Tanggapan Rumail Abbas Atas Polemik Ucapan Habib Ali Aljufri soal Palestina
Rumail Abbas
Barusan membaca balasan Habib Ali atas utasnya Ustaz Hanif Alatas di X (dulu: Twitter), dan kaget karena beliau "sampai hati" mengatakan:
ولو التقيتَ بي لفهمتَ ما خلطتَ فيه
“Andai kamu duduk bersamaku, kamu akan paham apa yang kamu campur aduk.”
Itu kalimat penutup beliau setelah "menuduh" Ustaz Hanif Alatas sebagai orang yang terpengaruh kampanye yang mengeksploitasi emosi umat, termakan narasi media yang memelintir, dan dipengaruhi oleh retorika organisasi Islam tertentu yang punya kecondongan ideologis (entah ini ditujukan ke siapa).
Tapi itu, kan, jawaban untuk Ustaz Hanif. Jika ini jatuh ke saya (dan orang lain yang protes), maka saya bisa katakan: saya menonton langsung dari sumber primer (video asli dari halaman beliau, bahkan saya sertakan di kolom komentar), bukan hanya cuplikan. Saya berusaha menyampaikan secara jujur konteks ucapan dan bahkan membela Habib Ali pada level niat baik dari ucapakan (dan maksud utama ucapan "hubl" tersebut kenapa bisa muncul).
Seorang tokoh seperti beliau itu bertanggung jawab atas persepsi yang ditimbulkan oleh ucapannya, bukan hanya atas maksud batinnya (masih ingat dengan Gus Miftah dan Tukang Es Teh?). Jika pesan Habib Ali gagal dipahami audiens luas—dan bahkan melukai sebagian besar hati yang mendengar termasuk Ustaz Hanif—maka kegagalan itu ada pada komunikator, bukan komunikan (seperti saya).
Kembali ke pernyataan terakhir tadi, Habib Ali seolah-olah berkata:
"Pergi ke Palestina dulu baru boleh bicara," atau, "Pergi ke Palestina dulu baru Anda paham maksud saya."
Ini fallacy yang dikenal sebagai argumentum ad hominem situasional: menyerang posisi geografis atau kenyamanan seseorang untuk membungkam substansi kritiknya. Kritikus yang tinggal di Jepara (seperti saya), Istanbul, atau Nairobi sekali pun, tetap punya hak moral dan intelektual untuk menguji sebuah narasi yang dilontarkan ke publik.
Menuntut kehadiran fisik sebagai syarat bicara adalah taktik bungkam "kelas menengah religius" yang memonopoli empati dan otoritas. Makanya kemarin saya sindir, ucapan ulama yang terlalu sering tinggal di menara gading ini perlu diluruskan.
Sebagai penikmat buku beliau berjudul "Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan" (bahkan saya menghormatinya dengan sangat mendalam sejak itu), tentu tidak menutup pintu kritik jika sang idola melakukan kekeliruan.
Nanti kalau Habib Ali jadi ke Indonesia, tolong kabari, ya. Mau minta tanda tangan beliau~