Pembunuhan Enam Laskar FPI dan Pembelaan Habib Rizieq Kepada Prabowo
Ahad, 8 Desember 2024
Faktakini.info
Ketika berorasi di hadapan peserta reuni PA (Persaudaraan Alumni) 212 di Monas, Jakarta Pusat, Senin lalu (2/12/2024), HRS menyerukan supaya mendukung Prabowo. Imam Besar FPI itu meminta agar tidak mengganggu pemerintahan saat ini. "Kita beri kesempatan. Mendukung bukan berarti menjilat. Kita tetap dikritisi," katanya.
Oleh: Mangarahon Dongoran, Pemimpin Redaksi Freedom News
ENAM laskar Front Pembela Islam (FPI) yang mengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) menuju ke pengajian keluarga di Karawang, Jawa Barat, tewas dibunuh pada 7 Desember 2020. Pembunuhan tanpa proses hukum tersebut terkenal dengan tragedi KM 50 Jalan Tol Jakarta – Cikampek.
Pengawal HRS tewas ditembak secara sadis. Sadis, karena berdasarkan ahli forensik dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Arif Sumirat, ada 11 tembakan mengenai korban (laskar FPI) hingga tembus badan.
Mereka yang tewas adalah Ahmad Sofiyan alias Ambon (26), Andi Oktiawan (33), Muhammad Reza (20), Faiz Ahmad Syukur (22), Suci Khadavi (21) dan Lutfi Hakim (24). Lima jenazah dimakamkan di Markaz Syariah, Megamendung, Kabupaten Bogor, Jabar, dan jenazah Lufti Hakim dimakamkan di Cengkareng, Jakarta Barat.
Sadis, karena pihak FPI dan keluarga korban menyebutkan, ada yang badannya kena tembakan sampai tiga kali. Yang lebih sadis, ada jenazah yang melepuh seperti diseret atau gosong kena api. Bahkan, maaf ada kemaluan jenazah yang turut rusak, entah karena apa dan oleh siapa.
Dua orang laskar tewas di KM 50 dan empat lainnya masih hidup dan ditembak mati di dalam mobil petugas polisi yang membawa mereka menuju markas Polda Metro Jaya. Alasan ditembak, karena keempatnya melawan. Mestinya, dilumpuhkan, bukan dihabisi. Jika dimasukkan ke mobil tanpa diborgol sehingga melawan, itu kesalahan polisi.
Padahal, dalam rekonstruksi yang dilakukan, terlihat keempatnya tidak berdaya (lagi) karena sudah dilumpuhkan oleh banyak petugas keamanan. Ada juga informasi, empat orang itu 'dieksekusi' mati di sebuah tempat, sebuah rumah yang sampai sekarang sulit dikonfirmasi.
Peristiwa KM 50 itu berawal dari pembuntutan terhadap HRS pada 6 dan 7 Desember 2020. Saat itu tokoh FPI ini bersama pengawal dalam sembilan (9) mobil bergerak dari Sentul menuju Karawang. Di dalam rombongan itu, ikut anak, menantu dan cucu HRS. Mereka berangkat dari Sentul, Bogor, Jabar sekitar pukul 23.00 dan berencana menghadiri pengajian keluarga dan istirahat di sebuah vila kerabat di Kampung Turis, Karawang.
Rombongan sudah dibuntuti sejak keluar dari rumah HRS di kawasan Sentul. Tujuan berangkat tengah malam sebagaimana dituturkan Muhammad Hanif, menantu HRS, adalah menghindari kemacetan.
"Jadi ke Karawang itu untuk ke salah satu villa, ke Kampung Turis, yang memang punya salah satu sahabat. Itu untuk liburan, istirahat. Karena beliau pulang dari Mekkah belum istirahat, tuh. Maraton sampai masuk rumah sakit. Beliau butuh istirahat, dan juga pemulihan, sekaligus pengajian internal keluarga,” ucap Habib Hanif dalam kanal YouTube Refly Harun.
Selama perjalanan mobil rombongan saling kejar-kejaran, sempat dipepet dan disalip kendaraan penguntit. Kata Habib Hanif, sempat juga ada yang mengeluarkan tangan bertato dari mobil yang dianggap misterius saat itu. Tapi, Hanif tidak terpancing membuka kaca mobil.
Pembuntutan rombongan HRS yang berujung dibunuhnya laskar itu diduga ada kaitan dengan politik. Sebab, HRS yang baru kembali dari Tanah Suci, terus diintai dengan tuduhan berbagai kasus.
Mulai dari kasus peringatan Maulid Nabi Muhammad sekaligus menikahkan puterinya di Petamburan, Jakarta Pusat, dan dituduh telah melanggar aturan Covid-19 (Coronavirus Disease 2019), dirawat di Rumah Sakit Ummi Bogor dan dituduh menyembunyikan penyakitnya.
Akhirnya, tuduhan tersebut semua telah dia bayar, baik berupa denda maupun penjara. Akan tetapi, nuansa politik lebih kentara, karena HRS terus-menerus mengeritik keras Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Nuansa politik semakin terasa, karena selain memenjarakan sejumlah petingginya, FPI pun dibubarkan pemerintah.
Kemudian, mengapa enam laskar harus dibunuh? Apakah mereka menjadi ancaman bagi negara?
Sebenarnya yang mau dibunuh itu adalah HRS. Akan tetapi, takdir berkata lain. Kesetiaan pengawal harus dibayar mahal. Nyawa menjadi taruhannya.
Saling kejar-kejaran antara mobil rombongan HRS dan pengawal dengan mobil penguntut berakhir dengan tewasnya dua orang pengawal di KM 50 dan ditangkapnya empat lainnya. Penembakan dan kejar-kejaran terhadap pengawal itu juga menjadi misteri. Alasan polisi dari Polda Metro Jaya menembak, karena laskar melawan petugas yang membawanya.
Akan tetapi, pihak FPI membantahnya. Baik Munarman yang saat itu Sekretaris Umum FPI maupun Habib Hanif membantah jika laskar membawa senjata tajam apalagi senjata api. Keduanya sudah menegaskan, laskar FPI tidak dibolehkan membawa senjata tajam, apalagi senjata api.
Kini, kasus pembunuhan enam laskar itu sudah memasuki tahun kelima. Selama 4 tahun, kasusnya seakan telah 'ditidurkan', meskipun ada 3 anggota Polda Metro Jaya yang dijadikan tersangka. Dua orang sempat menjadi terdakwa dan divonis bebas oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang dipimpin Muhammad Arif Nuryanta.
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) juga memvonis bebas Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella. Sedangkan seorang anggota polisi lainnya tewas karena kecelakaan (?) tidak lama setelah ditetapkan jadi tersangka.
Kasus KM 50 masih tetap menarik perhatian umat. Apalagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan, terhadap empat orang yang ditembak di dalam mobil saat dibawa menuju Polda Metro Jaya merupakan pelanggaran HAM.
"Terhadap empat orang yang masih hidup dalam penguasaan negara, kemudian ditemukan tewas, maka peristiwa tersebut merupakan bentuk dari peristiwa pelanggaran HAM," ungkap Ketua Tim Penyidikan dan Pemantauan Komnas HAM, Choirul Anam saat menyampaikan kronologi peristiwa penembakan laskar FPI secara daring, Jum'at, 8 Januari 2021 atau sebulan setelah peristiwa itu.
Dalam rekomendasinya, Choirul Anam menyebutkan eksekusi mati dengan peluru tajam tersebut, sebagai bentuk unlawful killing, atau perampasan hak hidup dengan cara penegakan hukum yang berlebih-lebihan.
Kini, pembunuhan atas enam laskar itu memasuki tahun keempat. Selama empat tahun, kasusnya seakan telah 'ditidurkan', meskipun ada tiga anggota Polda Metro Jaya yang dijadikan tersangka. Dua orang sempat menjadi terdakwa dan divonis bebas oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang dipimpin Muhammad Arif Nuryanta.
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) juga memvonis bebas Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella. Sedangkan seorang anggota polisi tewas karena kecelakaan (?) tidak lama setelah ditetapkan jadi tersangka.
Habib Rizieq Bela Prabowo
Kini, pemerintahan sudah berganti. Jokowi, termasuk PDI Perjuangan yang sangat benci kepada HRS dan FPI-nya sudah tak berkuasa lagi. Bahkan, Jokowi dan PDIP sudah bermusuhan, diduga karena Ketua Umum PDIP Megawati menolak mentah-mentah rencana dan keinginan Jokowi memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode.
Akankah Presiden Prabowo Subianto yang dua kali Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 mendapat dukungan dari HRS dan FPI bakal membuka lembaran baru tragedi KM 50 itu? Apakah jajaran penegak hukum di bawah Kabinet Merah Putih (KMP) berani mengungkap dalang, aktor dan eksekutornya?
Semua masih menunggu. Tetapi, ada perkiraan, Prabowo memberikan janji penuntasannya. Hal itu bisa dibaca dari ucapan HRS yang membela Prabowo.
Ketika berorasi di hadapan peserta reuni PA (Persaudaraan Alumni) 212 di Monas, Jakarta Pusat, Senin lalu (2/12/2024), HRS menyerukan supaya mendukung Prabowo. Imam Besar FPI itu meminta agar tidak mengganggu pemerintahan saat ini. "Kita beri kesempatan. Mendukung bukan berarti menjilat. Kita tetap dikritisi," katanya.
Selain seruan itu, HRS juga mengingatkan supaya pemerintahan sekarang menegakkan hukum yang sudah carut-marut.
Seruan itu wajar disampaikan kepada pengikut dan simpatisannya. Akan tetapi, masih menjadi pertanyaan, mengapa seruan itu justeru dikeluarkan lima hari menjelang tragedi tewasnya enam pengawalnya itu.
Bisa saja banyak kemungkinan. Pertama, karena baru awal pemerintahan Prabowo. Kedua, supaya suasana lebih tenang. Ketiga, kemungkinan HRS dijanjikan penyelesaian tuntas kasus KM 50.
Namun, terhadap yang ketiga, HRS dan jajarannya harus berhati-hati. Ingat, Jokowi telah menerima tujuh anggota Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar FPI itu, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa, 9 Maret 2021. Kedatangan mereka dipimpin Amin Rais. Ketua TP3 sendiri adalah Abdullah Hehamahua.
Sampai sekarang, tidak ada tindak lanjut dari isi pertemuan itu. Padahal, semua menunggu. Jokowi menjadi pemberi harapan palsu (PHP). Saya khawatir HRS juga nanti kena PHP. Semoga tidak! (*)
Sumber: freedomnews.id