Tempuh Jalur Adat, Ketua Komwil Alkhairaat Sulteng Minta Fuad Cucu PKI Dihukum Givu (Putus Leher)

 



Sabtu, 5 April 2025 

Faktakini.info, Jakarta - Komisariat Wilayah (Komwil) Alkhairaat Sulawesi Tengah (Sulteng), telah menyatakan sikap akan menempuh jalur peradilan adat untuk memproses ujaran kebencian dan penghinaan yang dilakukan Fuad Cucu Warsinah PKI alias Plered terhadap Pendiri Alkhairaat, Guru Tua (Habib Idrus bin Salim Aljufri).

Langkah ini ditempuh oleh Komwil Alkhairaat Sulteng, karena sampai saat ini, kasus ujaran kebencian Fuad Cucu Warsinah melalui akun YouTube itu, tak kunjung diproses melalui jalur hukum formal. Padahal sejumlah komwil, komda dan abnaul khairaat sudah melaporkannya ke pihak kepolisian.

Sikap serius ini ditunjukkan oleh Ketua Komwil Alkhairaat Sulteng, Arifin Sunusi, dengan intens melakukan komunikasi bersama Badan Musyawarah Adat (BMA) Sulteng dan Pengurus Besar (PB) Alkhairaat.

Kamis (03/04) di ruang rapat PB Alkhairaat, Arifin Sunusi bersama Sekjen PB Alkhairaat, Jamaluddin Mariadjang dan Ketua PB Alkhairaat, Asgar Basir Khan, telah melakukan pertemuan, guna merumuskan poin penting yang akan diajukan dalam persidangan adat nanti.

Hadir pula Sekretaris BMA Sulteng, Ardiansyah Lamasitudju dan sejumlah anggotanya, antara lain, Siti Norma Mardjanu dan Syuaib Jafar, Dr Nisbah, beserta sejumlah jajaran pengurus besar Alkhairaat lainnya, seperti Ashar Hasyim dan Suhban Lasawedi.

Ketua Komwil Alkhairaat Sulteng, Arifin Sunusi, yang ditemui media ini usai pertemuan, informasi tentang kanal YouTube yang berisi ujaran kebencian, penistaan, bahkan penodaan kepada Guru Tua, membuatnya marah dan merasa perlu melakukan sesuatu untuk memperingatkan pelaku (Fuad Cucu PKI).

“Dia tidak boleh berbicara di jagat media sosial secara sembarangan, apalagi yang isinya ujaran kebencian, rasis, dan dapat memecah belah keharmonisasian berbangsa bernegara,” kata Arifin.

Langkah pertama yang ia tempuh adalah berdiskusi dengan Sekjen PB Alkhairaat untuk mencari jalan keluar dalam menangani perkara tersebut.

“Jalan keluar itu tidak melalui jalur hukum formal seperti yang dilakukan oleh sahabat-sahabat komwil, komda dan abnaul khairaat lainnya. Saya meminta untuk menempuh jalur peradilan adat untuk menghukum orang ini,” katanya.

Setelah mendapat persetujuan, ia pun melakukan komunikasi-komunikasi dengan pemangku adat di wilayah keadatan Tanah Kaili.

Secara kelembagaan, pertama kali ia berkomunikasi dengan Badan Musyawarah Adat (BMA) Sulteng dan langsung mendapatkan respon yang baik.

“Setelah itu, kami bersama BMA Sulawesi Tengah melakukan silaturahmi dengan Toma Oge Sulawesi Tengah, Longki Djanggola. Saya meminta untuk dibuka peradilan adat untuk mengadili dan menghukum orang ini. Alhamdulillah, Bapak Longki Djanggola merespon dan memberikan dukungan,” katanya.

Sejauh ini, kata dia, pihaknya sudah merampungkan semua hal yang berkaitan dengan peradilan adat yang akan dilaksanakan nanti, seperti materi-materi aduan yang akan disampaikan dirinya sebagai To Pangadu.

“BMA sudah menyepakati peradilan adat itu akan dilaksanakan pada tanggal 10 April 2025,” ujarnya.

Sebagai To Pangadu (Pengadu), dirinya sangat berharap agar majelis hukum adat menjatuhkan hukum yang seberat-beratnya kepada Fuad Plered.

Terkait keberadaan Teradu (Fuad Cucu Warsinah) yang berada jauh dari wilayah Sulteng, baginya tidaklah menjadi masalah. Menurutnya, dalam peradilan adat sendiri, apakah Teradu hadir atau tidak hadir, putusan majelis akan tetap dikeluarkan.


Lebih lanjut ia mengatakan, masyarakat Tanah Kaili memiliki sarana bagi orang-orang yang melanggar tatanan norma adat.


Menurutnya, tatanan nilai tidak boleh dilanggar dan ada sanksinya, yaitu Salambivi, kemudian Salakana. Bahkan, kata dia, untuk kategori Salakana, bisa mencapai tataran Salakana Bangu Mate.


“Inilah yang saya minta agar sanksi yang dijatuhkan nanti adalah sanksi atas pelanggaran Salakana Bangu Mate, berupa Givu. Sanksi Givu itu yang paling berat itu hukuman putus leher,” tegasnya.

Ia menyatakan, ketika sudah ada putusan dari peradilan adat dan yang bersangkutan tidak melaksanakannya, menurutnya juga tidak ada masalah.

Sebab, kata dia, karena berbicara pada tataran norma, maka hukumannya juga bisa berupa fisik, bisa juga abstrak.

“Abstrak dalam hal ini, misalnya majelis hakim nanti memutus putus leher. Ya karena dia tidak hadir di persidangan adat, tentu pelaksanaan itu tidak akan terealisasi. Tetapi secara nilai, di mata masyarakat di wilayah keadatan Tanah Kaili, orang ini sudah mati. Mati bersama-sama dengan ujaran kebencian yang dia lakukan di ruang publik,” tutupnya.

Arifin juga menjelaskan pentingnya menggelar peradilan adat, karena sosok Guru Tua sendiri telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Kaili. Guru Tua bahkan menikahi putri Kaili dan melahirkan anak-anaknya.

“Artinya, Guru Tua itu adalah bagian dari To Kaili, sehingga ketika ia dihina harkat dan martabat, kehormatan dan kemuliaannya, maka kami masyarakat Kaili marah,” katanya.

Baginya, Guru Tua adalah tokoh pejuang dan tokoh pembaruan yang sudah mengabdikan hidupnya sepanjang hidup.

Guru Tua telah membangun pendidikan, di mana sampai hari ini ribuan pesantren dan madrasah telah berdiri, juga telah memberi pencerahan kepada masyarakat di mana ia berada.

“Tadinya masyarakat kita ada yang masih animisme, kemudian beliau datang membawa cahaya keilahian. Maka wajar jika kami marah kalau ulama kami dihina,” pungkasnya. 

Foto: Pertemuan merumuskan poin penting yang akan diajukan dalam persidangan adat nanti, di ruang rapat PB Alkhairaat, Kamis (3/4/2025) (Foto: Istimewa)


Sumber: channelsulawesi.id