Rumail Beberkan Rentetan Dusta Imad dan Sugeng

 



Sabtu, 16 November 2024

Faktakini.info

Rumail Abbas

Dia sendiri yang menantang debat tiga hari tiga malam, diladeni, tak datang. Nantang debat lagi, dibuatkan panggungnya di Kesultanan Banten, tak datang lagi (alasan: guru spiritualnya melarang). Siniar dengan saya di PadasukaTV, menantang Rabithah Alawiyah menyiapkan debat, akhirnya dibuatkan, dan tak datang lagi (bahkan live sendiri dengan Wali Quthub Jogja, satu-satunya orang yang berhak menegur PBNU).

Mendompleng UIN Walisongo, menyuruh Baalawi berbaris satu per satu dan dia menjawabnya sendirian, akhirnya batal dan pihak UIN pun mengklarifikasi sebenarnya tidak ada debat nasab.

Di tempat lain dia menantang debat lagi, namun harus ada pakar, dan harus bertempat di kampus. Entah, malaikat mana yang bisa memastikan mulutnya bisa dipegang atau tidak. Padahal, Rabithah Alawiyah sudah mengundang pakar (dan pengajar) di kampus Internasional untuk meladeninya di sana.


Saya masih berbaik hati menjawab satu per satu gugatannya, tapi setiap kali dijawab ternyata berupa framing, hoaks, dusta. Kedustaannya yang paling terang benderang adalah Mufti Yaman. Dia mengaku? Tidak! Justru dia tidak merasa bersalah karena mengutip dengan benar tulisan di sebuah situs gak jelas.


"Pengutipan saya benar. Situs yang saya kutip pun ada. Jadi saya tidak bisa disebut menyebarkan hoaks."


Hal seperti ini dilupakan orang-orang so-called intelektual dan punya indeks akademis di sekitarnya. Justru menormalisasi dan mengecoh orang:


"Permasalahannya bukan Mufti Yaman membatalkan. Tapi kapan mengisbat? Ngapain dibatalkan kalau tidak pernah diisbat?" kata so-called intelektual dan saintis itu.

Ini belum soal pengutipannya soal Ahmad bin Isa yang dia klaim mukim di Madinah (dan mustahil hijrah ke Yaman), padahal Ahmad bin Isa yang dimaktub dalam kitab yang ia jadikan referensi bukanlah Ahmad bin Isa yang diklaim sebagai leluhur Baalawi.

Tapi Ahmad bin Isa yang lain, yaitu Ahmad bin Isa bin Ali bin Ja'far Al-Shadiq.

Katanya, Al-Janadi (w. 732 H.) tidak menulis nama Abdullah bin Ahmad bin Isa di dalam manuskrip. Setelah saya cek empat manuskrip Al-Suluk (penahqiq-nya hanya memakai dua manuskrip, jadi manuskrip pembanding saya lebih lengkap), ternyata nama Abdullah bi Ahmad bin Isa ada di semua manuskrip Al-Suluk.


Katanya Baalawi menyantol nasab dari kabilah Bani Alwi (yang dikenal sebagai Qahthani). Diapun menyebutkan referensi. Setelah saya cek, ternyata kabilah Qahthani ini adalah Bani Ulwi bin Ulyan (dibaca tashghir "Ulwi" dan "Ulyan", jadi tidak dibaca "Bani Alwi"), dan kabilah ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan Baalawi.


Keturunan Ulwi bin Ulyan ini tidak dikenal sebagai Bani Ulwi secara kabilah. Tapi kabilah yang tepat untuk Bani Ulwi ini ialah "Al-Arhabi" (leluhur atasnya, yaitu Ulyan bin Arhab). Kabilah Al-Arhabi masih berketurunan, bahkan di masa Al-Zirikli (ensiklopediawan, 1702 M.).


Batin saya: jika Bani Ulwi (atau tuduhannya: Bani Alwi) dicantol oleh Baalawi, kenapa keturunan Al-Arhabi tidak ada yang memprotes? Padahal, mereka satu kampung, satu wilayah, dan semasa dengan Abdullah Al-Aidarus dan Abu Bakr Al-Sakran (keturunan Muhammad Maula Al-Dawileh)?


Katanya, Baalawi mencangkok nasab Bani Ahdal, yaitu dari Alwi bin Himham. Setelah saya cek, ternyata dia hanya cocoklogi karena kebetulan ada nama Abdullah dan Alwi yang sama urutannya (lantas dia anggap satu orang, hasil rekayasa, dan terjadilan pencangkokan).


Katanya, Sayid Mahdi Roja'i nge-prank. Dia sendiri yakin bahwa Baalawi bukan keturunan Rasul, tapi keturunan Ubaidillah saja. Akhirnya, saya unggah berkas utuh yang ditandatangani Sayid Mahdi Roja'i.


Hal seperti ini masih saya dapati dari para pendukungnya. Dan yang paling menggelikan ialah:


"Pembunuh Imam Husain bin Ali itu bernama Ubaidillah. Mana mungkin ada keturunan Imam Husain yang dinamai seperti nama pembunuh leluhurnya?"


Mau ketawa, tapi orang ini cuma korban brain-washing Ki Imad. Mau dijelaskan, kok, mereka keras kepala. Makanya saya membatasi: saya tidak mau berbalas komentar; jika ada gugatan, mending debat live saja!


Saya sejak dulu tidak pernah menutup diri untuk dialog (baca: dua arah). Mau berbentuk diskusi (seperti di PadasukaTV), atau konfrontasi (debat).


So-called saintis ini memberikan pagar harus punya indeks akademisi. Duktur yang menuduh Al-Ghazali pun suka nyelethuk di komentar:


"Rumail hanya memakai sudut pandang teologis. Tidak ilmiah."

"Guruku mengisbat Baalawi. Aku pun sama."

"Rumail hanya mau mempertahankan status-quo."


Tapi sekali ditantang dialog, justru berkelit:


"Mau seribu kali ditantang debat, saya emoh. Memangnya dia siapa?"


Orang kalau yakin dengan pendapatnya, tak akan ragu dengan argumentasinya. Orang kalau tidak mau ide & gagasannya diuji orang lain, artinya dia sedang berdoa; bicara satu arah. Mana mungkin "doa" dikonfrontasi?


Lihatnya statusnya, tanpa sadar dia sedang menyindir orang nomor satu yang tidak tahu diri membatalkan nasab orang, menantang debat (berkali-kali), tapi dia sendiri kabur setelah menantang dengan banyak alasan.


Dulu saya menghormatinya sebagai kolega, tapi harus saya urungkan karena rekam jejak dan integritasnya dalam polemik ini cukup mengecewakan.


Apalagi Si Duktur yang kerap meledek umat Islam terpuruk karena meninggalkan Matematika (lebih mengikuti Al-Ghazali). Tapi dia sendiri tidak mengambil mata kuliah eksak di kampus seperti ITB, dan justru kuliah di UIN.

Saya beruntung tidak berada di barisan mereka, deh. Lagi membahas A, langsung dikecoh ke perkara lain yang tidak sedang dibahas.

Lihat saja nanti apa yang akan disampaikan Mas Sugeng Sugiharto setelah membaca ini. Apakah nanya lajur mutasi (lagi)? Atau mau menormalisasi kedustaan barisannya? Contoh kecil: Mbah Hasyim mengafirkan Faqih Muqaddam (yang sedang ramai dibahas YouTuber Nasab).