POLITIK OLAH RAGA, MIND CONTROL, DAN PSEUDO NATIONALISM
Senin, 9 September 2024
Faktakini.info
*POLITIK OLAH RAGA, MIND CONTROL, DAN PSEUDO NATIONALISM*
Oleh ; Abu Ridho Ibnu Hamid
Peradaban manusia sepanjang sejarah adalah pengulangan dan siklus abadi dari perputaran roda kehidupan manusia itu sendiri.
Dulu peradaban Romawi telah menggunakan seni pertunjukan, yaitu berupa pertunjukan olah raga gladiator, balap kereta, hingga sirkus melalui pertunjukan yang bersifat kolosal, untuk mengalihkan perhatian rakyat romawi dari penderitaan, penindasan dan kesulitan hidup sehari hari.
Struktur masyarakat yang menindas, korupsi, kolusi, pemerasan oleh kaum elit terhadap rakyat, kebobrokan pengelolaan negara romawi, perpecahan dan bahkan perang saudara yang terjadi di dalam wilayah romawi menjadi sedikit terlupakan berkat pertunjukan-pertunjukan yang bersifat kolosal tersebut.
Saat ini, masyarakat yang mengaku modern kembali menggunakan olahraga dengan cara yang lebih halus. Politisi berlomba mendanai tim olahraga, atau lebih tepatnya berlomba mendompleng dalam kegiatan olah raga, dengan memasang baliho baliho dan muka licik mereka dalam pertandingan olah raga yang bersifat kolosal. Sepak bola atau olah raga lain yang melibatkan massa, telah menjadi ajang politisasi, baik untuk keuntungan para politisi maupun birokrat korup yang tidak becus mengurus negara, dengan mengalihkan prestasi mereka seolah olah bisa menangkat nama negara dan bangsa melalui kepemimpinan di bidang olah raga.
Begitu juga rakyat kebanyakan, mereka berhasil digiring kedalam persatuan semu dalam olah raga, atas nama nasionalisme olah raga, melenakan dan melupakan bahwa penindasan, kesulitan ekonomi yang tengah mereka alami yang justru dilakukan oleh para politisi dan birokrat yang sedang tampil memimpin dalam moment olah raga yang tengah berlangsung.
Semua perhatian rakyat tersedot dalam euforia mimpi mimpi kedigdayaan palsu yang diciptakan oleh ilusi dan halusinasi media, baik mainstream maupun medsos.
Penguasa politik melakukan apa saja yang mereka bisa lakukan untuk mengasosiasikan diri mereka dengan tim olahraga untuk menciptakan asosiasi di benak pikiran masyarakat bahwa mereka telah sukses dan berhasil memimpin sebuah bangsa melalui keberhasilan dibidang olahraga populer. Mereka, para penguasa politik, baik aparatus hegemonik maupun aparatus dominasi melalui teknik mind control, mengasosiasikan politik dan olahraga sebagai batu ujian budaya – yang biasanya tidak ada hubungannya dengan olahraga. Bahwa mereka telah berhasil melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin politik.
secara tidak langsung, baik mesin politik Romawi maupun sistem Politik modern memang memiliki strategi serupa dalam menekankan pentingnya permainan, baik itu pertarungan gladiator, balap kereta atau sepak bola, sebagai ajang untuk mengendalikan pikiran massa awam. Karena setiap menitnya, penduduk menghabiskan waktu memikirkan dan membicarakan olahraga yang sesungguhnya adalah masalah sepele, namun pada sisi yang lain rakyat awam tersebut telah melupakan dan tidak berbicara tentang bagaimana kelas elit penguasa merampok mereka secara buta.
Hal ini mungkin jauh lebih penting pada masa Kekaisaran Romawi dibandingkan dengan Republik Romawi atau bahkan sekarang. Warga negara Romawi yang merupakan petani pedesaan terus-menerus dikucilkan dari industri pertanian, dengan kelas senator Romawi yang kaya mampu membeli semua budak dan terus menurunkan harga gandum yang pada gilirannya menyebabkan petani kecil di Italia dan sekitarnya menjual hasil panen mereka dengan harga murah. Akibatnya pertanian keluarga di Romawi menjadi bangkrut. Masyarakat pedesaan Romawi, yang pernah menjadi tulang punggung kejayaan Roma, digantikan dengan perkebunan luas yang ditanami oleh para budak di bawah sekelompok kecil pemilik tanah kaya yang memiliki kekuatan politik, serupa dengan apa yang kemudian menjadi feodalisme berabad-abad kemudian. Orang-orang Romawi yang terlantar itu tetap menjadi orang Romawi dan tertarik ke kota-kota di mana mereka menjadi miskin kota. Karena masih mempunyai pengaruh politik, merek ditindas habis-habisan oleh para politisi dam justru menikmati sebagaimana para masokis menikmati penyiksaan yang mereka alami. Makin tersiksa dan kejam, maka kenikmatan yang diperoleh menjadi makin berkualitas. Permainan seperti permainan gladiator adalah salah satu metode untuk menjaga masyarakat kota tetap pasif — ini hampir merupakan suap terbuka.
Dalam konteks peradaban yang disebut modern saat ini, hal ini bisa saja terjadi karena para elit politikus akan mengeluarkan seseorang dari bisnisnya dan memaksa mereka pindah ke rumah kontrakan jelek, namun kemudian mereka mensubsidi TV kabel dan Netflix.
Kita bisa saksikan betapa euforia masyarakat saat ini dalam dunia persepakbolaan. Semua energi tersedot, acara nobar dimana mana, status status di berbagai platform medsos dan mind control melalui media mainstream terjadi begitu massifnya. Mereka lupa baru saja telah ditipu dan dirampok oleh para elit politik yang secara sukses berhasil melanggengkan kekuasaan politik dan status quo ekonomi kaum oligark.
Yang masih waras dan berkesadaran hanya bisa menangis.
Bumi Allah, 30 April 2024
Foto: ilustrasi Gladiator