Nuruddin Ladeni Tantangan Debat Pak Gembul

 




Ahad, 15 September 2024

Faktakini.info

Muhammad Nuruddin

Waktu ditantang guru gembul posisi saya sedang Jogging di kejauhan 5 kilo dari rumah. Sampai rumah langsung saya respon. Tak lama setelah itu ia pun merespon balik. "Oke jadwalkan", kata pak guru. Pihak yang saya harap bisa memediasi, tim Keira Publishing, sudah menyetujui dan akan menyewakan tempat. Info terbaru mereka sedang menunggu jadwal kosong di UIN Jakarta. Kalau jadi, mungkin kita akan diskusi di sana. Kalau tidak, mungkin di tempat lain. Silakan hubungi tim terkait jika ada kampus atau lembaga lain yang ingin menyediakan tempat. 

Saya harap cara sat-set semacam ini ditiru oleh siapapun yang mempersilakan dirinya bicara di hadapan publik. Apalagi menggugat dan mempertanyakan hal serius dalam agama. Tidak terkecuali para pembatal Nasab Ba'alawi, yang kesahihannya telah disepakati oleh para ahli. Kalau sudah bicara kesana kemari, diundang ke berbagai tempat, menyatakan siap debat 3 hari 3 malam, tapi ketika diundang tidak datang, maka itu jadi pertanyaan besar. Sekaligus mengecewakan banyak orang. 

Debat ilmiah itu merupakan keteladanan intelektual dari para leluhur kita. Saking besarnya perhatian mereka tentang hal ini, sampai-sampai mereka membuat satu disiplin ilmu secara khusus untuk mengatur tatacara berdebat. Yaitu ilmu jadal, atau adab al-bahts wa al-munazharah (versi indonya sudah saya tuangkan dalam buku Ilmu Debat). Ilmu itu tidak dirangkai berdasarkan iman. Tapi kaidah-kaidah rasional yang bersifat universal. Kalau mau debat secara ilmiah, maka kita perlu menggunakan kaidah ilmu itu.

Saya berharap guru gembul tidak hanya menuntut orang untuk menyajikan bukti ilmiah atas keberadaan Allah. Tapi dia juga harus menyampaikan apa bukti ilmiah bahwa akidah ketuhanan itu tidak ilmiah. Sekaligus membuktikan keilmiahan dari konsep ilmiah yang ia rumuskan sendiri. Ingat bahwa metode ilmiah harus disesuaikan dengan objek yang dibahasnya. Kalau objek itu bersifat inderawi, maka dia harus dibahas dari sudut empirik. Tapi kalau tidak, maka harus menggunakan metode lain. Dan metode ini juga harus terbukti sahih secara ilmiah.

Masalah guru gembul itu cuma keliru dalam merumuskan makna "ilmiah" aja. Bagi dia, ilmiah itu identik dengan inderawi. Karena itu dia sampai berani menyampaikan tantangan terbuka untuk siapa saja yang bisa "mengilmiahkan" keberadaan Allah. Ya kalau ilmiah itu hanya diartikan bersifat inderawi, sementara semua manusia tahu bahwa Tuhan itu tidak bersifat inderawi, maka tantangan kaya begitu sebetulnya nggak punya makna. Karena anak SMA juga tahu bahwa Tuhan itu nggak bisa dilihat. 

Seolah2 dia mau bilang begini, "ayo baraya saya mau tantang semuanya nih, coba buktikan bahwa Tuhan itu bisa dilihat/tertangkap oleh panca indera" (karena ilmiah dalam versinya itu harus bersifat inderawi!). Kira-kira tantangan begitu ilmiah nggak sih? Sejak awal itu udah nggak ilmiah. Karena menuntut lawan untuk menggunakan metode empirik. Sementara objeknya sendiri tidak bersifat inderawi. Nggak usah ditantang juga semua orang bisa mengakui bahwa Tuhan itu nggak bisa dilihat, nggak tertangkap oleh pancaindera, tidak bersifat fisik, dan berada di luar pengalaman manusia. 

Lalu di mana masalahnya? Masalah seriusnya terletak pada penyempitan makna "ilmiah" itu. Itulah yang akan ditolak oleh banyak teolog dan filsuf Muslim. Itu terlihat sepele. Tapi dampaknya bisa melebar ke mana-mana. Kenapa Anda hanya membatasi makna ilmiah itu pada pengetahuan inderawi semata? Apa basis epistemologi yang Anda bangun? Dari mana rujukannya? Apa landasan ilmiahnya? Apakah ada pengetahuan ilmiah lain selain pengetahuan inderawi itu? Kalau iya, bagaimana cara membuktikannya? Kalau tidak ada, apa bukti ilmiahnya? Itu yang akan menjadi bahan diskusi. Demikian. Dan selamat menunggu.

Posting Komentar untuk "Nuruddin Ladeni Tantangan Debat Pak Gembul"