Damai Lubis: Jimly ancam Majelis Hakim PTUN karena takut Jokowi. Jimly bohong timbulkan kegaduhan dapat di penjara
Sabtu, 12 Oktober 2024
Faktakini.info
*_Jimly ancam Majelis Hakim PTUN karena ketakutan kepada Jokowi_*
Damai Hari Lubis
Pengat Hukum.& politik Mujahid 212.
Jimly mengancam atau mengintimidasi Hakim PTUN No.133/G/TF/2024/PTUN.JKT. dengan menyatakan, "andai putusannya membatalkan Gibran sebagai Wapres bisa ditahan dan wajib dipenjara".
Opini hukum ini adalah amat keliru dan sengaja intervensi untuk menyesatkan publik dengan pola Jimly merefleksikan sebuah pernyataan ancaman, melalui legal opinion kontradiktif (illogical) alias ngawur, sengaja menyembunyikan kebenaran prinsip tugas pokok dan fungsi dari profesi hakim, bahwa "terhadap hasil putusan hakim terhadap para pihak yang berperkara, hakim tidak dapat dihukum."
Terlebih jika dihubungkan dengan 3 (tiga) jenis prinsip alternatif putusan hakim:
1. Mengabulkan petitum gugatan;
2. Menolak petitum gugatan;
3. Tidak menerima gugatan karena faktor kompetensi (absolut/relatif) atau karena gugatan tidak jelas, rancu, atau sebab lain yang menyangkut tehnis beracara, atau belum sampai tahapan petitum objek perkara gugatan.
Sehingga Jimly melakukan hal yang yang tidak patut melalui pola intimidasi PTUN.
dan terbukti membuat kegaduhan masyarakat hukum dan dan umumnya publik pemerhati penegakan keadilan.
Apakah dampak ancaman Jimly, mengakibatkan PTUN mengundurkan jadwal sidang putusannya dari tanggal 10 menjadi 24 Oktober 2024 atau putusan akan dibacakan paska pelantikan presiden Prabowo Subianto. Karena pelantikan presiden dan Wapres agenda pelaksanaannya pada 20 Oktober 2024 ? Sehingga andai Gibran diputuskan batal menjadi wapres oleh sebab vonis PTUN. KPU. RI. Selaku penggugat telah melanggar sistim hukum. Maka berimplikasi melahirkan polemik hukum yang berkelanjutan serta tidak berkepastian. Atau kah sudah ada titik temu (bargaining position) politis antar pihak penggugat dengan pihak bakal penguasa baru ? Dalam perkara perdata ini bisa saja terjadi, karena musyawarah lebih tinggi dari putusan inkracht sekalipun.
Namun apakah andai bargaining position berupa bagi-bagi kursi, akan kah berdampak negatif terhadap publik bangsa ini yang merasa hak-hak hukum mereka sebagai WNI untuk mendapatkan keadilan tercederai. Lalu sudah kah dipertimbangkan akan manfaat dan kepastian hukum selanjutnya demi sejarah politik hukum bangsa dan NRI yang harus lebih ideal kedepannya dari citra buruk era kepemimpinan Jokowi ( bad politics and leadership).
...
_*Jimly bohong timbulkan kegaduhan dapat di penjara*_
Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Perilaku Jimly, ayah dari salah seorang putra yang kabarnya menjabat direksi di BUMD DKI Jakarta, sehingga berpendapat hukum yang blunder, dan justru lebih berkesan meneror majelis hakim PTUN yang menangani No.133/G/TF/2024/PTUN.JKT. terkait gugatan terhadap KPU. RI. oleh seorang Tokoh Besar Politik Nasional, Megawati Soekarno Putri atas nama kan Ketum PDIP. Dan ternyata "sounding nya" Jilmy, seolah hanya demi seorang Gibran yang terancam vonis batal eksistensinya sebagai Wapres RI mendampingi Presiden terpilih Prabowo Subianto. Karena opini hukum Jimly sarat dengan unsur-unsur intervensi hukum dan intimidasi ke PTUN. Bukan sekedar amicus curiae (pendapat hukum) sebagai sumbangsih kepada para hakim pada sebuah perkara. Namun pendapat yang tidak sepatutnya dari seorang pakar hukum dan eks ketua MK dan wakil rakyat (Anggota DPD RI).
Apakah Jimly ketakutan atau sekedar rasa sungkan kepada Jokowi orang tua Gibran? Hal penyebab ini tentu sulit diketahui.
Atau kah ada hubungannya dengan pemberian putusan Jimly sebagai salah seorang anggota MKMK yang memberhentikan Anwar Usman karena telah melanggar kode etik hakim. Namun Jimly sengaja tidak menyebutkan dalam putusannya, bahwa terhadap sidang pelanggaran etik terkait putusan MK dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap putusan syarat capres dan cawapres, wajib diulang kembali dengan susunan majelis hakim yang seluruhnya berbeda" Jo. UU. RI. No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan sebagai dirinya anggota legislatif dan pakar hukum, Jimly tidak mendorong putusan produk MKMK melalui opini hukum kepada KPU. Agar menolak pendaftaran Gibran, sehingga Prabowo Subianto dapat segera mengganti pasangan cawapresnya (Gibran) saat pra pilpres. Sehingga Jimly merasa ketakutan kepada Jokowi dan kroni, khawatir dianggap berkhianat, karena putusan MKMK ternyata dapat dijadikan pembatalan Gibran sebagai wapres serta munculkan polemik hukum, bahkan berimplikasi sengketa politik lainnya. Selain, jika "ada janji-janji" bakal menjadi ambyar.
Selebihnya statemen hukum Jimly bukan sebagai sekedar amicus curiae atau friends of court (opini hukum para ahli), namun sudah kategori ancaman (tendensius). Karena Jimly sebagai seorang pakar hukum dengan sengaja memutarbalikkan makna prinsip sistim hukum terkait tugas pokok dan fungsi hakim Jo. UU. Kekuasaan Kehakiman. Jimly bisa saja dilaporkan ke pihak yang berwajib oleh individu publik atau oleh sebuah kelompok.
Karena pada prinsipnya sesuai sistem hukum merujuk SEMA No 9 Tahun 1976 yang menegaskan bahwa hakim tak bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum terhadap putusan yang dibuatnya. Artinya, dalam menjalankan tugasnya itu, hakim tak bisa dipidana maupun digugat secara perdata mengacu kepada SEMA tersebut.
Oleh sebab kronologis hukum yang dilakukan Jimly versi kasus PTUN a aquo terkait Tergugat KPU dan berdampak eksistensi cacat hukum Gibran sebagai Wapres, maka melahirkan perspektif dan logika hukum dan akibat faktor realitas gejala-gejala kerisauan dan gonjang ganjing publik. Sehingga menjudge, "Jimly melakukan hal yang yang tidak patut melalui pola intimidasi PTUN". dan terbukti membuat kegaduhan ditengah-tengah kehidupan masyarakat hukum dan masyarakat umum selaku pemerhati penegakan hukum dan keadilan.
Maka tidak mustahil andai ada pihak-pihak yang melaporkan Jimly oleh sebab bohong dengan modus mengancam hakim PTUN dengan pola memutarbalikkan info hukum, Jimly bisa saja bermuara di penjara oleh sebab hukum di NRI ekualitas terhadap setiap WNI atau equality before the law.