Sisi Lain Polemik Nasab Ba'alawi: Antara Rhoma Irama dan Ahmad Albar

 



Kamis, 20 Februari 2025

Faktakini.info

Sisi Lain Polemik Nasab Ba'alawi: Antara Rhoma Irama dan Ahmad Albar

Yang paling menarik dari fenomena polemik nasab adalah keterlibatan Rhoma Irama. Tidak tanggung-tanggung, raja dangdut itu tampil secara total. Pada awal-awal keterlibatannya, yaitu saat mengundang Guru Gembul di Podcastnya, Rhoma belum menunjukkan sikap secara terang-terangan. Ia tampak masih ingin menampilkan kesan bahwa ia berada di posisi netral. Namun, hanya dalam hitungan minggu, Rhoma sudah menempatkan dirinya sebagai salah satu figur pembatal nasab Ba’alawi yang militan.

Hampir semua pegiat anti-Ba’alawi ia undang di Podcastnya, dari KH. Imaduddin Usman hingga Islah Bahrawi. Bahkan, saat mewancarai Prof. Nassarudin Umar, Rhoma berusaha mengangkat masalah nasab, meski tak terlalu dilayani oleh sang menteri agama. Alhasil, pada hampir pada setiap kesempatan, Bang Haji angkat suara soal nasab Ba’alawi. 

“Berdasarkan kajian pustaka oleh KH. Imaduddin Usman, tinjauan filologi oleh Prof. Menachem Ali, dan DNA oleh Dr. Sugeng, maka Ba’alawi sudah terkonfirmasi bukan keturunan Nabi,” kata Rhoma berkali-kali. 

Dan Bang Haji tampak sangat terobsesi dengan hal itu. Ia ingin seluruh orang mengetahui dan menyadari bahwa Ba’alawi bukan keturunan Nabi. Rhoma merasa bahwa upayanya itu merupakan pencerahan, bagian dari perjuangan menegakkan kebenaran. "Saling menasihatilah dalam kebenaran dan kesabaran", “Katakanlah yang benar walau pahit,” katanya, mengutip ayat Quran dan hadist Nabi. 

Pada dasarnya tidak ada persoalan dengan hal itu. Setiap orang berhak untuk meyakini bahwa Ba’alawi bukan keturunan Nabi, sebagaimana setiap orang juga berhak meyakini yang sebaliknya. Dan setiap orang berhak untuk menyiarkan keyakinannya masing-masing. Namun, yang disayangkan—sebagaimana umumnya yang dilakukan oleh orang-orang yang menyuarakan pembatalan nasab Ba'alawi—yang disuarakan Rhoma bukan semata perkara nasab, melainkan demonisasi terhadap salah satu etnis, yaitu Ba'alawi.

"Etnis yang didatangkan oleh kolonial Belanda untuk menjadi antek-anteknya", "mambangun makam-makam palsu sebagai bagian dari upaya menjajah Indonesia", "mengaku-ngaku pahlawan", "arogan dan feodal", "merasa suci dan bebas dari dosa", "mengeksploitasi nasab dan gelar", "imigran dari negeri miskin", "agen radikalisme Islam dan pengusung PKI" (ini tuduhan yang kontradiktif dan menggelikan; radikalisme Islam dan PKI), dll. 

Itulah di antara serangkaian frasa yang berseliweran di podcast "Bisikan Rhoma" saat membahas etnis Ba’alawi. Dan sering kali ia menarasikan semua itu sambil tertawa mengejek (lalu disambut oleh tawa penontonnya di studio). Pada saat yang sama, Rhoma mengaku dirinya sebagai pecinta dan sahabat Ba'alawi. Saya kira pengakuan ini justru membuat etnis Ba'alawi kian tersakiti. Bukankah dilukai oleh seorang pecinta dan sahabat lebih perih ketimbang dilukai oleh musuh?

Melihat apa yang dilakukan Rhoma Irama itu, ingatan saya langsung tertuju kepada Ahmad Albar. Mengapa Ahmad Albar? Karena Raden Haji Oma Irama dan Ahmad Albar merupakan dua tokoh besar musik Indonesia, yang satu aliran dangdut, yang lainnya rock. Dan kita tahu mereka saling mengenal.

Saya duga, Ahmad Albar tidak terusik dengan masalah pembatalan nasab Ba’alawi. Baginya, nasab hanya urusan keluarga. Ia tidak pernah memasang gelar apa pun di depan namanya. Ia tidak pernah berkoar-koar sebagai keturunan Nabi, kecuali ditanya dalam wawancara, dan itu pun ia jawab dengan nada penuh kerendahatian. Sebagai bagian dari etnis Ba’alawi, Ahmad Albar tidak pernah memanfaatkan nasabnya untuk kepentingan apa pun. Ia tidak minta dihormati lantaran silsilahnya. Ia sukses dan berkarya karena bakat dan kerja kerasnya, bukan lantaran nasabnya. 

Bagi Ahmad Albar (juga bagi jutaan anggota etnis Ba’alawi lainnya, terutama yang bekerja di bidang-bidang yang tak terkait dengan agama dan politik), diakui atau tidak diakui sebagai keturunan Nabi, sama sekali tidak ada bedanya. Dengan demikian, pembatalan nasab bukanlah persoalan. Yang justru menggusarkan adalah narasi-narasi rasis terhadap etnis Ba’alawi yang didengungkan oleh para pembatal nasab itu. 

Sekali lagi, jika hanya menyuarakan ketidakpercayaan terhadap nasab Ba'alawi, itu tidak masalah (apalagi dalam ranah ilmiah, meski kita patut bertanya: apa pentingnya membatalkan nasab? Bukankah--sebagaimana juga dikatakan oleh para pembatal itu--tidak ada bedanya antara keturunan Nabi dan bukan? Jika sesorang berakhlak baik akan dicintai, jika buruk akan ditolak, tak peduli ia keturunan Nabi atau bukan. Lalu, apa perlunya dibatalkan?). 

Yang bermasalah adalah ketika ada motif dan tujuan lain yang tersimpan di dalam hati para pembatal nasab itu, baik yang terlahir akibat kemarahan dan kebencian rasial personal maupun yang beririsan dengan persaingan sosial dan pandangan politik. 

Motif-motif semacam itu terasa sangat kuat mengiringi isu "polemik nasab". Hal itu terlihat dari narasi tentang keburukan-keburukan etnis Ba'alawi yang senantiasa mendampingi wacana pembatalan nasab. Semua itu membuktikan bahwa persoalannya bukan pada nasab an sich, melainkan ada faktor yang lain.

Maka, dalam konteks kebangsaan, motif-motif lain di balik pembatalan nasab Ba'alawi yang kemudian melahirkan intoleransi dan rasisme terhadap etnis Ba'alawi itu, sama menggusarkannya dengan misalnya narasi kebencian terhadap etnis Tionghoa, Madura, dll. Juga narasi kebencian terhadap Syiah, Ahmadiyah, Salafi Wahabi, Kristen, dll.

Oma Irama mengatakan ia sedang berdakwah menegakkan kebenaran, menyerukan pentingnya egaliterian dan kesamaan derajat manusia. Oma Irama mengecam feodalisme dan arogansi ras. Tapi ia memasang gelar raden dan haji di depan namanya, menyiarkan silsilahnya sebagai keturunan Nabi dan kebangsawan ini dan itu, sembari terus menyuarakan ujaran kebencian terhadap Ba’alawi; sukunya Ahmad Albar. 

Sementara itu, Ahmad Albar tidak memasang gelar apa pun dan tidak pernah memamerkan silsilahnya. Ahmad Albar juga selalu menjaga lisannya dari berbicara buruk tentang etnis lain. Jadi, siapa yang mana di antara keduanya?

Saya bayangkan, jika Ahmad Albar ditanyai pendapatnya soal itu, ia mungkin hanya akan tersenyum. 

"Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah. Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani. Setiap kita dapat satu peranan, yang harus kita mainkan. Ada peran wajar, ada peran berpura-pura. Mengapa kita bersandiwara? Mengapa kita bersandiwara...?"[]