Kritik Terhadap Pandangan Rasionalisme Pak Gembul dalam Ilmu Nasab: Perspektif Filsafat dan Syariah (PART 1)

 




Selasa, 10 September 2024

Faktakini.info

Kritik Terhadap Pandangan Rasionalisme Pak Gembul dalam Ilmu Nasab: Perspektif Filsafat dan Syariah (PART 1)

Oleh : Abdussalam, S.E.I, M.E

Dosen UNU Pasuruan, Mahasiswa S3 UIN Maliki Malang

Pendekatan ilmiah dalam kacamata filsafat, seperti yang disampaikan oleh Pak Gembul ketika diskusi di Kantor Robithoh Alawiyah di Jakarta, menekankan rasionalitas dan empirisme. Segala sesuatu harus bersifat rasional dan dapat dibuktikan melalui indra. Pemikiran ini mencerminkan salah satu cabang filsafat logika yang mengharuskan setiap klaim ilmiah memiliki bukti yang dapat diindrawi atau dibuktikan secara empiris. Dalam konteks ini, siapapun lawan diskusinya harus mengimbangi pola pikir yang mengutamakan rasionalitas tersebut.


Daya kritis yang dibawa oleh ilmu filsafat dimainkan ketika tidak ada bukti secara empiris dalam jangka waktu tertentu, misalnya selama 150 tahun. Menurut logika filsafat yang dipahami oleh Pak Gembul, jika suatu peristiwa atau informasi tidak dapat dilacak melalui bukti empiris dalam kurun waktu tersebut, maka tidak bisa diterima sebagai kebenaran ilmiah. Pola pikir seperti ini mengabaikan konsep *Syuhroh wal Istifadhah*, yang dalam ilmu hadist dan tradisi keilmuan Islam adalah cara penerimaan pengetahuan melalui kesaksian umum dan penyebaran luas.


Pak Gembul tidak memahami, atau mungkin tidak mengenal, konsep ini dan lebih mengutamakan logika rasionalnya. Baginya, yang dianggap ilmiah adalah apa yang bisa dibuktikan secara empiris. Ia bertanya, "Adakah bukti empiris yang dapat kita lacak dalam kurun 150 tahun itu?" Logika filsafat seperti ini menurut Pak Gembul adalah standar ilmiah yang sahih, sebab ia hanya mengakui metodologi yang berdasarkan pengamatan dan bukti fisik, bukan pada kepercayaan atau keimanan.


Sebagai contoh, dalam pandangan Pak Gembul, ilmu nasab (genealogi) yang termaktub dalam kitab-kitab klasik hanya dianggap sebagai sebuah kepercayaan, bukan sebagai ilmu yang dapat dikategorikan ilmiah. Ini karena standar ilmiah menurutnya haruslah berdasarkan metodologi keilmuan yang bersifat empiris, bukan metodologi yang berasal dari keyakinan agama atau keimanan.


Namun, pandangan ini tentu mengabaikan pendekatan lain yang valid dalam ilmu-ilmu keislaman, seperti konsep *Tawatur*, yang merupakan salah satu metode autentikasi dalam ilmu hadis. Tawatur adalah sebuah konsep yang mempercayai bahwa informasi yang disampaikan secara konsisten oleh banyak pihak tanpa ada kontradiksi dapat dianggap sebagai kebenaran meski tidak disertai bukti fisik langsung. Imam Al-Bukhari, dalam menyusun kitab *Shahih Al-Bukhari*, menggunakan metodologi yang tidak hanya rasional tetapi juga berdasarkan prinsip *Syuhroh* dan *Tawatur*, yang dianggap kredibel dalam keilmuan Islam.


Dalam studi hadist, metodologi ini diakui oleh para ulama besar seperti Imam Muslim, Imam An-Nasa'i, dan ulama lainnya yang menyusun kitab hadis berdasarkan standar ketat mengenai periwayatan, baik dari segi kesahihan perawi maupun isi hadis itu sendiri. Hal ini tertuang dalam kaidah *"Al-jarh wa at-ta'dil"* yang berfungsi untuk menilai kebenaran perawi berdasarkan kredibilitasnya. Oleh karena itu, tidak semua informasi harus dibuktikan melalui bukti fisik, melainkan bisa juga melalui tradisi keilmuan yang sudah disepakati oleh para ulama dengan metode yang teruji secara turun temurun.


Kritik terhadap pemikiran yang hanya mengandalkan bukti empiris ini pernah disampaikan oleh *Imam Al-Ghazali* dalam karyanya yang terkenal, *Tahafut al-Falasifah*. Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali menolak beberapa pandangan para filsuf yang terlalu mengandalkan logika rasional dan mengabaikan aspek keimanan. Al-Ghazali berpendapat bahwa kebenaran tidak selalu harus terbatas pada apa yang dapat dibuktikan melalui pancaindra, tetapi juga mencakup hal-hal yang bersifat metafisik dan transenden yang dapat diketahui melalui wahyu dan keyakinan yang benar. 


Dalam *Tahafut al-Falasifah*, Al-Ghazali juga memberikan kritik mendalam terhadap pandangan filsafat yang berlebihan dalam mengedepankan rasionalitas, terutama dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal semata. Menurutnya, akal dan wahyu harus bekerja secara harmonis, tidak saling menafikan satu sama lain. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran: 


علم الإنسان ما لم يعلم (سورة العلق : ٥)


 _"Dan Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."_ (QS. Al-Alaq [96]: 5)


Ayat ini menunjukkan bahwa tidak semua pengetahuan manusia dapat dicapai melalui usaha rasional, tetapi ada pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu dan ilham. Oleh karena itu, dalam Islam, pendekatan ilmiah tidak hanya melibatkan aspek rasional dan empiris saja, tetapi juga mengakui kebenaran yang datang dari wahyu ilahi dan tradisi yang dapat dipercaya secara turun temurun.


Dengan demikian, kritik terhadap pandangan Pak Gembul yang hanya mengedepankan logika rasional tanpa mengakui aspek lain dari keilmuan Islam seperti *Syuhroh, Tawatur*, dan *kebenaran melalui wahyu* menunjukkan adanya keterbatasan dalam memahami kebenaran secara menyeluruh. Dalam Islam, metode keilmuan bersifat holistik, mencakup aspek rasional, empiris, dan transenden, yang semua itu bekerja dalam keselarasan untuk mencapai kebenaran yang hakiki.


---

Referensi :


1. Al-Ghazali, Abu Hamid. _Tahafut al-Falasifah_. Terjemahan: _The Incoherence of the Philosophers_. Islamic Texts Society, 2000.

2. Ibn Hajar Al-Asqalani. _Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari_. Dar al-Ma'arif, 1986.

3. Muslim ibn al-Hajjaj. _Sahih Muslim_. Kitab hadis.

4. Ahmad ibn Hanbal. _Musnad Ahmad_. Mu'assasat al-Risalah, 1999.

5. An-Nawawi, Yahya ibn Sharaf. _Sharh Sahih Muslim_. Dar Al-Fikr, 1995.