Ma’lumat Bagi Santri dan Alumni PP. MUS Sarang Tentang Tesis KH. Imaduddin & Berita HOAX “Santri PP. MUS Sarang Dipecat berkaitan dengan tesis KH. Imaduddin”

 



Rabu, 25 September 2024

Faktakini.info

🔰Ma’lumat🔰

Ma’lumat Bagi Santri dan Alumni PP. MUS Sarang

Tentang Tesis KH. Imaduddin

Berita HOAX “Santri PP. MUS Sarang Dipecat

berkaitan dengan tesis KH. Imaduddin”

Oleh: KH. M. Sa’id Abdurrochim (Pengasuh PP. MUS Sarang)

Mengingat banyaknya permintaan dari sebagian masyarakat dan alumni PP. MUS Sarang supaya kami menanggapi permasalahan tesis KH. Imaduddin tentang pembatalan nasab Ba’alawi dari ketersambungan nasab kepada Nabi Muhammad maka kami menjelaskan bahwa:

1. Santri dan alumni PP. MUS Sarang diharapkan jangan membahas hal-hal yang berkaitan dengan nasab orang lain termasuk nasab Ba'alawi, karena para ulama berkata,

"النَّاسُ مُصَدَّقُونَ عَلَى أَنْسَابِهِم"

Manusia dipercaya atas nasab-nasabnya.

Dan karena masalah nasab Dzurriyah Nabi tidak menjadi kewenangan santri PP. MUS Sarang dan alumninya untuk membahasnya, sebab tidak punya keahlian tentang ilmu nasab dzurriyyah Nabi. Dan membahas hal ini secara terbuka akan berakibat mengganggu kerukunan umat Islam, juga menimbulkan caci maki antara yang berpendapat benar dan tidak benar.

2. Para ulama berkata, “Sesungguhnya setiap ilmu diambil dari para ahli di bidangnya”, dan sebagian ulama berkata,

"مَنْ قَالَ بِغَيرِ فَنِّهِ أَتَى بِالعَجَائِبِ وَالغَرَائِبِ"

“Barang siapa berkata di luar bidangnya, maka ia akan datang membawa hal yang mengherankan dan keanehan.”

Karena itu,  jangan begitu saja percaya dengan tesis KH. Imadduddin tentang pembatalan ketersambungan nasab Ba’alawi kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallama, karena beliau hanya seorang mutholi’ kitab nasab (orang yang menelaah kitab nasab) meskipun beliau seorang faqih (ahli fiqh) dengan karangannya Hasyiah Nihayatuz Zain dan nahwiy (ahli nahwu) dengan karangannya Syarah Alfiyyah Ibnu Malik, namun beliau bukan mujaddid.

Dan perlu disayangkan bahwa beliau belum begitu lama menelaah kitab-kitab nasab dan sejarah dan belum meneliti dengan sungguh-sungguh syajarah nasab (pohon nasab) yang dimiliki oleh keluarga Ba’alawi yang diterima turun temurun, serta belum jelas guru ilmu nasabnya siapa, namun sudah berani mengeluarkan karangan kitab yang membatalkan ketersambungan nasab Ba’alawi kepada Nabi Muhammad. Dan tulisan hasil telaah beliau belum pernah diuji kebenarannya oleh nassabah (orang ahli nasab) dari naqobah asyrof resmi baik ditingkat nasional maupun internasional.

Zaman dulu memang sering ulama’ yang ahli dalam ilmu nasab membatalkan nasab keluarga yang menyambungkan nasabnya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallama, karena untuk membersihkan nasab dzurriyyah Nabi dari dakwa kepalsuan nasab. Karena para ulama’ mengatakan,

إِنْ كُنْتَ مُدَّعِيًا فَالدَّلِيل

“Ketika kau mendakwa maka kau harus menyampaikan dalil”

Karena itu, sebenarnya tidak masalah KH. Imaduddin meneliti ketersambungan nasab Ba’alawi dengan Nabi Muhammad asal dengan niat yang baik yaitu bentuk rasa ghoiroh agar tidak ada orang lain menisbatkan nasab pada Nabi Muhammad tanpa hak, dan tidak menjelek jelekkan pihak lain, karena harus dibedakan antara nasehat dan ta’yir (menjelek-jelekkan), yang pertama bagus, dan yang kedua tidak boleh. Pak Yai Imad kiranya perlu membaca risalah sebagian ulama’ dengan judul

الفرق بين النصيحة والتعيير

Namun, semua itu hanya sebatas penelitian saja, belum bisa menjadi tendensi hukum untuk membatalkan nasab Ba’alawi.

Yang menjadi pertanyaan, layak kah standar keilmuan nasab KH. Imaduddin, sehingga sudah dianggap mampu mengoreksi kemudian membatalkan nasab Ba’alawi yang sudah masyhur ketersambungannya kepada Nabi Muhammad, dan orang lain boleh mengikuti pendapatnya?

Menurut kami, KH. Imaduddin adalah hanya seorang mutholi’ (orang yang menelaah), belum sampai tingkatan bahits yang sesungguhnya. Karena ketentuan seorang bahits yang sesungguhnya itu berat.

Sayyid  Al-allamah Umar berkata dalam fatwanya, “Bahtsu adalah pengambilan hukum yang dilakukan oleh bahits dari beberapa nash, ushul-ushul, dan kaidah umum yang bersumber dari Imam Madzhabnya. Orang tidak mampu melakukan bahtsu kecuali orang yang sudah menguasai ushul-ushul dan kaidah Imamnya, serta tabahhur (mendalam ilmunya seperti lautan). Dan hal ini tidak mudah.” Selesai fatwa Sayyid Umar.

Artinya, seorang bahits dalam ilmu nasab yang hasil kajiannya diakui dan orang lain boleh mengikuti pendapatnya harus sudah menguasai ushul-ushul dan kaidah Nassabah, serta tabahhur dalam ilmu nasab dengan menelaah ratusan judul kitab-kitab nasab, kitab sejarah, tarajim (biografi), dan tarikhul wafayat (tanggal dan tahun wafatnya pemilik nasab) baik kitab-kitab yang sudah dicetak atau yang masih makhtuthat (manuskrip).

Adapun metode bahtsu fokus pada masalah yang belum dibahas oleh ulama’ terdahulu. Dan tata cara bahtsu harus tidak keluar dari ushul-ushul dan kaidah Imam Madzhabnya, serta tidak boleh berlawanan dengan al-manqul (pendapat yang disebut) dan kriteria bahits seperti di atas dalam ilmu nasab tentunya sudah masuk tingkatan nassabah atau pakar nasab. Oleh karena itu, selama KH. Imaduddin belum sampai tingkatan demikian, maka hasil telaahnya yang memutuskan ketersambungan nasab Ba’alawi kepada Nabi Muhammad, walaupun sudah berupa kitab karangan tidak bisa dipertanggung jawabkan dan tidak boleh diikuti kecuali hasil tesisnya ditashih dan ditahqiq oleh Nassabah Naqobah Asyrof dengan tanpa menafikan pendapat para ulama’ dan Nassabah yang mengatakan bahwa nasab Ba’alawi tersambung pada Nabi Muhammad. Karena dalam Islam, proses mengambil keputusan hukum itu yang dibutuhkan tidak hanya tentang apakah keputusan itu sesuai dengan dalil-dalil apa tidak. Tapi, juga melihat derajat kemampuan pelaku yang mengambil keputusan hukum, sudahkah mereka memenuhi standar yang ditetapkan oleh ulama’ sehingga mereka punya kewenangan memutuskan nasab seseorang dan pendapat itu boleh diikuti orang lain.

Ketentuan ini (punya dalil dan keahlian) juga harus diberlakukan dalam melakukan bahtsu, berijtihad/berfatwa, dan menafsiri Al-Quran, karena Islam sangat menekankan keahlian seseorang agar orang tidak mudah memasuki wilayah pembahasan yang tidak menjadi bidangnya.

Imam Ibnu Sirin berkata,

إنَّ هَذَا العِلْمَ دِينٌ فَانظُرُوا عَمَّنْ تَأخُذُونَ دِينَكُمْ

Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian

Nabi bersabda,

وَإِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إلى غَيرِ أَهلِهِ فَانتَظِرِ السَّاعَةَ (رواه البخاري)

Jika urusan diserahkan kepada orang yang tidak ahlinya , maka tunggulah kiamat. (HR. Imam Bukhari)

Karena itu ketika seseorang berijtihad/berfatwa dalam hukum syar’i atau menafsirkan ayat Al-Qur’an, maka melakukan ijtihad/fatwa dan tafsir diperbolehkan dan hasil ijtihad/fatwa dan tafsiran mereka bisa diterima dan orang lain boleh mengikuti pendapatnya, bila sudah memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid/mufti dan seorang mufassir. Syarat-syarat ini telah dijelaskan oleh para ulama’ ahli fiqh dan ulama’ ahli tafsir dalam kitab-kitabnya. Dan bila mereka belum memenuhi syarat seorang mujtahid/mufti dan mufassir maka Para ulama’ menyatakan tidak boleh berijtihad/berfatwa dan menafsiri, dan orang lain tidak boleh mengikuti hasil ijtihad/fatwa dan penafsirannya, meskipun hasil ijtihad/fatwa dan tafsirnya benar. Karena kebenarannya hanya ittifaqi (kebetulan yang tidak disengaja)-selesai. Perkataan ulama’ di atas menunjukkan bahwa yang ditekankan tidak hanya soal ada dalilnya atau tidak, meskipun ada dalilnya, keahlian juga menjadi syarat boleh berijtihad/fatwa dan menafsiri dan orang lain boleh mengikuti pendapatnya.

Allah berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ  إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (الإسراء : 36)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya. (QS. Al-Isra’ :36)

Hal ini karena Islam sangat menjunjung tinggi dan menghargai kedisiplinan bidang ilmu atau spesialisasi ilmu. Allah berfirman,

وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثلُ خَبِيرٍ (الفاطر :14)

Dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti orang yang lebih mengetahui. (QS. Al-Fathir :14)

Allah juga berfirman

فَسْئَلْ بِهِ خَبِيرًا (الفرقان : 59)

Maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada orang yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang-Nya. (QS. Al-Furqan : 59)

Dan Allah Ta’ala berfirman,

فَسْـَٔلُوٓا أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (النحل : 43)

maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahl : 43)

Sebab untuk memperoleh pemahaman yang benar dalam suatu masalah, kita harus mengambil dan merujuk ilmu dari orang yang membidanginya karena setiap bidang ilmu punya pakar spesialisnya masing-masing, termasuk pakar ilmu nasab yang harus dibuat rujukan, bukan yang lain. Dan ini juga berlaku di kalangan akademis modern yang sangat menekankan spesialisasi ilmu.

3. Dalam menyikapi setiap masalah yang terjadi perselisihan atau dihadapkan pada isu keagamaan yang kontroversial di tengah masyarakat, kita harus bersikap hikmah bijaksana, artinya kemampuan ilmiyah yang disertai kebijaksanaan yang bisa memilah dan membedakan antara kebenaran dan kesalahan, sehingga bisa mendudukkan masalah pada tempatnya yang pas, disesuaikan dengan orangnya dan kondisi yang ada. Serta  bersikap adil yang mana dengan sifat ini kita bisa mengatur dan mengendalikan marah dan syahwat sesuai dengan ajaran agama. Allah berfirman,

ولا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا (المائدة: 8 )

Dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. (QS. Al-Ma’idah : 8 )

Karena itu, isu nasab Ba’alawi ini dan prilaku sebagian kecil kelompok Ba’alawi yang menyakiti dan mengganggu perasaan sebagian kelompok tertentu yang memunculkan kebencian kepada kelompok Ba’alawi tidak boleh melebar kemana-mana, karena sikap itu tidak adil. Seperti memprovokasi sentimen suku bangsa dan ras. Jadi harus dibedakan antara masalah nasab dengan perilaku buruk sebagian habaib, jangan yang salah segelintir orang tapi yang disalahkan semua para habaib Ba’alawi dengan mempermasalahkan nasabnya.

4. Santri dan alumni PP MUS Sarang supaya menghormati Kyai dan gurunya yang ada di tempat tinggalnya maupun di pondok pesantrennya dan memposisikan Kyai dan gurunya sesuai dengan kedudukannya secara proporsional. Begitu pula, supaya mencintai dan memuliakan Dzurriyah Nabi. serta memuliakan dan menghormati para Kyai yang bukan gurunya. Karena itu, ketika mencintai Dzurriyah Nabi Muhammad, maka tidak kemudian melupakan dan mengesampingkan memuliakan dan menghormati Kyai dan gurunya sendiri, meskipun guru dan Kyainya sendiri dari kampung, karena merekalah orang yang paling berjasa menyelamatkan kita di dunia akhirat. Nabi Muhammad bersabda,

أَنزِلُوا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ مَنَازِلِهِم وَأَعْطِ ذَا الحَقّ حَقَّه

Posisikanlah manusia sesuai dengan kedudukannya, dan berikanlah hak pada orang yang berhak.

5. Santri dan alumni yang tidak memiliki keturunan nasab dzurriyah Nabi Muhammad dan bukan keturunan orang Arab jangan kecil hati karena kemuliaan hakiki seseorang di sisi Allah dan di mata orang itu keilmuan dan ketakwaannya, meskipun bangsa Arab lebih mulia daripada bangsa non-Arab, tapi tidak kecil jasa para ulama’ non-Arab dalam merintis dan memajukan ilmu keislaman, hal ini bagian dari keadilan Allah ta’ala. Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Baihaqi, Imam Maturidi, Imam Qurtubi, Imam Ibnu Malik Al-Andalusi, Imam Ghozali, Imam Sibawaih, dll. Semua ulama’ tersebut berasal dari bangsa non-Arab, bahkan sebelum abad ini sampai sekarang yang paling menonjol di bidang ilmu hadits dengan karya besar dalam tulis menulis di bidang ilmu hadits dan Fiqh Hanafi itu dikuasai oleh ulama’ india dan pakistan bukan ulama’ Arab. Begitu juga para ulama’ dari Afrika berjasa besar baik dari dulu sampai sekarang dalam memajukan ilmu keislaman. 


Berita HOAX “Santri PP MUS Sarang Dipecat berkaitan dengan tesis KH. Imaduddin”


Mengingat banyaknya pertanyaan tentang berita di media sosial terkait dipecat dan dikeluarkannya santri Pondok Pesantren MUS Sarang Rembang karena mendukung tesis KH. Imaduddin tentang pembatalan nasab Ba’alawi bersambung kepada Nabi Muhammad maka kami menjelaskan bahwa:

Tidak ada siswa atau santri PP. MUS Sarang yang dipecat atau dikeluarkan dari PP. MUS Sarang disebabkan mendukung tesis KH. Imaduddin, karena santri yang sering kali melanggar pelanggaran berat prosedurnya diserahkan kepada kami. Dan kami sangat menghindari mengeluarkan santri dari PP. MUS Sarang, karena tindakan mengeluarkan santri menurut kami tidak bisa memecahkan masalah yang dihadapi santri yang sering melanggar. Dan juga kami sering kali menyampaikan ketika pengurus pondok menyerahkan murid pondok yang sering kali melanggar untuk diberi sangsi berat, kami menyampaikan jangan dipecat atau dikeluarkan dari pondok, karena طرد المريد  (mengusir murid) itu berakibat buruk bagi murid seperti dawuh sebagian ulama’, karena itu sangat kasihan bila murid diusir dan dikeluarkan dari pondok.

Dengan kebijakan kami yang demikian ini, sanksi bagi murid yang melanggar berat adalah dimasukkan di kamar antara untuk dibina pengurus secara khusus selama 40 hari. Jika kembali melanggar berat lagi, akan dititipkan pembinaannya kepada pondok yang diasuh kyai alumni PP. MUS yang di sekitar sarang atas persetujuan orang tua murid. Kemudian, apabila melanggar berat lagi, maka diskorsing selama satu atau dua bulan. Dan apabila melanggar berat lagi, maka diistirahatkan dulu di rumah dengan pengawasan orang tuanya sampai bisa memperbaiki diri. Setelah itu, bisa masuk ke pondok lagi.

Sarang, 23 September 2024 M.

KH. M. Sa’id Abdurrochim

Pengasuh PP. MUS Sarang

Sarang, Rembang, Jawa Tengah

_____________________________________

Baca selengkapnya di website www.ppmus.id