Agenda TPUA Sambang UGM Prabowo Demokrat Sejati Mengalah Kepada Rakyat Tidak Kepada Jokowi
Kamis, 10 April 2025
Faktakini.info
Agenda TPUA Sambang UGM Prabowo Demokrat Sejati Mengalah Kepada Rakyat Tidak Kepada Jokowi
Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Didasari pemahaman konstitusi hal fungsional jabatan presiden, satu diantaranya untuk memimpin pada sektor kebutuhan penegakan hukum (law enforcement) yang berkepastian di Negara RI tanpa pandang bulu (equal).
Oleh karenanya Prabowo Subianto/ PS selaku presiden tidak anomali, menolak praktik diskriminatif hukum dalam kepemimpinannya, melainkan mesti melulu patuh konstitusi (obedient), termasuk penegakan hukum terhadap eks presiden yang dikenali sosok "brutal", pembohong, dengan aset moral kelicikan yang dia miliki, sehingga mengkerdilkan semua norma hukum positif saat berkuasa, sehingga Jokowi preseden mengabaikan konstitusi (disobedient) UUD 1945.
Namun, walau Jokowi sudah tidak lagi memiliki kekuasaan politik lagi di negara ini, realitanya amat kentara disektor (law enforcement) yang PS terapkan, khususnya terkait dugaan publik bahwa Ijazah S.1 yang digunakan oleh Jokowi adalah palsu atau Jokowi bukan Insinyur yang lulus dari fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM). Namun PS. tidak atau belum membuahi kepastian hukum, apakah dari sisi politik memang memiliki daya guna? Walau dari teori hukum jelas terhadap dugaan Ijazah palsu ini merupakan delik biasa, sehingga faktor proses hukum dapat dimulai oleh penyidik tanpa perlu adanya lebih dulu pelaporan dari Publik. Termasuk Perbuatan Gibran yang dituduh publik selaku pemilik akun Kaskus dengan nama samaran fufu fafa, yang menghinakan diri dan keluarganya, namun tidak melaporkan Gibran, atau dengan pola mengizinkan pihak kerabat yang bersinggungan dengan isi kotor konten "Gibran" untuk melaporkan (delik aduan) terhadap pemilik akun fufu fafa dimaksud.
Hal kenapa dan mengapa nya, tentu PS lebih tahu. Namun hal ini butuh "sinyal transparansi", sehingga mendapatkan dukungan kesabaran publik dan tidak menyisakan isu dan tanda tanya, yang lalu melahirkan kegalauan bagi publik khususnya di sektor law enforcement di bawah komando kepemimpinannya terhadap dua kasus istimewa dan amat strategis dari sisi politik menambah jaringan dukungan terhadap prabowo dan pemerintahannya, oleh sebab kedua aktor politik tersebut umumnya tidak disukai publik, melainkan banyak yang membenci kedua orang bapak dan anak tersebut yang jiwa dan perilakunya bak pinang dibelah dua.
Selanjutnya, dalil adanya faktor law enforcement yang berkesan disfungsional, karena PS. sejatinya tinggal tunjuk jari kepada bawahannya Kapolri atau Jaksa Agung, untuk periksa terhadap eksistensi serta keabsahan Ijazah S.1 Jokowi, dan atas dasar hak prerogatif, PS dapat mencopot jabatan diantara kedua pejabat dimaksud, andai perintah proses hukum terkait ijazah palsu diabaikan.
Oleh karena padangan dari sisi sosiologis politik yang disfungsi, telah beresiko melahirkan gejala-gejala bakal ada 'silaturahmi' dari kelompok masyarkat yang bernama TPUA/Tim Pembela Ulama dan Aktivis ke rektorat UGM Jogjakarta dan domisili Jokowi di Kota Solo, untuk mendapatkan informasi tentang kebenaran atau apakah sekedar dugaan belaka, bahwasanya Jokowi telah menggunakan ijazah palsu.
Tentu PS menyadari implikasi dari geliat kunjungan silaturahim TPUA ini, tidak tertutup kemungkinan bakal disertai antusias kehadiran masyarakat Jogja-Solo dan sekitarnya. Bahkan tidak mustahil akan hadir kelompok dari wilayah luar pulau Jawa, tentang kejelasan terhadap isu negatif dan sudah mengglobal, terlebih dugaan Ijazah Palsu ini diiringi informasi temuan dari sebuah organisasi masyarakat dunia (OCCRP), bahwa Jokowi finalis pemimpin nomor 2 (dua) terkorup di dunia, selain juga Jokowi pernah dijuluki oleh kelompok mahasiswa, 'Jokowi The King of lip Service' atau yang deskripsinya berupa gelar dengan majas, "Jokowi Raja bohong".
Terhadap kesemua (track record) yang eksis pada diri Jokowi, berakibat mayoritas publik cenderung meyakini keterangan ilmiah dari dua sosok pakar IT ( Dr Roy Suryo pakar telematika dan IT), lalu bertambah keyakinan publik pasca pernyataan publis dari sosok pakar forensik digital (Dr Rismon H Sianipar) dan booming bahwa Ijazah Jokowi 100 miliar persen adalah Palsu, bahkan dirinya (Rismon) mempersilahkan pihak UGM/ Jokowi melaporkannya terkait pernyataan dirinya yang semata faktual ilmiah karena didasari keilmuan sesuai analisis data-data yang Ia miliki.
Sehingga asumsi publik sebagian besar tidak percaya sanggahan dari Jokowi, yang notoire feiten (sepengatahuan umum), sosok Jokowi dikenali berkarakter hobi berbohong (prediksi berdusta 100 kali lebih), terlebih bantahan Jokowi sekedar melalui sepenggal kalimat, "fitnah murahan dilakukan oleh publik karena mengatakan ijazahnya palsu", eksepsi yang tidak diikuti dengan memperlihatkan S.1 asli Ijazahnya, selanjutnya amat menggelikan, Jokowi malah menuntut publik membuktikan Ijazahnya adalah palsu, argumentasi penolakan yang tidak ilmiah (tidak aple to aple), semestinya sangkalan harus melalui rangkaian bukti yang juga ilmiah, setidaknya mempersilahkan UGM bertanggung jawab terhadap keaslian ijazah yang UGM keluarkan? Dan juga demi membantah tuduhan amoral, maka wajar Jokowi dari sisi moralitas sebagai seorang mantan presiden untuk melindungi nama baik pribadi dan keluarganya justru melaporkan fitnah (laster), terlebih Dr. Rismon menantang agar dirinya dilaporkan ke pihak Polri terhadap temuan ilmiahnya. Hal laporan ini sangat urgen dan vital sebagai sebuah pembuktian andai benar Jokowi alumnus UGM?
Lalu, sebagai Presiden RI apakah PS. tidak punya niatan hendak melakukan langkah antisipasi (persuasif) dari agenda TPUA perihal akan hadirnya kelompok masyarakat (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) dari Jakarta dan Bandung, yang ingin sambang UGM pada, Selasa 15 April dan sekaligus visit ke Solo, Rabu 16 April 2025 untuk menyambangi Jokowi ke domisilinya, terkait hal ingin mengetahui dan melihat langsung keberadaan dokumentasi yang berisikan riwayat akademik Jokowi atau keabsahan asal usul dikeluarkannya Ijazah S.1 Jokowi dari fakultas Kehutanan UGM yang ditengarai sebagai Ijazah palsu, walau tentunya publik yang akan hadir tidak (semua) harus sama-sama menyaksikan, tentu cukup didelegasikan (representatif) kepada perwakilan anggota TPUA.
Andai antisipasi dari aparatur secara cursif terhadap kelompok masyarakat yang sambangi (berkunjung) ke UGM Perguruan Tinggi Milik Negara yang nota bene substantif milik rakyat, tentunya tidak tertutup bakal berdampak negatif (high risk), bisa saja terjadi hal yang tak diinginkan, terlebih andai ada kelompok yang memanfaatkan kondisi lalu provokatif (pihak yang tak bertanggungjawab) atau ada pihak-pihak yang menghalangi TPUA yang patut diidentifikasi sebagai wujud (implementasikan) hak publik dari masyarakat yang menyertainya, namun ada pihak yang menyambut menggunakan dalil ,"pokoknya," prinsip aprioritas Jokowi harus diselamatkan sekalipun dari upaya yang memiliki ketentuan dasar hukum, terlebih nyata-nyata TPUA sudah melaporkan terkait dugaan Ijazah palsu a quo ke Mabes Polri, namun penyidik dari Mabes Polri nampak enggan, karena tak ada gejala gejala hukum yang mengindikasikan bakal ada proses hukum, walau proses hukum justru sebagai bagian dari tugas dan fungsi tugas Penyidik Polri.
Saran, wisdom (bijaksana) sebelum terjadi hal hal yang tidak diinginkan oleh semua pihak dan golongan (sesama bangsa ini), Presiden memerintahkan Kapolri agar mengambil sikap tegas yang pro justicia, dengan pola segera umumkan, bahwa "Penyidik Bareskrim Mabes Polri akan menindaklanjuti laporan TPUA sesuai ketentuan hukum yang berlaku".
Resiko yang patut dikhawatirkan andai diskresi hukum (politik) yang diambil tidak presisi oleh PS. akan melahirkan asumsi negatif publik yang mengarah subjektifitas, bahwasanya "PS melindungi Jokowi dari tindak 'kejahatan' yang telah dilakukannya selama satu dekade kepemimpinannya, dan khususnya terkait Ijazah Palsu, dan kemudian menjadi 'cacat tambahan' bagi PS dari masa saat era transisi orde baru ke orde reformasi, tepatnya peristiwa sejarah hukum (politik bangsa) pada tahun 1998-1999 yang dominan (umumnya) telah nyaris sengaja dilupakan publik.