APAKAH RAKYAT BANTEN HARUS MEMISAHKAN DIRI DARI NKRI, DAN KEMBALI MENEGAKKAN KESULTANAN BANTEN?
Ahad, 2 Maret 2025
Faktakini.info
*APAKAH RAKYAT BANTEN HARUS MEMISAHKAN DIRI DARI NKRI, DAN KEMBALI MENEGAKKAN KESULTANAN BANTEN?*
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat
_Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)_
Ide memisahkan diri dari NKRI, setelah mosi integrasi Natsir yang menyatukan Indonesia, sepertinya hanyalah ide konyol. Tak layak dibahas, apalagi diperjuangkan.
Akan tetapi setelah 80 tahun Republik ini berdiri, hingga saat ini hakekat kemerdekaan belum juga dirasakan rakyat. Apakah, masih relevan menggaungkan slogan 'NKRI HARGA MAT' ditengah maraknya penderitaaan, dusta dan nestapa yang dialami rakyat, apalagi ditengah konser kezaliman para penguasa dan praktik korupsi mereka yang kian merajalela?
Ambil contoh, kezaliman perampasan tanah rakyat yang dialami warga Banten. Ide memisahkan diri dari NKRI, tak mungkin muncul jika Negara mampu menunaikan kewajibannya secara baik. Melindungi rakyat Banten dari kezaliman, dan mengupayakan kesejahteraan bagi rakyat Banten.
Tapi apa yang terjadi dan dirasakan oleh rakyat Banten dalam kasus perampasan tanah rakyat oleh Oligarki PIK-2?
Alih-alih penguasa menegakkan hukum, menangkap pelaku dan dalang sertipikat laut dan pagar laut, justru sebaliknya. Menteri KKP, Menteri ATR dan Polri justru terlihat kompak membuat sinetron untuk melindungi Aguan.
Lalu, apa alasan Rakyat Banten untuk tetap setia dengan NKRI, sementara pemerintah justru mengabaikan hak, harkat dan martabat Rakyat Banten? Mungkin saja, apa yang dirasakan Rakyat Banten saat ini juga dirasakan oleh banyak rakyat di berbagai wilayah lainnya di NKRI.
Penulis jadi teringat seruan yang disampaikan oleh Mayjend TNI Syamsu Djalal, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Penasehat Persaudaraan Raja & Sultan Nusantara. Dalam pernyataannya yang dibacakan di Aksi Melawan Kezaliman PSN PIK-2 di Kohod (8/1/2025) lalu, Mantan Danjen POM ABRI ini menegaskan beberapa hal, yaitu:
Pertama, lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lepas dari peran Para Raja, Sultan, Datuk, Penglingsir, Pemangku Adat terdahulu, yang telah secara sukarela, tulus, ikhlas, menyerahkan Kedaulatan Wilayah dan Rakyatnya, untuk menundukkan diri pada yurisdiksi kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia, yang pertama kali dipimpin oleh Bung Karno.
Kedua, pada tahun 1946 bertempat di Bali, Bung Karno mengundang 54 Raja, Sultan, Datuk, Penglingsir, Pemangku Adat se Nusantara untuk membantu persoalan yang dihadapi Negara, yakni secara de jure Republik Indonesia telah diproklamirkan namun secara de facto Republik Indonesia belum memiliki kedaulatan wilayah dan rakyat untuk dipimpin, dan bersinergi membangun bangsa dan negara.
Atas kesepakatan para Raja, Sultan, Datuk, Penglingsir, Pemangku Adat se Nusantara dalam pertemuan tersebut, maka seluruh kedaulatan wilayah dan rakyat yang berada dalam yurisdiksi kekuasan para Raja, Sultan, Datuk, Penglingsir, Pemangku Adat se Nusantara, termasuk tanah, air, udara serta seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya, dipercayakan kepada Bung Karno untuk dijadikan bagian dari yurisdiksi kedaulatan Wilayah Republik Indonesia, dikelola dan memanfaatkan seluruh potensi kekayaan tanah, air, udara serta seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Referensi Raja Samu Samu VI).
Ketiga, atas komitmen penggabungan kedaulatan wilayah dan rakyat 54 Raja, Sultan, Datuk, Penglingsir, Pemangku Adat, Bung Karno mengadopsi ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang esensinya Negara bukan pemilik, melainkan hanya menguasai dan mengelola tanah, air, dan udara, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat, selaku pemilik tanah.
Keempat, bahwa dalam perjalanannya saat ini pengelolaan tanah, air, udara serta seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya telah melenceng jauh dari amanah para Raja, Sultan, Datuk, Penglingsir, Pemangku Adat terdahulu. Tanah dan kekayaan yang terkandung didalamnya, tidak lagi digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, malah dikuasai dan dieksploitasi untuk keuntungan segelintir orang, baik pribadi, korporasi, swasta bahkan asing.
Kelima, fenomena maraknya perampasan tanah rakyat berdalih Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti yang terjadi di Rempang, lokasi IKN Nusantara hingga apa yang dialami Rakyat di wilayah Kesultanan Banten, juga diberbagai wilayah Indonesia dengan modus status PSN tidak bisa didiamkan. Karena praktik perampasan tanah hanya untuk kepentingan oligarki ini jelas-jelas telah mengkhianati amanah dari para Raja, Sultan, Datuk, Penglingsir, Pemangku Adat terdahulu.
Lalu, saat ini Rakyat Banten dan Kesultanan Banten merasa amanah tanah Banten telah disia-siakan. Rakyat Banten merasa, NKRI tidak berpihak kepada rakyat Banten, melainkan berpihak kepada Aguan. Lantas, salahkah jika akhirnya rakyat Banten ingin berpisah dari NKRI? Atau, salahkah eks Kerajaan dan Kesultanan Nusantara juga ingin berpisah dengan NKRI, karena rakyat mereka juga marak dizalimi?
Ide memisahkan diri dari NKRI, dan kembali membentuk Kesultanan Banten adalah ide konyol, sepanjang Negara hadir dan menjalankan fungsinya melindungi dan menyejahterakan rakyat Banten. Namun, jika faktanya dalam kasus PIK-2 Negara berpihak kepada AGUAN, lalu dimana letak kekonyolan ide Kesultanan Banten memisahkan diri dari NKRI?
Karena itu, Presiden Prabowo Subianto tidak boleh menganggap sepele masalah ini. Segera bertindak, segera hentikan proyek PIK-2, segera audit proyek PIK-2, agar ada alasan rakyat Banten tetap bergabung dengan NKRI.
Jika tidak, berarti Presiden Prabowo Subianto sedang menjalankan prediksinya saat kampanye Pilpres 2019 lalu, yakni prediksi Indonesia bubar pada tahun 2030. Bahkan, bisa lebih cepat dari tahun itu. [].