliki catatan riwayat nasab yang tertulis rapih dalam silsilah keluarganya, maka hal itu cukup bagi kita untuk mengakuinya. Kita tak perlu memeriksa dan merinci detail pengakuan itu seperti meneliti silsilah hadits. Cukup Husnudz Dzan, bahwa dia benar seorang Habaib.

Perlakuan kita kepada Habaib adalah mencintainya, menaatinya sepanjang taat kepada Allah SWT, mengingatkan dan mengkritiknya saat menyimpang dari syariat. Habaib hanya mewarisi darah Nabi Muhammad Saw, bukan kema'sumannya (kesuciannya). Seorang Habaib bisa salah, karena Habaib juga manusia biasa seperti kita semua.

Tugas kita mencintai Habaib, karena ada amanah dari Nabi. Tugas kita mencintai sesama muslim, juga amanah dari Nabi. Jadi, kita wajib mencintai siapapun orang beriman, baik bernasab Habaib ataupun bukan, bahkan meski dia baru masuk Islam (Mualaf).

Jadi, segera tinggalkan perdebatan soal nasab, cintai semua Habaib, cintai juga semua kaum muslimin, sibukkan dan optimalkan energi kita untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam, yang akan memuliakan seluruh Habaib dan seluruh umat Islam. Karena hari ini, syariat Islam ditelantarkan, umat Islam direndahkan, hingga nasab Habaib pun dipersoalkan, karena sekulerisme menguasai umat ini. Umat harus sadar dan waspada atas upaya adu domba dan pecah belah umat Islam agar menjadi lemah, yang menjadi agenda orang-orang kafir dan munafik. [].