Pak Gembul, Kau Harus Baca Buku ini! Kerancuan Logika Falsafah Pak Gembul

 



Selasa, 10 September 2024

Faktakini.info

Pak Gembul, Kau Harus Baca Buku ini!

Kerancuan Logika Falsafah Pak Gembul

Pendahuluan

Jujur saja, menyaksikan diskusi Pak Gembul di Rabithah Alawiyah tadi siang dengan Habib Fikri Syahab dan Ust. Abdul Wafi, Saya ikut greget, atau gemes kali ya lebih tepatnya. Gimana gak gemmes, dia seorang Guru, bergama Islam, tapi logika yang digunakannya untuk sebuah keilmiahan adalah logika Falsafat dari Yunani. Dia membedakan antara keimanan dan keilmuan. Dia juga menyampaikan bahwa standar ilmiah adalah biaa di indrawi. Maka hal-hal yang bersifat metafisik, seperti adanya Jin, Malaikat, Bangkit dari Kubur, adanya siksa akhirat, bahkan syurga dan neraka. Baginya ini bukan ilmiah. Walau informasi ini tersebut oleh Nabi melalui hadits2 nya atau tertera dalam Al Quran. Menurutnya ini adalah keimanan. Bukan ilmiah.

Ilmiah menurut Pak Gembul, adalah hal yang harus mengikuti kaidah keilmuan, tersistematis dan ada metodologi nya. Jadi, ilmu nasab baginya itu adalah keimanan atau kepercayaan, bukan ilmiah. Lebih tepatnya ilmu nasab itu adalah subyektifitas penulis. Bukan tanah ilmiah. Apalagi sampe terputus 150 tahun. Maka tidak bisa terkonfirmasi. Kesimpulan akhirnya Pak Gembul adalah ilmu Nasab ini tidak ilmiah, karenanya bisa dikritik dan diperbaharui metodologinya. Dari mana misalnya, Imam Ali As-Sakron mengetahui bahwa Ubaidillah adalah putra Ahmad bin Isa? Wong jaraknya dia dengan Ubaidillah terpaut ratusan tahun? Jelas ini subyektifitas penulis. Hehe.. Gemmes gak.. 


Bagi Saya orang Pesantren, mendengar cara berfikir seperti ini, lucu. Pengen ketawa aja. Karena pola berfikir seperti ini, adalah bibit2 logika falsafah barat yang bahaya terhadap akidah seorang muslim. Itu kalo dilanjut, maka adanya informasi wahyu yg datang dari Nabi seperti tentang siksa kubur, adanya neraka, syurga, Jin, dan hal2 lain yang bersifat Metafisik, dia katakan itu tidak ilmiah. Itu hanya kepercayaan (baca: agama). Pemikiran seperti inilah yang dulu sejak Al Ghazali hidup, pernah ditentang dengan kitabnya yang berjudul, Tahafutul Falasifah (Kerancuan Orang2 Filusuf yang selalu mendewa² kan logika akal) sebagai satu2 nya jalan menunjukkan kebenaran. 


Filsafat memang telah memainkan peran penting dalam perkembangan intelektual, terutama dalam peradaban Yunani Kuno yang banyak mempengaruhi pemikiran dunia Islam. Namun, munculnya pemikir seperti Imam Al-Ghazali, mampu mengubah pandangan terhadap filsafat, terutama yang menyangkut keterbatasan logika dalam menjelaskan aspek-aspek teologis dan metafisik. Al-Ghazali, dalam bukunya *Tahafutul Falasifah* menyampaikan kritik tajam terhadap pemikiran para filsuf Muslim yang terlalu mengedepankan logika dalam memahami hakikat alam semesta dan penciptaan manusia, di antaranya Al-Farabi dan Ibn Sina.


Imam Al-Ghazali dan Karya Tahafutul Falasifah


Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) adalah salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam yang dikenal atas kontribusinya dalam bidang fiqh, tasawuf, teologi, dan filsafat. Karya monumentalnya, *Tahafutul Falasifah*, ditulis sebagai respons terhadap kecenderungan para filsuf Muslim yang mengadopsi pemikiran filsafat Yunani dalam hal-hal teologis yang dianggap Al-Ghazali menyimpang dari ajaran Islam. Di dalamnya, ia menyajikan kritik terhadap konsep-konsep kunci dalam filsafat, seperti teori kausalitas, keabadian alam semesta, dan gagasan tentang akal manusia yang dapat memahami semua hal melalui logika.


Kritik Al-Ghazali terhadap Filsafat Logika

Epistemologi Filsafat vs. Pengetahuan Ilahi


Menurut Al-Ghazali, filsafat logika yang diusung oleh para filsuf mengasumsikan bahwa akal manusia selalu mampu menjangkau seluruh kebenaran, bahkan kebenaran yang bersifat ilahi. Para filsuf seperti Ibn Sina dan Al-Farabi beranggapan bahwa manusia bisa mencapai hakikat penciptaan dan keberadaan Tuhan melalui pemikiran logis semata. Al-Ghazali menentang pandangan ini dengan menunjukkan keterbatasan akal manusia, terutama dalam hal-hal yang bersifat metafisik. Baginya, akal manusia tidak dapat menjangkau sepenuhnya pengetahuan tentang Tuhan dan penciptaan tanpa bantuan wahyu ilahi.


Penghancuran Konsep Kausalitas


Salah satu kritik utama Al-Ghazali terhadap filsafat logika adalah terkait konsep kausalitas. Filsafat Aristotelian mengajarkan bahwa setiap sebab menghasilkan akibat, dan hubungan ini adalah sesuatu yang pasti dan tidak berubah. Ibn Sina, sebagai filsuf yang mengikuti aliran Aristoteles, juga mempercayai bahwa alam semesta memiliki keteraturan yang ketat berdasarkan prinsip kausalitas. Namun, Al-Ghazali dalam *Tahafutul Falasifah* menegaskan bahwa hubungan sebab-akibat tersebut hanyalah sebuah kebiasaan (habit), bukan sesuatu yang bersifat pasti. Tuhan (Allah swt), dalam pandangan Al-Ghazali, memiliki kekuasaan mutlak, dan setiap kejadian dalam alam semesta terjadi atas kehendak-Nya, bukan karena hukum sebab akibat alam semata.


Kerancuan Berpikir Filsuf tentang Penciptaan Alam


Salah satu kritik besar Al-Ghazali terhadap para filsuf adalah pandangan mereka tentang penciptaan alam semesta. Para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina berpendapat bahwa alam semesta bersifat kekal dan tidak diciptakan, melainkan selalu ada. Gagasan ini, yang berakar dari pemikiran Aristotelian, jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah swt dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Ghazali menentang keras pandangan ini dan menuduh para filsuf menyimpang dari ajaran akidah Islam. Ini adalah pemikiran sesat dan menyesatkan. Baginya, alam semesta diciptakan oleh Tuhan pada suatu waktu tertentu, dan ia menekankan bahwa manusia tidak dapat memahami sepenuhnya mekanisme penciptaan ini hanya dengan logika un sich.


Dalam bagian ini, Al-Ghazali juga menekankan pentingnya wahyu sebagai sumber pengetahuan yang mutlak dan tidak bisa dipahami sepenuhnya melalui logika. Wahyu memberikan panduan yang jelas tentang penciptaan alam, yang tidak mungkin diakses oleh akal manusia yang terbatas. 


Selain masalah penciptaan alam, Al-Ghazali juga mengkritik pandangan filsafat logika tentang penciptaan manusia. Para filsuf berargumen bahwa manusia diciptakan melalui proses alamiah yang dapat dipahami secara rasional. Ibn Sina, misalnya, berpendapat bahwa jiwa manusia bersifat abadi dan memiliki eksistensi yang terpisah dari tubuh, dan keberadaan jiwa dapat dijelaskan melalui pemikiran logis. Al-Ghazali menolak argumen ini dan menegaskan bahwa manusia, baik tubuh maupun jiwa, diciptakan oleh Tuhan dengan cara yang melampaui pemahaman logika manusia.


Al-Ghazali menegaskan bahwa jiwa manusia tidak bisa dijelaskan sepenuhnya melalui rasionalitas, melainkan harus dipahami dalam konteks teologis yang melibatkan wahyu. Dalam pandangan Islam, jiwa manusia adalah anugerah dari Tuhan, dan penjelasan tentang jiwa tidak dapat ditemukan melalui filsafat logika semata. 


Keimanan sebagai Fondasi Pengetahuan


Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa keimanan, bukan logika, harus menjadi dasar dari pengetahuan. Dalam Islam, wahyu dianggap sebagai sumber pengetahuan yang paling otoritatif, melebihi akal dan pancaindera manusia. Bagi Al-Ghazali, akal manusia harus tunduk pada wahyu, karena hanya dengan wahyu manusia dapat mencapai pengetahuan yang benar. Pandangan ini dijelaskan dalam karya Al-Ghazali yang lain, seperti *Ihya Ulumuddin*, yang menekankan pentingnya keimanan dalam kehidupan spiritual dan intelektual umat Islam. Ini yang harus dipahami dan diketahui oleh Pak Gembul.


Al-Ghazali juga berargumen bahwa keraguan yang muncul dari filsafat hanya dapat diatasi melalui keimanan yang kuat. Filsafat yang terlalu mengandalkan logika akan selalu menghasilkan keraguan, karena akal manusia bersifat terbatas dan tidak dapat mencapai kepastian mutlak. Hanya dengan keyakinan kepada wahyu dan Tuhan, manusia dapat mencapai kepastian yang sebenarnya.


Kesimpulan

Melalui kitab *Tahafutul Falasifah*, Imam Al-Ghazali menunjukkan dengan jelas kelemahan-kelemahan filsafat logika, terutama dalam hal-hal yang menyangkut penciptaan alam dan manusia. Ia menekankan bahwa akal manusia tidak bisa dijadikan dasar utama atau pijakan untuk memahami hakikat metafisika, teologi, dan penciptaan. Kritik Al-Ghazali terhadap filsafat logika tidak hanya berpengaruh pada zamannya, tetapi juga memberikan warisan intelektual yang relevan hingga saat ini. Dalam menghadapi era modern yang mengedepankan rasionalitas, pemikiran Al-Ghazali tetap relevan sebagai pengingat bahwa logika dan rasionalitas memiliki batas-batas yang harus tunduk pada keimanan dan wahyu.

Khususnya Pak Gembul, pemikirannya ini bahaya jika diajarkan kepada orang banyak. Berpotensi penyesatan akidah dan melenceng dari Akidah Ahlus Sunnah wal jamaah. Tapi Saya salut, Pak Gembul tetap datang secara gentle men. Tidak seperti satunya yang ngumpet, alias cemen. Semoga ada diskusi lagi antara Ust Wafi dgn Pak Gembul, head to head. Pasti seru.