Mafhum Ilmiah Versi Guru Gembul Terpapar Rasionalisme dan Empirisme; Bukti Guru Gembul Tidak Ilmiah
Ahad, 8 September 2024
Faktakini.info
Afif Alkindi
Mafhum Ilmiah Versi Guru Gembul Terpapar Rasionalisme dan Empirisme; Bukti Guru Gembul Tidak Ilmiah
Pemahaman ilmiah memang beda antara epistemologi Islam dan Barat. Ilmiah dalam epistemologi Barat hanya berkutat pada dua hal, yakni rasional dan empirik.
Intinya, menurut mereka, semua hal yang bisa cerna oleh akal dan berdasarkan empirik maka layak disebut ilmu pengetahuan atau ilmiah. Efeknya, tidak memenuhi aspek rasional dan empirik maka apa pun itu, dan dari mana pun sumbernya pasti mereka tolak, seperti hal yang bersifat transendental.
Dari sini tak heran, orang² Barat tidak percaya terhadap entitas yang bersifat meta fisik, seperti entitas ruh, jin, malaikat, alam akhirat, dll, sebab tidak bisa dirasionalkan dan tidak bisa dipanca indera (empirik).
Kendati informasi mengenai alam transendental tersebut bersumber dari informan terpercaya yang diakui dunia, seperti para nabi dan utusan, serta diinformasikan secara masif (mutawatir) yang tingkat validitasnya tinggi, tetap mereka tidak percaya, sebab, ya sekali lagi tidak logis dan empiris.
Berbeda dengan epistemologi Islam yang tidak hanya mengandalkan rasional dan empiris, tapi juga menjadikan informasi valid sebagai sumber pengetahuan. Di sinilah letak perbedaan antara sumber pengetahuan Barat dan sumber pengetahuan Islam. Barat minus satu, Islam plus satu, yakni informasi yang valid.
Dalam hal ini, Imam An-Nasafi menegaskan sehubungan dengan epistemologi Islam tersebut;
اسباب العلم ثلاثة العقل السليم والحواس السليمة والخبر الصادق
Piranti untuk mengantarkan pada ilmu pengetahuan (kebenaran) ada tiga, yakni akal sehat (rasionalisme), panca indera sehat (empirisme), dan informasi valid.
Informasi yang valid, semisal informasi mutawatir, informasi yang disampaikan oleh informan yang kredibel, terpercaya, tsiqah, bisa kita terima dan menjadi sumber ilmu pengetahuan atau ilmiah.
Sehingga dari sini, cakupan ilmiah versi Islam lebih komprehensif dan syumul daripada ilmiah versi Barat. Dari sinilah, kita sebagai umat Islam meyakini adanya alam transendental yang informasinya datang dari informan terpercaya, apalagi tak pernah dusta seumur hidupnya, semisal Rasulullah.
Dan pengetahuan alam transendental melalui piranti informasi valid itu ilmiah, bukan tidak ilmiah, karena sudah memenuhi standar ilmiah, sebab mudahnya, maksud ilmiah adalah berdasarkan ilmu pengetahuan, sedangkan informasi valid itu di antara sumber pengetahuan.
Sebagai penutup, kita tidak boleh membedakan keimanan dan keilmuan (ilmiah) seperti perkataan si Gembul yang membedakan keduanya, sebab keimanan dalam Islam tetap berdasarkan ilmu dan argumentasi yang kuat, bukan sekadar dogma. Sehingga, iman dan ilmu itu sebenarnya sepaket, karena dengan ilmu, imam bisa kokoh, tak goyah. Jadi keimanan itu juga bisa diperoleh dengan cara ilmiah, bukan hanya sekadar iman gitu saja, atau kata orang sekarang "cukup diimani" tidak seperti itu.
Oleh sebabnya, dalam mendefinisikan iman para ulama mengatakan:
الإيمان هو الإعتقاد الجازم المطابق للواقع الناشئ عن دليل
Iman adalah keyakinan yang kokoh yang relevan dengan kenyataan yang muncul dari dalil (ilmiah).
Jadi, kalau kontruksi epistemologinya sudah berbeda, yang satunya pakai epistemologi Barat dan satunya pakai versi Islam, mau debat sampai kapanpun tidak akan menemukan titik temu. Sebeb deskripsi yang berbeda akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula.
Sekian, semoga bermanfaat.