POLITIK ADALAH SEKULER

 



Ahad, 8 September 2024

Faktakini.info

POLITIK ADALAH SEKULER 

Irawan Santoso Shiddiq, SH 

“Politique menghancurkan taqwa.” (Ian Dallas, The Entire City, 2015). 

Politik, ini sebuah aliran kekusaan yang berkembang pasca Renaissance. Ian Dallas berkata, politik merupakan perpaduan antara realisme Aristotelian dan pragmatisme Machiavelli (The Entire City, 2015). Dari sanalah manhaj politik digodok. Era Renaissance, ‘politique’ menjadi jalan keluar dari kejumudan dogma. Karena sejak masa Romawi sampai Kekristenan, manusia masih meyakini bahwa kekuasaan merupakan Kehendak Tuhan. Tapi kemudian bergeser menjadi ‘kehendak Raja’ dan otoritas Gereja Roma. Reformasi Luthern dan Calvinis, sempat mereduksi kepercayaan itu. Tapi ujungnya, manusia dibawa kepada aliran politik sekuler. 

Ini yang melahirkan ‘egalite, liberte, fraternite’ yang jadi slogan Revolusi Perancis. Robbiespierre kencang menyuarakan slogan itu. Seolah manusia harus memiliki free will (kehendak bebas) dalam menentukan pemimpin. Tak lagi terjerambab dalam urusan agama. Dielaktika ini berlangsung panjang. Epos pasca kegagalan crusaders, menjadikan krisis kepercayaan atas ‘kepemiminan atas nama agama.’ Ini yang jadi senjata para baron, kaum borjuis, untuk mengambil alih kekuasaan. Disitulah teori Maciavelli diminati. 

Inti dari ‘Il Principe’ adalah penegasan bahwa seolah kekuasaan itu sepenuhnya ‘kehendak manusia.’ Bukan Kehendak Tuhan. Machiavelli, tentu merujuk Aristotelian, yang menganggap ‘being’ adalah perbuatan manusia. Bukan Perbuatan Tuhan. Ini masuk dalam domain aqidah. Ian Dallas mengatakan, “Pra renaissance, manusia meyakini manusia menjadi Tuhan. Pasca renaissance, manusia ‘menjadi’ Tuhan.” Karena manusia memiliki kehendak bebas. Doktrin filsafat mengajarkan, Tuhan bak pembuat jam. Kala jam selesai dibuat, maka jam berjalan sendirinya. Tuhan, bagi kaum filosof, hanya sebatas penyebab sekunder. Bukan penyebab primer. Walhasil, urusan kekuasaan, Tuhan telah menyerahkannya pada manusia. Jadi, bukan sepenuhnya domain kaum agamawan. Dari sanalah, Machiavelli menelorkan bahwa penguasa adalah mereka yang berhasil merebut dan mempertahankan kekuasaan. Penguasa bukanlah given. Tapi yang mampu melahirkan sebuah tatanan wilayah berada pada kestabilan (Latin: statum). Kalimat ‘statum’ ini yang digunakan manusia modern. Inggris menterjemahkannya menjadi ‘state’. Belanda (staat). Perancis (L’etat). Jadi, penguasa seolah adalah sosok yang berhasil membuat wilayah menjadi ‘stabil’, tanpa kecamuk dan gejolak massa. 

Abad pertengahan di Eropa, itulah gejolak aksi massa dan massa aksi sangat tinggi. Eropa springs terjadi. Perang antar aqidah, mewarnai belantara Eropa. Tahun 1517, pembantaian massal di istana Kerajaan Perancis, dalam peristiwa ‘Peringatan Hari Santobartolomeus’, menjadi titik awal krisis kepercayaan ‘Kekuasaan ditangan Raja.’ Dogma bahwa ‘Vox Rei Vox Dei’ (Suara Raja Suara Tuhan) seolah terbantahkan. Karena Raja dianggap wakil Tuhan, tapi kemudian terjadi pembantaian atas nama agama. “Apakah benar Tuhan mengkehendaki pembunuhan massal?” Tanya itu menjadi titik kritis yang tak terjawab. Ditambah masuknya filsafat, yang mewarnai renaissance, ditanggapi dengan ekstrim kalangan Gereja Roma. Itu makin menambah krisis logika bahwa ‘Raja adalah wakil Tuhan.’ 

Maka massa aksi berlangsung dalam dua golongan. Pengikut fatalisme dan ateisme saling berperang di Eropa. Bak pertarungan antara ‘jabariyya’ dan ‘qadariyya’. Jabariyya, menganggap segala sesuatu adalah ‘Kehendak Tuhan’, manusia tak memiliki daya dan kehendak apapun. Termasuk urusan kekuasaan, sepenuhnya adalah Kehendak Tuhan. Manusia harus patuh pada ‘Wakil Tuhan’, tanpa boleh dibantah, Tapi dogma ini memiliki banyak ‘kejanggalan historis’. Kegagalan ‘Crusaders’ menjadi titik kritis, tentang kepercayaan itu. 

Sementara kaum ‘qadariyya’ yang dipeloposi filosof, membawa doktrin baru. Kekuasaan sepenuhnya ‘kehendak manusia.’ Inilah yang dipelopori Maciavelli, Thomas Hobbes, Jean Bodin, sampai Jean Jacques Rosseau. Mereka mengajarkan doktrin bahwa ‘Tuhan hanya penyebab sekunder.’ Bukan primer. Makanya manusia berhak menentukan tatacara kepemimpinan sendiri. Bukan lagi merujuk kaum agamawan. 

Teori ini yang memiliki banyak pengikut. Disamping penumpang gelap mendompleng dalam ‘aksi massa’ gerakan ‘ateisme’ tadi. Merekalah kaum baron atau borjuis. Di Inggris, para baron yang mensponsori ‘King Willian of Orange’ melakukan Revolusi Inggris, untuk keluar dari otoritas Gereja Roma, 1669. Seabad kemudian, kaum borjuis Perancis, mendanai Robiespierre memimpin Revolusi Perancis, membantai kaum pengikut ‘agamawan dan bangsawan.’ Kota Paris jadi saksi sejarah, disitulah perang aqidah abad pertengahan, berlangsung home and away, antara pengikut ‘panteisme’ dan ‘ateisme’. Tahun 1572, kaum ateisme yang dibantai. Tahun 1789, kaum ateisme yang giliran membantai. Tapi kemenangan seolah berada ditangan pengusung ‘egalite, liberte, fraternite.’ Ini yang disangka Robbiespierre, dia telah merasakan kemenangan. Padahal dirinya hanya dijadikan boneka. Dua tahun memimpin revolusi, dia langsung disingkirkan. Para borjuis, mengkudetanya dengan mengangkat boneka baru: Napoleon Bonaparte. 

Robbiespierre dan revolusioner Perancis merasa, keluar dari ‘kehendak Tuhan’ seolah itulah ‘liberte.’ Kebebasan. Meninggalkan hukum Tuhan, seolah itulah ‘egalite.’ Dan berkumpul bersama penganut ‘free will’ seolah itulah “fraternite” (persaudaraan). Padahal mereka kemudian berubah status. Perancis baru, dengan slogan Republik, bukanlah berubah menjadi ‘negara merdeka.’ Melainkan berubah status menjadi negara ‘koeli.’ Massa aksi memang berhasil ditenangkan. Aksi massa berhasil diredam. Tapi itu dilakukan dengan kediktatoran sebuah system. Karena manusia kemudian dikontrol dan dikendalikan oleh system. Sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Jadi, tak ada yang namanya ‘freedom.’ Melainkan terkungkung oleh ‘sistem rule.’ Inilah gambaran utuh atas modernisme –buah dari renaissance-. 

Revolusi Inggris, 1669, dan Revolusi Perancis, menjadi pertanda politik sekuler hanya menjadi jalan kekuasaan berada ditangan elit bankir. King William, berubah status menjadi boneka kaum bankir. Mereka menjadikan William sebagai Raja, tapi urusan keuangan, diambil sepenuhnya para baron. Maka berdirinya ‘Bang of England’ sebagai bank sentral. Napoleon idem ditto. Dia didapuk sebagai Kaisar, tapi kendali keuangan sepenuhnya ditangan elit bankir, itulah ditandai berdirinya ‘Bank de France.’ Bank sentral Perancis. Ian Dallas mengatakan, sesiapa mengendalikan harta, dialah penguasa. Maka, tak ada penguasa tanpa kontrol atas kekayaan. Politik sekuler, atas nama demokrasi atau Republik, telah memisahkan ‘penguasa dan pengendali harta.’ Maka tampaklah wujud modern state, dimana tak satupun ‘kepala negara’, mampu mengendalikan uang yang berlaku dinegaranya. 

Perang Dunia II, menunjukkan kekuasaan bukanlah ditangan ‘head of state’. Bretton Wood, pasca PD II, menjadi indikasi bahwa para kepala negara tunduk di bawah otoritas bankir. Mereka dikumpulkan, diberi instruksi: “Mulai sekarang, kami menerbitkan uang kalian, tanpa ada lagi back up emas.” Itu instruksi bahwa kekayaan bukan lagi dibawah kendali Raja, Presiden ataupun yang disebut ‘penguasa.’ Jadi tampaklah seorang ‘head of state’ tak-lah berkuasa penuh. Revolusi Inggris, menabalkan hal demikian dengan disebut sebagai ‘monarkhi konstitusional.’ Artinya, kendali kekuasaan bukan sepenuhnya ditangan Raja. Melainkan dibawah kendali ‘constitutio.’ Siapa yang membuat konstitusi? Jean Jacques Rosseau yang punya teorinya. Constitutio, seolah lahir atas ‘kehendak manusia.’ Hukum bukanlah ‘Kehendak Tuhan.’ Maka, hukum harus dibuat oleh kawanan manusia. Bukan lagi merujuk pada Kitab Suci. Pasca Revolusi Perancis, Code Napoleon, jadi wajah terang bahwa manusia meninggalkan Kitab Suci. Dengan dalih bahwa manusia dibekali akal, untuk mengatur dunia. Inilah doktrin filsafat, yang melegitimasi manusia seolah berhak untuk membuat hukum sendiri. Descartes sampai Kant, menjadi biang kerok ajaran ini. Karena Descartes mengatakan, ‘Tuhan, manusia, alam semesta, dan lainnya, menjadi ajang penyelidikan manusia.’ Maka, manusia yang berhak dan menjadi ‘penentu.’ Doktrin ini yang meracuni dan melahirkan modernisme. Tuhan, dianggap sebagai penyebab sekunder. Bukan penyebab utama. 

Teori ini diteruskan Hans Kelsen, sampai John Austin dengan positivism-nya. Seolah, ayat-ayat Kitab Suci, yang sah dan berlaku sebagai ‘hukum’, jika diletakkan dan tercantum dalam ‘constitutio’ dan aturan turunannya. Maka, sejak itulah modernitas resmi mengeliminasi Kitab Suci. 

Begitu pula ‘politik’, yang diusung dari azas ‘free will’ tadi. Penguasa, secara resmi, bukanlah ‘Wakil Tuhan’ atas nama Raja. Robiespierre sampai Kemal Attaturk, secara resmi menyebutkan bahwa mereka bukanlah ‘Wakil Tuhan.’ Tapi, doktrin ini yang kemudian dihembuskan terbalik ke negeri-negeri muslim. Selepas modernisme menang di Eropa, kemudian merambah negeri-negeri muslim. Sampai kemudian menjatuhkan otoritas kebangsaan atas nama agama: sultaniyya. Dari situ doktrin baru diciptakan, bahwa seolah ‘Presiden adalah Ulil Amri.’ Padahal Attaturk sendiri secara tegas, dirinya mengkudeta dan membubarkan Daulah Ustamniyya, maka dia bukan sosok ‘Khalifah’ ataupun layak disebut ‘Ulil Amri.’ Tapi kini, kelumpuhan dan kejumudan berlangsung, sehingga membuat kelumpuhan umat. Karena faktanya, toh memang seorang ‘head of state’, tak mampu mengendalikan uang yang berlaku di negerinya sendiri. Karena itu adalah otoritas bankir. Stendhal berkata, ‘Tak ada penguasa tanpa mengendalikan harta.’ Simbolisasi harta adalah kekayaan. Sesiapa yang mengendalikan kekayaan, itulah sosok penguasa. 

Politik sekuler hanya melahirkan dan menampakkan kekuasaan dibawah kendali kaum bankir. Doktrin diciptakan, untuk menjadikan kelumpuhan logika, karena seolah manusia berhak menentukan ‘kekuasaan sendiri.’ Padahal doktrin itu menjadikan manusia berada di bawah wujud ‘koeli-koeli.’ Ketika manusia lumpuh dan telah menjadi ‘koeli’, seolah tampaklah adanya ‘kestabilan’ (statum). Padahal itulah penindasan. Bukan ‘liberte.’ Politik sekuler, jelas tak lagi mampu membawa pada ‘kemerdekaan.’ Melainkan menjerumuskan pada per-koeli-an dunia. Karena penguasa sesungguhnya adalah kaum bankir. Mereka melegalisasi riba. Memaksa manusia modern tunduk pada sebuah sistem tunggal. Agama dianggap harus berada di bawah sebuah sistem yang diciptakan manusia, jika ingin berlaku. Inilah eliminasi terhadap Kebenaran Tuhan. Maka, kejumudan telah melanda modernisme. 

Jalan keluar dari kejumudan ini, bukanlah kembali pada filsafat yang melahirkan politik sekuler. Melainkan kembali pada politik alamiah. Itulah absolut power. Islam merumuskannya dalam: sultaniyya. Pola kekuasaan merujuk Amal Ahlul Madinah. Inilah jalan keluar dari lubang biyawak. Artinya, bukan merujuk pada modernisme, dengan turunan-turunannya. Jalan ‘Islam politik’ adalah sultaniyya. Seperti Wali Songo membangun Kesultanan Demak. Sepertu Ertugrul mendirikan Utsmaniyya. Seperti Idris Zeourhun mendirikan Kesultanan Magribia.

Foto: ilustrasi