Rumail Abbas Bongkar Penipuan Sekte Imad soal Ahmad bin Isa dan Ubaidillah Ba'alawi

 


Senin, 10 Maret 2025

Faktakini.info

BA'ALAWI

Di penghujung Sya'ban, menjelang Ramadan begini, sepertinya jadi waktu yang tepat untuk menghentikan (dimulai dengan "mengurangi", karena ada beberapa hal yang masih perlu diupload) seluruh perbincangan nasab Bani Alawi di beranda saya. Jika ada keperluan, mungkin bisa dibaca pada buku komersil yang hendak saya terbitkan (insya Allah).

Apa alasan saya mengulas Bani Alawi sebelumnya? Karena apa yang tidak terjadi kepadamu, belum tentu tidak akan mengancammu. Dan apa yang sekarang hanya dialami Bani Alawi, belum tentu tidak mengancam selain mereka.

Saya cukupkan mengulas kabilah ini karena tidak ada argumentasi yang baru dari Pembatal Nasab. Alih-alih mendatangkan bukti bahwa mereka keturunan orang lain (bukan Ahmad bin Isa), akhir-akhir ini justru sudah melebar ke isu-isu rasial.

Pembatalan nasab itu dibenarkan jika ada dokumen atau secara tradisi mereka pernah ditulis dan dikenal sebagai anak orang lain, bukan Ahmad bin Isa (seperti yang terjadi pada pembatalan kabilah Thabariyyah di Hijaz).

Jadi, apa gunanya untuk diteruskan?

Sebagai penghujung cerita, penelitian saya setahun terakhir sepenuhnya adalah kualitatif, jadi tidak membuktikan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1) layaknya dalam penelitian kuantitatif. Dalam sejarah, metode yang umum digunakan adalah analisis sumber primer dan sekunder, kritik sumber, dan hermeneutika—bukan pendekatan 'hypothesis testing' yang lazim dalam penelitian eksperimental atau kuantitatif.

Kajian sejarah ini pun bersifat interpretatif tanpa H0 dan H1. Dan validasinya dengan menguji konsistensi seluruh sumber, dokumen, narasi, kredibilitas sanad, dan keterandalan sumber-sumber yang dikutip atau didapatkan.

Saya mulai dari konsistensi.

Ketika Al-Janadi merampungkan Al-Suluk fi Thabaqat Al-Ulama wa Al-Mulk sekitar tahun 724 H, dan meninggal pada tahun 732 H., tepat setahun kemudian lahir seseorang yang kelak menjadi pustakawan dan sejarawan Yaman bernama Abdurrahman dari kabilah Ibn Hassan (w. 818).

Banyak orang terkecoh dengan argumentasi pembatal nasab bahwa Al-Janadi, di dalam Al-Suluk, tidak membicarakan Ba'alawi atau Al Abi 'Alawi yang sekarang menurunkan, sekadar contoh: HRS.

"Itu Ba'alawi yang berbeda," kata mereka.

Abdurrahman Hassan adalah peringkas dan pelengkap kitab Thabaqat yang ditulis oleh Al-Janadi, sama seperti kitab Tuhfat Al-Zaman yang ditulis oleh Husain Al-Ahdal (w. 855) yang mengutip dan melengkapi reportase Al-Suluk (aktivitas mereka berdua disebut ekstrapolasi, atau updating).

Dalam Al-Suluk, "Abdullah" adalah anak Ahmad bin Isa yang menurunkan Ali bin Jadid, Abdul Malik bin Jadid, dan delapan orang yang diatribusi dengan Ba'alawi atau Aba 'Alawi. Intisab (silsilah) mereka ditulis hanya lewat Ali bin Jadid saja.

Tuhfat Al-Zaman menulis silsilah Ali bin Jadid sampai ke Ahmad bin Isa, melewati anaknya yang bernama "Ubaidillah", bukan "Abdullah" seperti dalam Al-Suluk. Ini membuktikan Abdullah dan Ubaidillah dimiliki satu orang, dan dia adalah anak Ahmad bin Isa.

Baik Al-Janadi dan Husain Al-Ahdal sama-sama memahami Bani Alawi dan Bin Jadid sebagai dua kabilah yang punya leluhur bersama: "Abdullah" yang punya nama lain "Ubaidillah", dan anak dari Ahmad bin Isa.

Abdurrahman Hassan berbeda, selain menulis silsilah Ali bin Jadid sampai "Abdullah" bin Ahmad bin Isa (sebagaimana silsilah dalam Al-Suluk), ia juga melengkapi intisab salah seorang tokoh Bani Alawi bernama Muhammad bin Ali yang sudah dia tulis secara verbatim sebagai "Al-Faqih Al-Muqaddam", yang belum sempat ditulis dua sejarawan sebelumnya.

Apa silsilah yang dia tulis?

Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin "Ubaid" bin Ahmad bin Isa.

Benar, Anda tidak salah lihat, Abdurrahman Hassan menulis silsilah Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam sampai kepada "Ubaid" bin Ahmad bin Isa.

Tak kurang dari itu, Abdurrahman Hassan menurutkan secara eksplisit hikayat yang beredar di Hadramaut bahwa kabilah Bin Jadid dan Bani Alawi punya leluhur bersama bernama Ahmad bin Isa yang hijrah dari Bashrah ke Hadramaut, kemudian menetap di Tarim.

وأولد وأعقب هذا الخلف الصالح الذين منهم الفقيه محمد السيد المذكور

"Kemudian dia (Ahmad bin Isa) beranak pinak, dan menurunkan keturunan yang saleh, di antaranya ialah Al-Faqih Muhammad, Tuan yang disebutkan tadi (baca: Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam)."

Sebagai pelengkap, ada juga Al-Jauhar Al-Syafaf karya Abdurrahman Al-Khatib (w. 855 H) yang ditulis pada tahun 820 H. Kitab ini disusun atas permintaan cucu dari Muhammad Maula Dawilah, dan berisi historiografi kekeramatan tokoh-tokoh sufi di Hadramaut, seperti dalam keluarga Al-Khatib, Al-Katsiri, Ba-Isa Al-Tarimi, dan tentu saja Bani Alawi seperti Ali Khali' Qasam dan Muhammad Al-Faqih Muqaddam yang ditulis silsilahnya sampai: "Ubaidillah" bin Ahmad bin Isa.

Secara konsisten, nama "Abdullah", "Ubaidillah", dan "Ubaid" sudah termaktub secara dokumen jauh sebelum Sayid Ali bin Abi Bakr Al-Sakran lahir, jadi fitnah yang dieksploitasi "Ali Al-Sakran adalah biang keroknya" tentu saja tidak benar (bahkan sudah dieksploitasi sebagai fitnah). Di samping itu, secara tradisi syuhrah-istifadlah nama "Abdullah", "Ubaidillah", dan "Ubaid" sudah dikenal di penduduk Hadramaut jauh sebelum penulisan.

Bukti konsistensi ini ialah tsabat milik Ali bin Umar Al-tiba'i (w. 638 H) yang menulis silsilah Ali bin Jadid secara lengkap sampai "Ubaidillah" bin Ahmad bin Isa. Siapa yang menulis ini? Ali bin Jadid (w. 620 H) sendiri, dengan kedua tangannya.

Tentu saja, ada kritik historis yang akan saya tuangkan dalam buku komersil. Awal mula kritik berasal dari tampilan manuskrip Abdurrahman Hassan yang saya lampirkan berikut ini.

Seperti apa kritik historis itu? Nabung sekarang, karena akan saya tulis dengan detail di buku komersil.

Salam,

Rumail Abbas